Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Arkan meraih kunci mobilnya yang tergantung di dekat pintu masuk. Ia kembali ke ruang tamu dan menemukan Rafa sudah berdiri tegak di depan sofa, tas sekolahnya tersampir di punggung kecilnya.
"Siap, Jagoan?" tanya Arkan, memberikan senyum terbaiknya.
Rafa mengangguk mantap. "Siap, Pa!"
Setelah sampai di basement, Arkan membantu Rafa masuk ke kursi depan dan memasangkan sabuk pengaman. Ia kemudian duduk di kursi pengemudi. Mobil melaju keluar dari area apartemen menuju sekolah dasar Rafa yang tidak terlalu jauh.
Saat tiba di depan gerbang sekolah, Arkan memeluk Rafa erat. "Belajar yang rajin, ya. Nanti Papa jemput, dan kita akan beli gelato kesukaan Rafa, oke?"
"Oke, Pa! Sampai jumpa!" Rafa mencium pipi Arkan dengan cepat sebelum melompat keluar dari mobil.
Arkan menunggu hingga Rafa masuk ke dalam gerbang sebelum ia memutar kemudi untuk kembali.
Saat mobilnya berhenti di lampu merah, Arkan meraih ponselnya. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengatur urusan kantornya. Ia mencari kontak Andre, sekretaris pribadinya, dan menekan tombol panggil.
"Halo, Andre," kata Arkan tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung.
"Selamat pagi, Pak. Ada apa pak"
"saya ambil cuti hari ini," kata Arkan. "Ada urusan pribadi mendadak yang harus saya urus. Semua jadwal saya hari ini kamu yang handle"
"baik pak"
Ia menaruh ponselnya dan menginjak gas saat lampu berubah hijau.
Sesampainya di area parkir apartemen, Arkan segera keluar dari mobil dan menaiki lift menuju lantai tertinggi. Begitu pintu lift terbuka, ia langsung berjalan cepat ke arah pintu apartemen.
Saat ia masuk, suasana masih sunyi. Dara ternyata sudah duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lebih segar, meski masih sedikit pucat. Rambutnya terurai, dan ia menatap Arkan dengan senyum tipis.
“Mas udah nganter Rafa?” tanyanya pelan.
“Udah. Dia udah masuk sekolah,” jawab Arkan sambil menaruh kunci mobil di meja kecil dekat pintu. Ia mendekat dan duduk di samping Dara.
“Mas, aku udah mendingan kok,” Dara berusaha tersenyum, meski jelas tubuhnya belum sepenuhnya pulih. “Ngga usah ke dokter, ya? Paling nanti juga ilang sendiri—”
“Nggak ada tawar-menawar,". Potong Arkan cepat, “Kamu baru muntah hebat sampai perutmu kosong, dan tadi cuma makan sedikit"
Dara menghela napas panjang, menyadari bahwa suaminya sedang dalam mode 'Papa Siaga' yang tak bisa diganggu gugat. Ia melihat kekhawatiran yang tulus di mata Arkan dan akhirnya mengangguk pasrah. “Oke, Mas. Kita ke dokter.”
Mereka berjalan pelan keluar dari kamar. Arkan memastikan semua pintu terkunci. Berjalan memasuki lift.
“Mas nggak ke kantor?”
“Enggak. Andre yang handle semuanya nanti "
Setelah sampai di basement, Arkan membuka pintu mobil dan menunggu Dara duduk dengan nyaman sebelum ia memutari mobil dan masuk ke kursi kemudi.
Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah klinik bersalin dan kandungan. Arkan turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Dara.
Di ruang tunggu, Dara duduk sementara Arkan mengurus pendaftaran. Ia melirik sekeliling, melihat beberapa wanita hamil menunggu giliran dengan wajah bahagia. Hatinya berdeba entah kenapa, dia belum merasakan hal itu.
Tak lama kemudian, nama Dara dipanggil.
Arkan menggenggam tangan Dara saat mereka memasuki ruang periksa. Dokter yang menyambut mereka adalah seorang wanita paruh baya yang ramah.
“Selamat pagi, Ibu Dara, Bapak Arkan. Ada keluhan apa hari ini?” tanya Dokter itu sambil mempersilakan Dara duduk.
Dara mulai menjelaskan kondisinya dari malam sebelumnya hingga pagi ini—mual, muntah hebat, pusing, dan tubuh yang terasa lemas.
