Menurut Kalian apa itu Cinta? apakah kasih sayang antara manusia? atau suatu perasaan yang sangat besar sehingga tidak bisa di ucapkan dengan kata-kata?.
Tapi menurut "Dia" Cinta itu suatu perasaan yang berjalan searah dengan Logika, karena tidak semua cinta harus di tunjukan dengan kata-kata, tetapi dengan Menatap teduh Matanya, Memegang tangannya dan bertindak sesuai dengan makna cinta sesungguh nya yang berjalan ke arah yang benar dan Realistis, karena menurutnya Jika kamu mencinta kekasih mu maka "jagalah dia seperti harta berharga, lindungi dia bukan merusaknya".
maka di Novel akan menceritakan bagaimana "Dia" akan membuktikan apa itu cinta versi dirinya, yang di kemas dalam diam penuh plot twist.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNFLWR17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duka, Balas Dendam, dan Pengakuan Dosa
Sementara itu, di sisi Jevan dan Alena, sepanjang perjalanan Alena terus menahan isak tangis sambil meremas ponselnya. Jevan berusaha fokus untuk mengemudi agak cepat.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Tanpa menunggu lama, Alena langsung keluar lalu berlari masuk, meninggalkan Jevan yang baru turun dari mobil. Jevan segera menyusulnya dari belakang.
Saat Alena sampai di ruangan IGD, ruangan itu sudah kosong. "T-tapi ruangan ini kosong, ke mana?" Tanya Alena.
"Oh, sudah dipindahkan ke ruang jenazah."
Mendengar itu, perkataan dari salah satu perawat yang sedang membersihkan tempat itu.
Alena langsung berlari keluar menuju ruang jenazah. Tepat di tikungan, ia berpapasan dengan Jevan.
"Ayo kita ke Ruang Jenazah." Jevan langsung menggenggam tangan Alena dan berjalan cepat ke arah ruang jenazah.
Setelah mereka sampai, sudah terdengar suara tangisan yang sangat Alena kenal. Siapa lagi kalau bukan Bunda Tiara.
Jevan semakin mengeratkan genggaman tangan mereka. Alena berdiri tepat di depan pintu ruang jenazah, memegang gagang pintu dengan tangan gemetar sambil menahan tangis.
Lalu, ia mendorong pintu pelan, dengan Jevan masih di sampingnya.
Di sana, tepat di depannya, Bunda Tiara sedang duduk di lantai sambil menangis tersedu-sedu.
"Huaa... hiks... hiks... hiks... Abang, kenapa meninggalkan Bunda?" Ujar Bunda dengan penampilan yang sudah kacau dan mata bengkak akibat terlalu lama menangis.
Alena berjalan pelan, kakinya sudah sangat lemas dan hampir saja jatuh. Untung saja Jevan segera mendekapnya. Jevan juga menahan tangis, merasakan rasa bersalah dan takut.
Alena sampai di dekat brankar yang terdapat tubuh kaku dan pucat, tertutup kain putih.
Tangannya yang sudah bergetar memegang ujung kain, lalu menurunkannya pelan-pelan.
Terlihatlah rambut, dahi, mata, hidung, dan mulut Abang Rio. Wajahnya sudah pucat, penuh dengan lebam, dan kepalanya dipasangi perban. Terlihat juga jejak darah pada kain putih tipis yang melingkar di wajah itu.
"Akh, enggak..." ujar Alena sambil menggelengkan kepalanya.
"Ab... ang... hiks... enggak... enggak...!" Tangan yang bergetar itu memegang wajah Abang Rio. Air matanya terus mengalir membasahi wajahnya.
"Hikss... kenapa? Baru kemarin ulang tahun Abang, hiks... hiks..."
Tubuh Alena meluruh di lantai dengan tatapan kosong. Jevan langsung memeluk tubuh Alena yang bergetar.
"Ay Abang udah enggak ada hiks... hiks..." ucap lirih Alena.
Jevan tidak menjawab. Ia hanya terus memeluk tanpa mengendurkan pelukan itu. Sesekali, ia menghapus air matanya.
Sementara itu, di seberang ruangan, Bunda Tiara berdiri lalu langsung keluar dari ruangan.
Bunda Tiara langsung duduk di kursi tunggu di depan ruang jenazah.
Suara pesan masuk di ponsel Bunda Tiara.
Unknown
Bagaimana dengan hadiah dariku?
