Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Shindy menjerit kencang sambil berdiri ketika melihat sesuatu di dalam kardus. Keringat pun membasahi tubuhnya secara tiba-tiba. Rupanya bingkai dan kertas-kertas di atas itu hanya untuk menutupi tulang belulang yang sudah rontok. "Astagfirullah... tulang apa itu?" Shindy bergumam. Jika tulang Kucing atau Anjing tidak mungkin sebesar itu. Dengan tangan gemetar, Shindy membungkuk hendak membongkar sampai bawah, agar tahu tulang apa.
Dok dok dok.
"Shindyyyy..." Suara melengking seperti trompet terdengar di telinga Shindy, disertai gedoran pintu yang tak kalah kencang seperti suara drum. Shindy panik, lalu mengembalikan bingkai dan kertas-kertas dengan cepat. Dia tindih kardus yang sudah hancur bagian atas itu dengan benda yang lain seperti semula.
Shindy berlari ketika pintu kembali di gedor dari luar. "Iya Bude..." Shindy menjawab lalu membuka pintu.
"Kenapa kamu berkeringat seperti itu?" Bude menatap Shindy curiga.
"Di dalam gerah bude" Shindy menjawab tidak berbohong juga.
"Ngapain kamu di dalam gudang? Bukankah sudah saya katakan! Kamu tidak boleh datang ke rumah ini lagi!" Semprot bude matanya menyala.
"Maaf bude, saya cuma mau ambil barang-barang saya, tapi ternyata dipindah ke gudang" Shindy menjawab, ia pura-pura tidak tahu jika melihat tulang yang mencurigakan.
"Ambil saja baju kamu, terus cepat pergi dari rumah ini!" Usir bude Warni.
"Tapi saya belum menemukan buku-buku saya bude" Shindy menoleh ke belakang di antara barang-barang bekas yang letaknya tidak beraturan.
"Buku-buku kamu sudah saya bakar" jawab bude enteng, lalu meninggalkan Shindy.
"Yang benar Bude" Shindy mengejar bude, berharap hanya pura-pura. Jika benar dia bakar, Shindy pasti akan banyak kehilangan bahan skripsi. Sebelum mendapat lap top dari Dila, Shindy menulis resume itu dengan tangan.
Namun, bude tidak lagi berkata-kata justru melangkah lebih cepat meninggalkan Shindy.
"Tolong bude... bude simpan di mana buku-buku saya?" Shindy mendahului bude dengan wajah memelas.
"Kamu tuli, bukanya sudah saya katakan, buku kamu sudah saya bakar!" Bude marah-marah mengatakan jika buku Shindy nyampah.
Shindy pun diam, jika ia lanjutkan bertanya pasti akan kena damprat yang lebih meyakinkan lagi. Ia memutuskan untuk pulang tapi sebelumnya menemui art bude ke dapur terlebih dahulu.
"Aku pulang ya, Mbak" pamit Shindy. Tapi ia putar kran mencuci tangan lebih dulu karena kotor banyak debu.
"Terus buku-bukunya mana Dek?" Tanya art yang bernama Sani itu menatap Shindy tidak membawa apa-apa.
"Buku saya sudah dibakar sama bude Mbak" lirih Shindy. Kesedihan wajahnya itu tertangkap oleh Sani.
"Ya Allah..." Sani kasihan menatap Shindy. Bude macam mana sama keponakan sendiri saja kejam. Jika bude selalu marah-marah kepadanya wajar, karena Sani hanya art, tapi Shindy diperlakukan seperti itu sungguh aneh.
"Biar saja Mbak, mau bagaimana lagi" Shindy sebenarnya kecewa, tapi jika berani melawan bude sama saja menyiram api dengan bensin. Shindy membasuh wajahnya di wastafel. Setelah dari gudang tadi rasanya kotor.
"Mbak, saya mau bicara" lirih Shindy agar tidak di dengar budenya, mengait tangan Sani ke belakang rumah.
"Ada apa to,,Dek?" Sani merasa Shindy ingin berbicara serius.
