Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Mata-mata di Parkiran
Beruntungnya, tekanan lomba bisa terhalang dengan dua hari libur. Hari Sabtu biasanya berarti dua hal bagiku. Santai sampai jam 12 dan panik karena tugas menumpuk. Tapi kali ini, santai itu cuma sebentar—ibuku langsung menyuruh aku ke pasar belanja kebutuhan mingguan pas aku baru bangun. Pake kaos longgar dan celana jeans sobek sedikit, aku keluar rumah sambil menahan kantuk… dan, jujur, menahan ekspektasi drama yang pasti muncul karena kehidupanku sekarang kayak FTV yang tayang tiap hari tanpa jeda.
Parkiran pasar udah ramai pas aku masuk, tapi ada yang bikin aku mengernyit. Satu cowok berjas rapi berdiri di dekat mobil sport hitam yang parkir agak jauh. Pandangannya… aneh. Terlalu fokus ke arahku, kayak burung hantu yang nyari mangsa di sore hari.
“Siapa?” gumamku pelan, hatiku berdegup lebih kencang dari biasanya. Takut kalau aku diculik, dan emak sendirian dirumah.
Cowok itu tersenyum sok ramah, tapi aura kepo yang terlalu kental bikin bulu kudukku berdiri. “Kayyisa, ya?”
Dia sebut namaku dengan yakin banget, seolah udah hafal dari Instagram atau gosip lambe turah yang beredar di sekolah. “Kamu… pacarnya Cakra, kan?”
Aku menelan ludah, coba pura-pura santai sambil menggenggam tas belanja sampe kencang. Kok tau? pengennya jawab begitu tapi nanti ada yang cie-ciein. “Eh… ya, kayaknya begitu, sih,” jawabku cepet, bicara pelan entah kedengeran sama cowok itu atau nggak.
Hubungan kontrak antara aku sama Cakra jangan sampe bocor ke orang asing yang aku nggak kenal.
Cowok itu mengangguk-angguk, senyum lebarnya tetep ada tapi nggak mendekat. “Ah, oke. Jadi… hubungan kalian serius, ya?”
Aku buru-buru menggeleng, bikin senyum kikuk yang bikin muka sakit. “Serius dalam hal… bertukar senyum di kantin? Hahaha, serius banget kan? Kayak pasangan paling romantis di dunia!”
Harap dia terima jawaban konyol ini dan pergi. “Kakak siapa ya? Kenal sama Cakra?”
“Ehm, ya begitu.”
Dia menatapku sebentar, lalu mundur sedikit—tapi matanya tetap mengintip dari jauh. “Seneng banget bisa bertemu kamu disini, saya duluan ya.”
Sial. Aku merenung dalam hati. Ini nggak salah? Aku bisa rasain tatapan itu, bikin punggungku merinding aneh. Rasanya ada yang ngawasi, tapi nggak berani konfrontasi langsung. Seperti mata-mata yang cuma berani ngintip dari kejauhan.
Aku hembus napas, pegang tas belanja erat, dan mulai berpikir. Bagaimana seharusnya aku hadapi pertanyaan kayak gini? Harus tetap lowkey, berhati-hati. Kalau salah ngomong, gosip bisa meledak lebih cepet daripada bakar-bakar jagung di pinggir jalan.
Sambil jalan ke pasar, aku nyalain HP, mau nanya Cakra lewat chat.
Aku: Eh, cara paling aman kalau ada orang sok kenal gini, gimana Cak?
Tapi sebelum kirim, pesan dia udah masuk:
📩 [Cakra A.]: Kenapa?
Aku ketawa kecil—ngejelasin sedikit panjang di dalam chat.
Aku: Iya, lagi belanja, tapi… ada yang ngintip, Cak. Agak creepy sih. Sok kenal kayaknya sama lo.
Ada rasa lega yang aneh ketika mau hubunginya—karena dia yang jadi partner sandiwara ini pasti sama-sama tahu situasi. Lebih tepatnya, berinisiasi sedikit.
📩 [Cakra A.]: Langsung telepon aja. Gue lagi ribet.
Beberapa detik kemudian, telepon masuk. Layar HP nampilin nama “Cakra A.” Aku menelan ludah dia meminta vidcall tapi aku tolak dan ketika Cakra nelpon langsung aku angkat.
“Yisa?” Suaranya tenang tapi ada nada analitis di baliknya. “Situasinya gimana? Gue baca chat, tapi nggak tahu gimana kejadiannya.”
Aku senyum tipis, coba pikir strategi biar nggak kelihatan panik. “Ada cowok rapi di parkiran. Nggak berani langsung datangin, tapi tadi ngedeket sok tahu tentang gue dan lo. Gue ... Nggak tahu sih, dia katanya kenalan lo.”
“Hmm…” suaranya terdengar fokus. “Nggak ngapa-ngapain lo kan?"
"Ya Alhamdulillahnya sih nggak, kalau iya udah gue teriakin dari tadi juga." kataku seperti mengadu dengan suara kecil, melirik sekeliling dan sedikit merunduk berniat berbisik. "Tapi dia masih merhatiin kayaknya."
"Bagus teriak aja," sambar Cakra disebrang. "Lo lagi dimana sekarang?"
"Dipasar lagi belanja."
"Jangan ke daerah yang sepi, jalan ke daerah rame. Atau .... Jangan matiin telponnya."
"Nggak papa, gue bisa kok kabur Cak."
"Lo harus sabar sama situasi ini.”
Aku mengangguk meski dia nggak lihat. “Iya… tapi cuman aneh aja, begitu. Rasanya kayak ada yang mulai selalu nge-watch setiap gerakan gue.”
