Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Terbuka
Rendra melangkah ke dapur tanpa banyak suara. Ia membuka kulkas, menarik sebotol air mineral, lalu bersandar di kitchen cabinet. Ia meneguk air sampai habis, cepat, tanpa jeda. Helaan napas lolos dari mulutnya, nyaris seperti desah lelah yang sudah ditahan terlalu lama.
Sesi terapi pasangan di kantor Safira Ghazali hari ini menggerus tenaganya. Ia stres, tapi tidak bisa menunjuk jelas dari mana sumbernya. Mungkin karena selama ini ia tidak pernah dipaksa bicara tentang perasaan. Atau karena kata-kata Dinda yang jujur dan lugas, menusuk lebih dalam dari yang ia sangka.
Istrinya itu bicara dengan suara bergetar. Tentang malam saat ia jatuh di aspal ketika perkelahian dengan Bima terjadi. Tentang bagaimana ia takut menghadapi Rendra setelah itu. Rendra hanya bisa diam, tenggorokannya tercekat, menyadari bahwa ia dianggap ancaman bagi orang yang paling ia lindungi.
Rendra tahu betul bahwa menahan emosi adalah kelemahannya yang paling berbahaya. Sejak insiden berdarah di boarding school Jerman dulu (ketika amarahnya hampir membunuh seseorang) ia belajar melampiaskan segala gejolak itu di ring tinju. Di sana kemarahannya punya tempat, punya aturan, punya batas.
Tapi malam itu berbeda. Ketika ia melihat Dinda bersama Bima, di tengah rumah tangga mereka yang sudah rapuh dan nyaris runtuh, sesuatu di dalam dirinya patah. Amarahnya meluap tanpa kontrol, gelap mata, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia kembali kehilangan kendali.
Dari ruang tengah, Dinda hanya diam mengamati. Sepanjang perjalanan pulang, Rendra hampir tidak bersuara. Dan sekarang, ia terlihat seperti prajurit yang baru pulang dari medan tempur. Utuh di luar, tapi babak belur di dalam.
Dinda mendekat, lalu berdiri di hadapannya. Tangannya melingkar ke tubuh suaminya, menariknya ke dalam pelukan, "Sesi tadi berat ya?" tanyanya lembut.
"Enggak." jawab Rendra pelan. Ia jelas berbohong.
"Kamu inget kan, kita harus saling jujur dan komunikasi." Dinda menyandarkan kepalanya di dada Rendra.
Rendra membalas pelukan itu. Hangat, rapat, seolah mencoba menahan dunianya supaya tidak runtuh. Ia diam cukup lama sebelum akhirnya bertanya, pelan, nyaris tak terdengar, "Apa selama ini kamu takut sama aku?"
Dinda terdiam sejenak, lalu mengangguk, "Aku takut waktu kamu meledak. Tapi aku tau kamu sayang sama aku, jadi pasti kamu mau berusaha untuk nggak ngelakuin itu lagi."
Rendra menghembuskan napasnya dengan berat, Dinda bisa merasakannya, "Gimana kalau itu sulit diubah?"
"Mereka akan bantu. Karena itu kita datang ke psikolog profesional."
"Kalau ini nggak berhasil, kamu akan tinggalin aku? Apa diri aku yang ini nggak cukup untuk kamu?" Rendra mengeratkan pelukannya. Suaranya pecah.
Dinda mengusap pipinya lembut, menatapnya dengan mata berkaca, "Maaf Mas. Tapi aku dan anak kita butuh tempat yang aman untuk tumbuh. Diri kamu yang sekarang... belum bisa kasih itu."
Kata-kata itu menghantamnya seperti palu. Tersadar betapa cintanya tidak bisa menjamin Dinda akan tetap tinggal. Perempuan itu bisa pergi kapan saja.
Lalu Dinda mencium bibirnya, pelan dan dalam. Rendra membalas ciuman itu tanpa ragu. Tangannya naik ke tengkuk Dinda, menariknya lebih dekat seolah tidak ingin ada jarak sedikit pun yang tersisa.
Saat akhirnya mereka melepaskan diri, Rendra menatapnya dengan mata sayu, suaranya lirih seperti rintihan, "Bantu aku ya.."
Dinda mengangguk dengan senyum menenangkan. Namun di balik senyum itu Rendra tau, bahwa senjata terakhirnya hanyalah harapan.
...***...
Pagi itu, jagat maya mendadak panas lagi. Hashtag #RahasiaNarendra melesat ke puncak trending, seperti api yang menyambar bensin. Akun X dengan user name 'Cotton Sin', tanpa foto profil dan hanya berisi belasan pengikut, mendadak jadi pusat perhatian.