Aku rasa Anda sekarang sedang meraung-raung. Akh, sangat disayang aku enggak ada di sana, padahal aku sangat ingin melihat wajah kehancuran kalian.
Unknown
Kita impas!
Bunda Tiara yang melihat pesan teks itu mengeraskan rahangnya.
Bunda Tiara hanya melihat di notifikasi saja tanpa membukanya.
PRANG...!
Bunda Tiara melemparkan ponselnya ke lantai. "Ahhhkkkk...! Hiks...! Kenapa?" Teriak Bunda Tiara frustasi.
Bunda Tiara menangis dalam diam. Ia memegang kepalanya sambil menunduk. Lalu, ia melihat sepasang sepatu. Bunda Tiara mengangkat kepalanya, dan ternyata sepasang kaki itu adalah milik Vhian, yang di belakangnya ada Dewi, Nadia, dan Kenzo.
Bunda Tiara yang melihat mereka—yang ternyata adalah teman-teman Alena dan Jevan—segera merapikan pakaian dan menghapus jejak air mata.
Bunda Tiara menyunggingkan senyum kecil, meskipun hanya terdapat wajah lelah dan sedikit bengkak.
"Tante, kami turut berduka cita, ya," ujar Nadia yang langsung mengambil tempat duduk di samping Bunda Tiara.
Bunda Tiara hanya menganggukkan kepala, lalu pandangannya jatuh kepada Vhian.
Wajah yang familiar itu membuat keningnya sedikit mengerut. Beberapa pertanyaan mulai muncul di benaknya.
Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, Vhian ingin sekali memeluk Bunda Tiara.
"Kalian tunggu di sini, ya. Sebentar lagi jenazah Abang Alena dibawa ke rumah duka," ujar Bunda Tiara.
Tidak lama kemudian, beberapa perawat datang dan masuk ke dalam Ruang Jenazah. Tak lama setelah itu, Jevan dan Alena keluar.
Jevan yang terus merangkul tubuh lemah Alena, mendudukkannya di sebelah Nadia.
Lalu, tiba-tiba Dewi datang dan langsung memeluk Alena dalam diam, tanpa mengucapkan sepatah kata. Mata Dewi hanya datar lurus ke depan, tapi tangannya menepuk lembut punggung Alena.
Kenzo menunduk, lalu mengambil ponsel Bunda Tiara yang sudah rusak parah. Dia berjalan menuju Bunda Tiara, mengambil sebelah tangan Bunda Tiara, lalu meletakkan ponsel yang hancur itu di tangan Bunda Tiara dengan kedua tangannya. Setelah itu, ia mengelus tangan Bunda Tiara.
Bunda Tiara sedikit tersentak karena tangannya dipegang, lalu menatap wajah Kenzo. Kenzo tersenyum kecil, lalu...
"Saya turut berduka cita," ujar Kenzo dengan wajah sedih. Namun, wajah Kenzo terasa dejavu bagi Bunda Tiara. Lalu, ia menoleh ke arah Vhian.
"Kalian bersaudara?" Tanya Bunda Tiara.
"Ah, tidak. Kami berdua berteman dari kecil," Jawab Kenzo. Jawabannya diikuti anggukan kepala dari Vhian yang tanpa melepaskan tatapannya ke arah Bunda Tiara.
"Saya sudah menguruskan dokumen administrasinya. Sekarang kita pulang. Saya sudah menghubungi supir mobil jenazah dan dia sudah siap di depan."
Semua orang yang mendengar hal itu mengalihkan pandangannya pada pria paruh baya itu, yaitu Ayah Alena.
Lalu mereka pun pergi menuju rumah duka. Semua prosesi telah dilakukan di rumah Alena, dan besok adalah pemakamannya.
Waktu terus berlalu, dan di sinilah mereka, di tempat pemakaman Abang Rio. Selama prosesi pemakaman, Alena hanya terduduk pasrah dengan isak tangis yang sangat rapuh, sambil memeluk foto Abang Rio di dalam pelukannya. Di sampingnya, Jevan ikut berjongkok sambil memeluknya dari samping.
Sedangkan Bunda Tiara berdiri menatap kosong ke arah kuburan Abang Rio yang sudah ditutupi tanah. Di sampingnya, Vhian memegang bahu sempit Bunda Tiara.
Ayah Alena juga terdiam di tempat, menatap kuburan anak sulungnya. Ada penyesalan karena selama ini ia acuh kepada si sulung.