“Ya, itu wajar. Bisa jadi fans subtle, tapi mereka nge-track lo juga. Jadi lo harus tetap waspada, tapi jangan panik. Pura-pura cuek, kayak biasa. Seolah nggak ada yang salah.”
“Lo punya fans cowok juga?” Aku tiba-tiba nanya, bikin suasana sedikit ringan. "Sampai sebegitunya?"
Cakra nggak jawab langsung. Dia hembus napas kecil mencicit. “Nggak tahu sih. gue jarang perhatiin.”
Aku tarik napas panjang. Suara Cakra di telepon selalu bikin aku aneh—tenang, tapi bikin jantungku deg-degan. “Oke, gue ngerti. gue bakal coba santai dan… pura-pura cuek.”
“Bagus, inget Sa… ini cuma cobaan. Jangan diambil pusing. Lo kirim alamat lo aja kalau masih takut. Atau share lokasi ke gue sekarang. Pasar mana? Deket rumah lo bukan?"
"Nggak usah, gue juga bentar lagi mau pulang kok." jawab aku merasa panik juga kalau Cakra tiba-tiba datang, tetapi, memang dia bakal beneran kesini? Nyamperin aku ke pasar cuman karena keluhan sepele doang?
"Beneran? Pulangnya harus hati-hati. Siapa tahu dia ngikutin."
Sampai segitunya? Ngikutin kerumah? Wah tenang, bisa lapor RT dulu blacklist orang-orang yang mencurigakan. Walaupun, kayaknya aku nggak sempat ketemu, berdoa aja lah yang penting.
Aku tersenyum kecil. “Sip deh, makasih ya.”
Di balik senyum itu, aku sadar satu hal. Pacaran pura-pura ini bukan cuma tentang kita berdua ehm maksudnya, aku dan Cakra. Ini juga tentang gimana cara kita bertahan dari dunia yang selalu kepo. Baru pertama kali aku alami ini, dan beneran ngerasa aneh—tiba-tiba ditanyain begitu sama orang asing. Bikin aku merinding.
Selesai telepon, aku taruh HP di saku. Rasanya lega, tapi tetap ada sensasi aneh di kulit—kayak ada mata yang terus mantau. Aku lihat sekeliling pasar, orang-orang berlalu-lalang sibuk belanja, tapi pandangan itu nggak hilang.
Sambil nyodorin keranjang belanja ke toko sayur, aku lihat sesuatu yang bikin jantung berdebar lagi. Di dekat mobil yang sama, ada satu cewek berjas rapi yang lagi nongkrong. Rambutnya rapi, tas branded yang kelihatan mahal, tapi… aura kepo yang sama—terlalu kental. Matanya ke arahku, tapi pas aku lihat, dia cepet-cepet pura-pura ngecek HP.
Aku mendengus pelan. “Ah, bener kan, creepy subtle fans. Bukan cuma satu, tapi dua! Gue jadi bintang reality show rahasia ya? Tanpa bayaran lagi!”
Di tengah belanja tomat dan bawang, aku mulai merenung. Bagaimana kalau dia nyebar gosip? Atau lebih parah—nge-stalk setiap gerakan aku di sekitar Cakra? Bayangin aku yang berekspresi aneh, dibuat meme dan ditertawakan di grup chat sekolah. Atau dimedsos? Weekend santai aku bisa berubah jadi ‘proyek detektif lowkey’ yang bikin kepala pusing.
Aku senyum sinis ke diri sendiri. Ini pacaran pura-pura, Kayyisa. Maksudnya kita lowkey, bukan lowkey dipantau dari segala sudut kota! Nggak papa, nggak usah peduliin. Anggap aja kamera semesta.
Aku coba alihkan pikiran sambil menimbang mangga. Tapi tiba-tiba notifikasi masuk lagi. Dari dia.
📩 [Cakra A.]: Udah oke? Situasinya?
Aku ketik balasan cepet tapi setengah panik.
Aku: Ada yang mantau lagi, subtle. Tapi aku coba cuek kayak yang kamu bilang.
📩 [Cakra A.]: Good. Tetap santai. Kita kontrol narasi, bukan mereka. Jangan kasih bahan.
Aku lihat keranjang, tanganku sedikit gemetaran. “Lowkey… lowkey banget, tapi rasanya kayak lagi audisi jadi agen rahasia yang cuma ngelakuin tugas belanja!”
Di sudut parkiran, cewek itu masih terlihat. Dia nggak berani mendekat, tapi pandangannya tetap ngikutin gerakan aku—saat aku ambil bawang merah, saat aku bayar, bahkan saat aku cek daftar belanja yang udah kelar.
Aku tarik napas panjang. “Oke, Yisa. Tetap tenang. Pura-pura biasa. Jangan kasih mereka bahan gosip yang bisa beredar sampe sekolah.”
Dan tiba-tiba, aku merasa aneh sekaligus lucu. Pacaran pura-pura yang awalnya cuma proyek sinting buat dapetin uang tambahan, sekarang melibatkan fans subtle yang… entah bagaimana, bikin setiap langkahku lebih dramatis dari yang seharusnya.
Aku tutup tas belanja, siap pulang, tapi tetap waspada. Dari jauh, cewek itu lihat aku sekali lagi, lalu menghilang di antara kerumunan orang.
Aku senyum tipis, bikin kalimat sambutan untuk dunia baru yang menegangkan: “Selamat datang di episode ‘Kayyisa, pacar lowkey, dan mata-mata yang nggak muncul’. Minggu ini bakal menarik… dan creepy!”
Padahal bulu kudukku masih berdiri, aku putusin cepet-cepet selesai belanja dan pulang. Sampai di rumah, aku kunci pintu, gembok tiga kali di kamar, dan cek jendela dua kali—takutnya setelah ini ada “terror” yang lebih menakutkan.
Ya semoga tidak ada.
✨ Bersambung…