Tweet pertamanya sederhana, tapi nadanya mengusik.
@cotton_sin : Lucu sih kalo liat orang terkenal sok mesra di sosmed, padahal di belakang layar... 🤭
Tidak ada nama, tidak ada mention. Tapi netizen seperti biasa, tajam membaca celah. Mereka mulai menebak, menghubungkan titik-titik samar mengenai siapa orang yang dimaksud.
Tweet kedua jadi pemantik utama.
@cotton_sin : Kenalin... suami idaman kalian semua 🫶
Beserta tiga potongan rekaman suara. Berat dan kasar. Isinya cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan panas di telinga.
'Don't expect anything from me. Hubungan kita cuma sebatas kebutuhan di ranjang. I pay for that, nothing more.'
'Kalau sampai masalah itu bocor ke media, yang akan hancur bukan cuma saya, tapi kamu juga. So think twice before you do something stupid.'
'Kamu tau jelas apa yang bisa saya lakuin ke kamu kan? jadi jangan bikin semuanya jadi lebih rumit.'
Tweet ketiga hanya menambah bensin.
@cotton_sin : Yang pernah bilang 'istri gue punya semua yang gue butuh'. Hmm, kebutuhannya apa nih? 🤪
Lalu sebuah foto muncul di tweet keempat. Detail interior sebuah lobi apartment eksklusif. Ornamen mewah, vas keramik unik, barang-barang yang hanya dikenal oleh lingkaran terbatas. Orang yang tinggal atau bekerja di sana pasti tau itu Velmore.
@cotton_sin : Orang orang tertentu tau ini di mana. #spill
Tweet kelima menutup rangkaian, seolah melempar bola kepada publik.
@cotton_sin : Udah ah, kita biarkan netizen menganalisa 😉
Dalam hitungan menit, lini masa berubah jadi ladang liar. Retweet, komentar, dan quote tweet mengalir tanpa henti. Bola salju gosip itu menggelinding cepat, makin besar dan makin sulit dihentikan.
Di tempat lain, Namira bersandar santai pada dinding, ponsel di tangan. Kepala sedikit miring, mata terpaku pada layar, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang kini makin lebar. Ia tahu persis, malam ini Rendra tidak akan tidur nyenyak.
...***...
Rapat berakhir dengan suara tegas Rendra yang memotong kebisingan ruang meeting, "Oke, udah jelas ya. Nggak ada revisi tambahan. Jalanin sesuai plan. Semua follow-up kirim ke email saya sebelum jam empat."
Kursi didorong ke belakang dengan bunyi berderit singkat. Ia bangkit dengan punggung tegak, tidak menoleh ke satu pun peserta rapat.
Langkahnya lebar dan mantap keluar ruangan, diiringi suara pintu kaca yang menutup perlahan di belakangnya.
Lorong di depan ruang meeting sudah diisi Radit, asisten pribadinya. Pria berkacamata itu berdiri gelisah seperti orang yang menunggu giliran disidang. Begitu Rendra keluar, Radit langsung menghampiri, ponsel sudah terbuka di tangannya.
"Pak, ada berita provokatif soal transaksi seks di X. Nama Bapak banyak disebut." ucapnya cepat, nada suaranya seperti memaksa Rendra untuk segera melihat.
Rendra berhenti. Ponsel itu berpindah ke tangannya. Mata yang tadinya tenang kini terpaku pada layar, menelusuri satu demi satu tweet yang berbaris di hadapannya. Alisnya mengerut, rahangnya mengeras. Beberapa detik kemudian, ia menghembuskan kata pendek yang lebih mirip letupan amarah yang ditahan.
"Damn it."
Langkahnya kembali bergerak, tapi kali ini lebih berat, seperti ada beban yang menempel di sepatunya. Dan dalam hitungan menit, poselnya berubah jadi arena kacau.
Getaran demi getaran, notifikasi demi notifikasi, pesan yang masuk tanpa jeda. Telepon berdering silih berganti, sampai suara deringnya jadi latar yang mengganggu napas.
Di tengah kekacauan itu, Mila masuk ke ruangan dan menyodorkan ponsel, "Pak Brata, Pak." Katanya cepat.
Tapi kali ini, Rendra tidak mengabaikannya.
"Halo?" Katanya pelan, suara yang keluar begitu berat.
"Itu rekaman suara kamu?" Suara Brata terdengar langsung menembus, tanpa basa-basi.
Rendra menarik napas panjang, lalu menghembuskannya seperti mencoba membuang beban, "Ya. Namira pelakunya."
Brata tidak menunggu lama untuk merespons, "Dia lagi? Kamu bilang dia sudah diurus kan?" Nada suaranya seperti mencambuk.
