0o0__0o0
Lyra siswi kelas dua SMA yang dikenal sempurna di mata semua orang. Cantik, berprestasi, dan jadi bintang utama di klub balet sekolah.
Setiap langkah tariannya penuh keanggunan, setiap senyumnya memancarkan cahaya. Di mata teman-temannya, Lyra seperti hidup dalam dunia yang indah dan teratur — dunia yang selalu berputar dengan sempurna.
***
"Gue kasih Lo Ciuman....kalau Lo tidak bolos di jam sekolah sampai akhir." Bisik Lyra.
0o0__0o0
Drexler, dengan sikap dingin dan tatapan tajamnya, membuat Lyra penasaran. Meskipun mereka memiliki karakter berbeda. Lyra tidak bisa menolak ketertarikannya pada Drexler.
Namun, Drexler seperti memiliki dinding pembatas yang kuat, membuat siapapun sulit untuk mendekatinya.
***
"Mau kemana ?" Drexler menarik lengan Lyra. "Gue gak bolos sampai jam akhir."
Glek..! Lyra menelan ludahnya gugup.
"Lyra... You promise, remember ?" Bisik Drexler.
Cup..!
Drexler mencium bibir Lyra, penuh seringai kemenangan.
"DREXLER, FIRST KISS GUE"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Di balik Ruangan disiplin
...0o0__0o0...
...Drexler menutup pintu apartemen dengan pelan. Ia tidak memandang Lyra dulu—ia memandang lantai, menarik napas panjang, dan barulah ia menatap gadis itu....
...Bukan gadis yang rapuh....
...Bukan gadis yang menangis....
...Bukan gadis yang lemah....
...Lyra berdiri tegak, dagunya terangkat, matanya tegas meski merah—seakan ia baru saja bertahan dari badai besar tetapi menolak kalah darinya....
...Drexler tahu. Bukan dari seragam yang masih melekat, bukan dari rambutnya yang berantakan… tapi dari sorot mata yang tidak bisa Lyra sembunyikan darinya....
...“Berantem lagi dengan dia, Hem,” katanya datar—bukan bertanya, tapi menyatakan....
...Lyra terdiam. Hanya itu. Tidak membenarkan. Tidak menyangkal....
...Karena gadis itu tahu—Drexler selalu bisa memahami lebih dalam di banding siapa pun....
...“Aku nggak apa-apa,” ujar Lyra akhirnya, dengan nada keras kepala khasnya....
...Drexler mendengus kecil. Dingin. “Kalau kamu benar-benar nggak apa-apa, kamu nggak akan datang ke sini pakai wajah seperti itu.”...
...Lyra mengangkat alis. “Wajah seperti apa ?”...
...Drexler mendekat satu langkah—satu langkah yang membuat udara di sekeliling mereka berubah, lebih berat… lebih intens....
...Cowok itu mengangkat tangan-nya, menyentuh pipi Lyra dengan dua jarinya saja, seakan takut merusak kekuatan yang Lyra bangun sendiri....
...“Wajah orang yang habis di hancurkan oleh seseorang yang seharusnya menjaga-nya,” gumamnya pelan, dingin, namun tepat sasaran....
...Glek..!...
...Lyra menelan ludah. Bukan karena takut—tapi karena kata-kata Drexler menembus pertahanan-nya....
...“Aku masih kuat, Xler,” katanya. Tegas....
...“Aku tahu.”...
...dua kata itu keluar rendah dari mulut Drexler, nyaris tidak terdengar—tapi membuat Lyra terpaku....
...Drexler jarang mengaku sesuatu dengan suara setenang itu. Jarang mengalahkan egonya. Jarang menunjukkan bahwa Lyra bukan sekadar kekasih baginya....
...“Aku tahu kamu kuat,” ulang Drexler. “Itu sebabnya kamu bisa berdiri di depan aku sekarang tanpa hancur.” Ia mengusap pipi Lyra dengan ibu jarinya....