“Baik, Bu Dara,” ucapnya. “Dari hasil pemeriksaan sebelumnya dan gejala yang Ibu alami—mual, muntah di pagi hari, pusing, serta tubuh cepat lelah—semua menunjukkan bahwa kehamilan Ibu masih berada di trimester pertama.”
Arkan mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya serius namun penuh perhatian. “Trimester pertama itu berarti… sekitar berapa minggu, Dok?”
“Sekitar lima sampai enam minggu,” jawab dokter sambil tersenyum ramah. “Masih sangat muda, Pak Arkan. Di usia ini, tubuh Ibu sedang beradaptasi dengan perubahan hormon yang cukup drastis. Itu sebabnya muncul gejala seperti mual hebat atau morning sickness.”
Dara menunduk, menatap perutnya yang masih datar. Rasanya belum percaya bahwa ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di sana. Ia mendengarkan penjelasan dokter dengan hati yang berdebar.
“Jadi, sebenarnya semua keluhan Ibu itu normal,” lanjut dokter. “Tapi karena setiap orang berbeda, ada baiknya tetap menjaga pola makan, istirahat cukup, dan hindari stres.”
Arkan mengangguk perlahan, tetapi masih tampak gelisah. “Kalau soal mual yang parah, Dok? Tadi malam dia sampai muntah berkali-kali, bahkan nggak bisa makan sama sekali. Saya khawatir itu bisa membahayakan kandungan.”
Dokter tersenyum memahami kekhawatiran itu. “Wajar sekali, Pak. Tapi selama Ibu masih bisa minum air dan tidak mengalami dehidrasi, tidak apa-apa. Saya akan berikan vitamin tambahan untuk membantu menstabilkan kondisi Ibu.”
“Jadi belum ada tanda bahaya, kan, Dok?” tanya Arkan lagi, suaranya menurun namun sarat cemas.
“Belum, Pak,” jawab dokter menenangkan. “Tapi Ibu tetap harus dipantau. Jangan memaksakan diri untuk bekerja terlalu berat. Trimester pertama adalah masa yang paling rentan, jadi sebaiknya fokus menjaga kesehatan dan janin dulu.”
Dara mengangguk pelan, sementara Arkan masih menatap dokter seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa semuanya baik-baik saja.
“Kalau begitu, boleh saya tahu kondisi janinnya, Dok?” tanyanya akhirnya. “Apakah perlu dilakukan USG sekarang?”
Dokter tersenyum. “Tentu saja boleh, Pak. Kita lakukan USG transabdominal untuk melihat perkembangan awal janin. Mungkin masih kecil sekali, tapi biasanya sudah bisa terlihat kantung kehamilannya.”
Perawat datang membantu menyiapkan alat. Dara berbaring di tempat periksa dengan jantung berdebar. Arkan berdiri di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.
Dokter mulai menggerakkan alat USG di perut Dara yang sudah diolesi gel bening. Suara mesin perlahan memenuhi ruangan. Lalu, sebuah titik kecil muncul di layar monitor.
“Nah, ini dia,” ujar dokter sambil menunjuk layar dengan senyum hangat. “Masih kecil sekali, tapi itu kantung kehamilannya. Ini tanda awal janin sudah terbentuk dan menempel dengan baik.”
Dara menatap layar itu lama, matanya berkaca-kaca. Arkan menatapnya, lalu kembali menatap layar monitor dengan pandangan tak percaya. Ada kehangatan aneh mengalir di dadanya—perasaan yang tak bisa dijelaskan.
“Jadi... ini anak kita?” gumamnya lirih.
Dokter mengangguk. “Iya, Pak Arkan. Selamat. Kondisinya sejauh ini baik. Hanya saja, Ibu perlu lebih banyak istirahat dan jangan stres. Hindari makanan yang terlalu asam atau pedas, dan pastikan tetap terhidrasi.”
Arkan mengangguk pelan, wajahnya mulai melunak. “Baik, Dok. Saya akan pastikan dia nggak kelelahan.”
Dokter menyerahkan hasil pemeriksaan dan resep vitamin. “Saya tuliskan suplemen yang aman untuk trimester pertama. Dua minggu lagi kita kontrol lagi, ya. Kalau ada keluhan seperti pendarahan atau mual berlebihan, segera ke sini.”
Dara duduk kembali, menerima hasil pemeriksaan itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Dok,” ucapnya lembut.
Sementara Arkan berdiri di sampingnya, masih belum sepenuhnya tenang. “Terima kasih banyak, Dok. Kami akan jaga baik-baik.”