Rendra menggeleng pelan, meski tahu Brata tak bisa melihat, "Saya juga nggak tahu apa yang bikin dia senekat ini. Padahal dia tau kita punya kartunya."
Keheningan singkat terasa menekan. Lalu Brata bersuara, datar tapi mengandung instruksi tak terbantahkan, "Malam ini kita meeting sama manajemen di rumah Sentul."
"Oke." jawab Rendra singkat, sebelum memutus sambungan.
...***...
Dinda masih duduk di bangku kelas ketika Tania berbisik pelan, "Din, coba lo liat ini." ia memperlihatkan layar ponsel berisi sederet tweet .
Hashtag #RahasiaNarendra memenuhi timeline. Potongan audio dan foto yang familiar itu membuat dada Dinda terasa sesak. Wajahnya tetap datar, tapi di dalam, ada gelombang berat yang mulai menekan.
"Din, lo okay kan?" Suara Tania terdengar khawatir.
Dinda hanya mengangguk pelan.
Suara bisik-bisik di sekitar mulai terdengar samar, lalu semakin jelas. Beberapa teman yang duduk agak jauh mencuri pandang, sesekali mengangguk seolah sudah mengonfirmasi dugaan mereka.
"Kayaknya gue pulang aja deh, Tan." Bisiknya pada Tania. Tidak menunggu lebih lama, ia menutup buku, meraih tas, dan berdiri.
"Gue temenin ya? Gue ikut cabut kelas." Tania sudah ikut berdiri, namun gelengan kepala Dinda menahannya.
"Nggak usah, gue nggak apa-apa kok. Thanks, Tan." Jawab Dinda dengan senyum yang dipaksakan.
Ia berlalu cepat tanpa menoleh, kemudian menghampiri Rico yang duduk di kursi koridor jurusan, "Kita pulang sekarang." kata Dinda cepat.
Rico langsung bangkit, sedikit terburu-buru, "Iya, Bu."
Ia merasakan tatapan mata mengikuti langkahnya. Lorong fakultas terasa lebih panjang dari biasanya. Ia menunduk, berharap wajahnya tidak terlalu terbaca. Rasa mual naik ke tenggorokan, namun ia tidak yakin apakah itu karena kehamilan atau tekanan yang dialaminya.
Sebelum mencapai parkiran, Dinda mengeluarkan ponsel. Ia mencoba menelepon Rendra. Sekali, dua kali. Tidak diangkat. Rendra pasti sedang terkepung oleh situasi yang lebih kacau dari ini.
Dengan napas yang mulai berat, ia mengetik pesan, jemarinya sedikit gemetar.
To : Mas Rendra
Aku liat beritanya. Kabarin aku kalau situasinya udah memungkinkan.
Pesan terkirim. Tidak ada balasan. Dinda menarik napas panjang, lalu memasukkan ponsel ke tas. Ia hanya ingin sampai rumah, menutup pintu, dan memutus semua akses pada dunia luar.
Rico yang sudah mendahuluinya menunggu di dekat mobil, membuka pintu untuknya. Dinda masuk tanpa banyak bicara. Begitu mesin menyala dan mobil mulai bergerak, ia memalingkan wajah ke jendela, menatap deretan pohon yang bergeser cepat. Dalam hati, ia berharap badai ini punya ujung, tapi entah kenapa, firasatnya berkata ini baru permulaan.
...***...
Dinda masih duduk di bangku kelas ketika Tania berbisik pelan, "Din, coba lo liat ini." ia memperlihatkan layar ponsel berisi sederet tweet .
Hashtag #RahasiaNarendra memenuhi timeline. Potongan audio dan foto yang familiar itu membuat dada Dinda terasa sesak. Wajahnya tetap datar, tapi di dalam, ada gelombang berat yang mulai menekan.
"Din, lo okay nggak?" Suara Tania terdengar khawatir.
Dinda hanya mengangguk pelan.
Suara bisik-bisik di sekitar mulai terdengar samar, lalu makin jelas. Beberapa teman yang duduk agak jauh mencuri pandang, sesekali mengangguk seolah sudah mengonfirmasi dugaan mereka.
"Kayaknya gue pulang aja deh, Tan." Bisiknya pada Tania. Tidak menunggu lebih lama, ia menutup buku, meraih tas, dan berdiri.
"Gue temenin ya? Gue ikut cabut kelas." Tania sudah ikut berdiri, namun gelengan kepala Dinda menahannya.
"Nggak usah, gue nggak apa-apa kok. Thanks tan." Jawab Dinda dengan senyum yang dipaksakan.
Ia berlalu cepat tanpa menoleh, kemudian menghampiri Rico yang duduk di kursi koridor jurusan, "Kita pulang." kata Dinda cepat.