"Maafin Ayah, ya. Ayah janji bakal bantu adik kamu untuk membersihkan nama kamu. Anggap ini sebagai permintaan maaf dari Ayah," ucap lirih Ayah Alena.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah kembali ke rumah masing-masing.
Alena masuk ke kamarnya. Ia berjalan dengan tatapan kosong, lalu matanya menangkap satu bingkai foto dan beberapa foto yang dia tempelkan di atas meja belajarnya.
Alena menarik pelan kursi, lalu dia duduk. Tangannya mengambil bingkai foto. Setetes air jatuh membasahi kaca foto. Ibu jarinya mengusap pelan foto yang menampilkan dirinya dan Abang Rio sedang berpelukan.
Alena mengenakan gaun bunga-bunga, dengan pita kecil berwarna biru langit di rambutnya, sambil memegang buket bunga.
Dan Abang Rio dengan jas hitam, rambut tertata rapi, memegang buku ijazahnya.
Mereka berdua tersenyum sangat ceria di foto itu.
Alena ingat ini adalah saat dia ikut acara wisuda atau acara kelulusan Sekolah Menengah Abang Rio.
"Hiks... Hiks... hiks..." Alena pun menangis mengingat masa-masa bahagia mereka.
Apalagi dia sangat ingat perkataan terakhir Abang Rio saat dia dan Bunda mengunjungi Abang Rio di Lapas.
Di sisi lain, Bunda Tiara sedang duduk di sofa ruang tamu. Ia menatap ke arah TV yang tidak hidup, hanya menampilkan layar hitam dengan bayangan Bunda Tiara.
Tiba-tiba satu nama terlintas di pikirannya. Bunda Tiara tahu, anak sulungnya pasti meninggal secara sengaja. Karena yang dia tahu, Rio tipe orang yang tenang, dan tidak suka terlibat sesuatu yang menguras energi.
"Pasti... pasti dia..." ujar Bunda yang langsung buru-buru turun dari sofa. Dengan tergesa-gesa, ia mengambil kunci mobilnya lalu keluar rumah menuju seseorang yang dia yakini terlibat.
Bunda Tiara langsung melaju menuju tempat seseorang yang dia curigai.
Beberapa waktu kemudian...
Bunda Tiara sampai di depan rumah mewah berdesain modern. Begitu sampai di parkiran, Bunda Tiara dengan emosi langsung mengetuk pintu utama. Setelah beberapa ketukan, keluarlah orang yang dia cari.
"Kenapa kau kemari?" tanya orang itu sambil menatap malas.
"Dasar sialan!"
PLAKK!
Bunda Tiara menampar wajah pria itu dengan kuat sehingga meninggalkan bekas di pipi.
Wajah pria itu tertoleh ke samping. Lalu, ia mengalihkan pandangannya ke Bunda Tiara sambil mengusap darah di bibirnya.
"Aku tahu, kamu pelakunya, kan?" Tanya Bunda Tiara sambil mencengkeram kemeja yang dipakai pria itu.
Pria itu langsung menghempaskan cengkeraman itu dengan amarah.
"APA KAMU GILA, HAH?" bentak pria itu, menatap nyalang ke Bunda Tiara.
"KAMU YANG SIALAN! KENAPA KAMU HARUS MEMBUNUH PUTRAKU, HAH?" Bunda Tiara juga balik membentak.
"MEMBUNUH SIAPA? APA KAMU SUDAH GILA KARENA KEHILANGAN PUTRAMU ITU?"
"OKE, JIKA KAMU TIDAK MENGAKU, AKU AKAN MENGAKUI DOSA-DOSAKU. AKU AKAN BILANG KALO KITA BERDUA PERNAH SELINGKUH DAN MEMPUNYAI ANAK, DI DEPAN MASYARAKAT!"
ancam Bunda Tiara. Napasnya memburu, wajahnya merah. Pria itu langsung mendatarkan ekspresinya.
"Apa maksudmu? Apa sekarang kamu sedang mengancam saya?" ujar pria itu dengan nada berat. Terlihat urat di wajahnya yang menonjol, sedang menahan amarah besarnya.
"Iya, Tuan Besar Brian Lee, aku sedang mengancam dirimu," jawab Bunda Tiara menatap tajam pria itu yang ternyata adalah Brian Lee, Ayah Kenzo.
"Hah, jadi kamu ingin menghancurkan reputasi saya." Aura Brian Lee semakin berat dan gelap.
Lalu, tiba-tiba... PLAKK! PLAKK! Wajah Bunda Tiara ditampar dua kali oleh seseorang yang baru saja datang.