...Gerakan-nya lembut terlalu lembut untuk lelaki yang di kenal dingin dan kejam di luar sana. “Tapi kamu nggak harus tetap kuat saat di depan aku, Sweetie.”...
...Lyra memejamkan mata sebentar—bukan karena ingin menangis, tapi karena kata-kata itu menampar keras pertahanan yang ia banggakan....
...“Aku nggak datang karena lemah, Drexler,” katanya. Suaranya rendah....
...Drexler mendekat lagi....
...Jarak mereka kini tinggal beberapa sentimeter— bahkan hembusan nafas keduanya saling menerpa....
...Dan suara Drexler turun menjadi bisikan yang hanya Lyra boleh dengar. “Kamu datang karena kamu percaya sama aku.”...
...Lyra membuka mata, menatap Drexler dalam. “Dan kamu juga percaya sama aku,” balasnya....
...Senyum kecil—nyaris tak terlihat—muncul di sudut bibir Drexler. Senyum yang tak pernah ia bagi pada siapa pun selain Lyra....
...Tanpa berkata apa-apa lagi, Drexler meraih pinggang Lyra dan menariknya ke pelukan-nya—bukan pelukan lembut, tapi pelukan milik seseorang yang sangat jarang membiarkan dirinya menunjukkan butuh....
...Lyra membalas-nya, kuat, kokoh—bukan mencari pegangan, tapi memberi pegangan yang sama besarnya....
...Dalam pelukan itu, Lyra bukan korban. Bukan gadis hilang arah. Bukan seseorang yang harus di selamatkan....
...Lyra adalah api yang Drexler pilih untuk di jaga dengan seluruh ketenangan gelapnya....
...Drexler menunduk, membisikkan kalimat yang hanya Lyra boleh dengar. “Siapa pun yang bikin kamu begini… akan berurusan dengan ku.”...
...Lyra menarik sedikit tubuhnya, menatapnya. “Xler.” Nada itu memperingatkan. Menghalangi.“I don’t need you to fight my battles.”...
...Drexler menatapnya balik, matanya tajam, dingin… namun lembut hanya untuk Lyra. “Aku tahu,” jawabnya. “Tapi kamu juga tahu… aku selalu ada di belakang mu kalau ada yang berani mengusik hidup mu.”...
...Kali ini, Lyra yang tersenyum tipis. “Aku tahu. Xixi, Sayang."...
...Dan di ruangan yang hening itu, keduanya tidak membutuhkan banyak kata....
...Keintiman mereka bukan soal kelemahan—tapi soal saling tahu, saling menahan, saling menjadi rumah tanpa pernah meminta....
...0o0__0o0...
...Mansion Valenstein masih terasa tegang dan mencekam. Bahkan jauh lebih mencekam dari sebelum-nya....
...Lorong menuju ruang disiplin terasa seperti perjalanan menuju dunia lain. Lampunya redup, dingin, dan setiap langkah bodyguard terdengar berat bergema di dinding....
...Regina di seret pelan—tidak kasar, namun justru itulah yang membuat-nya semakin takut....
...Tidak ada jeritan. Tidak ada suara....
...Hanya isakan Regina yang tertahan....
...Ketika pintu besi besar itu d ibuka, suara berdecit panjang memenuhi lorong....
...Kraaakk…...
...Ruang disiplin bukan ruang penyiksaan fisik. Tidak ada cambuk, tidak ada alat....
...Justru isinya lebih mengerikan....
...Sebuah ruangan putih pucat, kosong, dingin, dengan satu kursi besi di tengah....
...Tidak ada jendela....
...Tidak ada jam....
...Tidak ada suara dari luar....
...Tempat yang di rancang untuk menghancurkan mental seseorang perlahan-lahan....
...Bodyguard mendorong Regina masuk dan mengikat kedua tangan-nya di belakang kursi—tidak sampai melukai, namun cukup untuk membatasi geraknya....