Rico langsung bangkit, sedikit terburu-buru.
"Iya, Bu." Jawabnya.
Ia merasakan tatapan mata mengikuti langkahnya. Lorong fakultas terasa lebih panjang dari biasanya. Ia menunduk, berharap wajahnya tidak terlalu terbaca. Rasa mual naik ke tenggorokan, namun ia tidak yakin apakah itu karena kehamilan atau tekanan yang dialaminya.
Sebelum mencapai parkiran, Dinda mengeluarkan ponsel. Ia mencoba menelepon Rendra. Sekali, dua kali. Tidak diangkat. Rendra pasti sedang terkepung oleh situasi yang lebih kacau dari ini.
Dengan napas yang mulai berat, ia mengetik pesan, jemarinya sedikit gemetar.
(To : Mas Rendra) Aku liat beritanya. Kabarin aku kalau situasinya udah memungkinkan.
Pesan terkirim. Tidak ada balasan. Dinda menarik napas panjang, lalu memasukkan ponsel ke tas. Ia hanya ingin sampai rumah, menutup pintu, dan memutus semua akses pada dunia luar.
Rico yang sudah mendahuluinya menunggu di dekat mobil, membuka pintu untuknya. Dinda masuk tanpa banyak bicara. Begitu mesin menyala dan mobil mulai bergerak, ia memalingkan wajah ke jendela, menatap deretan pohon yang bergeser cepat. Dalam hati, ia berharap badai ini punya ujung, tapi entah kenapa, firasatnya berkata ini baru permulaan.
...***...
Ruang rapat rumah pribadi Brata di Sentul terasa dingin. Lampu temaram memantulkan bayangan di wajah-wajah yang duduk melingkar di meja panjang.
Brata berdiri di ujung meja. Kedua tangannya bertumpu di permukaan kayu. Tatapannya menyapu satu per satu peserta rapat, tenang, nyaris tanpa emosi.
"Kita semua sudah lihat serangan pagi ini. Namira tahu di mana harus memukul. Tapi dia lupa satu hal. Dia juga punya bangkai yang bisa kita gali."
Direktur Legal, Reynard, mencondongkan tubuh. "Ya, dosa lamanya masih kita simpan utuh."
Brata mengangguk tipis. "Lebih dari lengkap. Kalau dia pikir kita akan panik, dia salah besar. Tapi..." suaranya merendah, "...kita nggak akan memakainya sekarang. Mainkan dulu opini publik."
Nadine, Kepala Divisi PR, angkat suara. "Kita bisa dorong narasi tandingan lewat pihak ketiga."
"Gunakan buzzer, media yang masih berhutang budi, dan akun anonim," kata Brata. "Arahkan opini publik tanpa menyebut namanya langsung. Sementara itu, Rendra hanya bicara sekali. Tenang. Singkat. Posisikan diri sebagai korban rumor. Itu cukup untuk membelah opini." Dia mengucapkannya dengan sangat tenang, seakan sedang bicara strategi bisnis. Padahal yang ia atur adalah arah pikiran jutaan orang. Manipulasi masa.
Rendra bersandar di kursinya. Rahangnya mengeras, "Kalau kita buka aibnya, dia bisa semakin nekat. Orang kayak Namira kalau terpojok nggak akan segan mati bareng musuh."
Tatapan Brata langsung mengunci putranya. Dingin, tapi tak meninggikan suara.
"Nekat? Biarkan. Orang nekat biasanya jadi bodoh. Kita akan ada di sana untuk memanfaatkannya."
Gustav, Komisaris Utama, menyelipkan komentar datar. "Ya. Jangan sampai kita duluan yang goyah."
"Betul." Brata mengangguk sekali. "Kita tunggu dia salah langkah. Dan ketika itu terjadi..." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung. "...dia akan jatuh tanpa kita perlu mendorongnya."
Rendra menatap ayahnya lama. Tapi ia memilih diam. Ia tahu, begitu Brata memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa membatalkannya. Untuk kesekian kalinya, ia harus ikut larut dalam permainan kotor yang justru menjaga posisinya. Muak memang, tapi sudah biasa, lagipula ia tidak menemukan jalan lain selain mengikuti arus. Yang mengganggunya justru rasa gentar pada Namira. Ia tau orang seperti apa wanita itu, dan bisa seberapa destruktif tindakannya.
Setelahnya, rapat beralih ke rincian teknis. Mereka membahas diagram alur penyebaran opini publik, daftar media yang bisa diarahkan untuk narasi tandingan, dan kemungkinan langkah strategis lainnya. Setiap kepala diperas paksa untuk berpikir dan mencari jalan keluar.
...***...