...Setelah itu, mereka meninggalkan ruangan....
...Klik....
...Pintu tertutup....
...Lampu redup menyala, memantulkan bayangan Regina yang mengerikan di dinding....
...Regina langsung tersedu keras. “Tolong… jangan di sini… jangan di sini…”...
...Suaranya pecah....
...Ruang ini adalah tempat yang paling di takuti—bukan karena pernah di siksa, tetapi karena Regina pernah menyaksikan seorang pelayan senior keluar dari sini dengan mata kosong dan suara hilang. Seperti kehilangan sebagian jiwanya....
...Regina menunduk, menggigit bibir keras-keras. “Mas… Mas Guntur… aku mohon… cukup sudah…”...
...Namun tidak ada jawaban....
...Hanya hening....
...Detik berlalu seperti jam. Jam terasa seperti hari....
...Lampu tiba-tiba meredup, lalu menyala lagi, seakan ada seseorang yang mengawasi-nya dari luar....
...Regina mengangkat kepala, napasnya tercekat....
...“Hello…? Ada orang…?”...
...Tidak ada....
...Namun tiba-tiba suara Guntur terdengar dari speaker kecil yang tertanam di dinding—suara rendah, hampir seperti bisikan....
...“Regina.”...
...Wanita itu langsung menangis makin keras. “Mas… Mas, ampuni saya… aku mohon…”...
...“Dengarkan baik-baik.” Suara Guntur tenang, tanpa emosi. “Ruangan ini tidak untuk memukul mu. Bukan untuk menyakiti mu.”...
...Regina hanya bisa terisak....
...“Ruang ini untuk mengajarkan satu hal, Diam. Dengar. Dan jangan pernah lupakan siapa Lyra.”...
...Suara itu berhenti....
...Lalu terdengar detakan jam elektronik yang sangat pelan....
...Pelan… tapi terus menerus....
...Menyerang saraf....
...Membuat waktu seolah berjalan lambat....
...Regina mulai menggoyangkan tubuhnya, kepala'nya bergetar. “Tolong… gelapnya jangan di ubah-ubah… aku takut…”...
...Lampu tiba-tiba mati total....
...Regina menjerit kecil. “Tidak… tidak… Mas…!!”...
...Beberapa detik kemudian, lampu menyala kembali—terang menyilaukan mata....
...Regina memejamkan mata, tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya mulai pendek, hampir pingsan....
...Suara Guntur masuk lagi, pelan namun mengendap. “Setiap menit kau berada di ruangan ini, ingat satu hal.”...
...Suara itu berhenti sengaja, seolah menekan jantung Regina. Kemudian, “Anakmu menyakiti Lyra.”...
...Regina menangis semakin keras. “Aku… aku tahu… maafkan aku… aku janji—aku janji akan membuat Sinta minta maaf sendiri…”...
...“Kau tidak akan menyentuh Sinta.” Suara Guntur dingin. “Sinta bagianku. Bukan kamu.”...
...Tubuh Regina langsung melemah....
...Guntur melanjutkan, suaranya semakin gelap. “Kau di sini bukan untuk di hukum. Kau di sini untuk di ingatkan…”...
...Detik demi detik dari detakan jam makin menusuk....
...“…bahwa kesalahan putrimu berarti… kesalahan mu.”...
...Regina benar-benar jatuh mentalnya. Tubuhnya lunglai, pipinya basah air mata....
...Pintu tidak dibuka....
...Tidak ada yang datang....
...Suara Guntur berkata pelan untuk terakhir kali: “Renungkan. Sampai aku memutuskan kau boleh keluar.”...
...Setelah itu—sunyi total....
...Regina sendirian....
...Di ruangan yang dingin....
...Tanpa waktu....
...Tanpa suara manusia....
...Hanya detakan jam yang perlahan-lahan menggerogoti kewarasan-nya....
...0o0__0o0...