Shindy menceritakan kepada Sani apa yang ia lihat di dalam gudang, tapi belum tuntas bude keburu datang dan menggedor pintu.
"Hii... serem banget Dek, jangan-jangan tulang manusia" Sani merinding mendengarnya.
"Makanya Mbak, saya juga mikir gitu" Shindy minta tolong Sani, jika bude sedang tidak ada di rumah agar membongkar kardus sampai bawah dan memastikan tulang apa.
"Hii... saya tidak berani Dek" Belum apa-apa Sani sudah ketakutan. "Saya mau bongkar kardus, tapi sama Dek Shindy" lanjut Sani.
"Masalahnya saya tidak bisa masuk ke rumah ini lagi Mbak" Shindy sebenarnya menerima tawaran Sani, tapi tidak mungkin diizinkan berkunjung ke rumah ini oleh bude.
"Kalau begitu kita tukar nomor saja Dek" Sani mengatakan jika bu Warni sering kali ke luar kota. Jika esok atau lusa pergi lagi Sani akan menghubungi Shindy dan masuk gudang bersama-sama.
"Handphone saya belum aktif Mbak, kalu gitu saya minta nomor Mbak Sani saja."
Sani ambil pulpen dan kertas di kamar kecil dekat dapur yang ia gunakan, kemudian menulis nomor memberikan kepada Shindy.
"Terima kasih Mbak, kalau hape saya sudah aktif saya segera kirim nomor saya" ucap Shindy, tangannya memasukkan kertas ke dalam saku gamis.
"Dek, jangan-jangan bu Warni mencari pesugihan"
"Pesugihan?" Shindy memotong.
"Iya, bu Warni kan kaya raya, bisa jadi tulang-tulang yang Dek Shindy lihat itu wadal" Sani begidik ngeri. Ia menjadi semakin tidak betah bekerja di rumah itu.
"Mbak Sani ada-ada saja" Shindy tidak percaya, di jaman modern seperti ini mana mungkin ada pesugihan.
"Saniiiii..."panggil bude di dapur, lagi-lagi berteriak.
"Saya Nyonya..." Sani berlari ke dapur.
"Buatkan saya teh, ingat, jangan manis-nanis" perintahnya.
"Baik Nyonya..." Sani segera membuka teh.
"Kenapa kamu masih di rumah ini Shindy!" Bude menatap Shindy penuh kebencian ketika Shindy muncul belakangan.
"Saya mau pulang bude" Shindy hendak salim tangan tapi bude menolak.
Shindy menarik tangannya berlalu cepat, menyambar mukena yang ia letakkan di kursi kemudian pulang.
"Maaf Pak, saya lama."
"Tidak apa-apa Non" mobil pun melesat pergi hingga tiba di rumah Alexander.
Tiba di rumah, Shindy segera mandi walaupun waktu menunjuk jam 12 siang. Shindy tidak mau shalat dzuhur dalam keadaan baju kotor. Setelah ganti pakaian kemudian shalat. Shindy pun naik ke kasur hendak beristirahat seperti yang dikatakan Adisty, tapi bayangkan tulang di dalam kardus tadi membayangi matanya terus menerus, padahal semenjak dari gudang tadi badannya semakin capek.
Shindy bingung hendak melakukan apa, niatnya pulang untuk beristirahat tapi tidak bisa. Hendak mengerjakan skripsi pun lap top nya tertinggal di rumah sakit. Ingat rumah sakit, Shindy ingat Arkan, biasanya jam segini ia suapi.
"Sebaiknya aku ke rumah sakit saja" Shindy turun dari kasur, ambil uang dari lemari pakaian untuk naik ojek.
"Bibi... bisa minta tolong pesan ojek?" Tanya Shindy ketika sudah berada di lantai bawah.
"Bisa Non" bibi bergegas ambil handphone memberikan kepada Shindy. Shindy mengucap terimakasih lalu memesan ojek online.
"Non Shindy makan dulu" titah bibi.
"Nanti saja Bi" Shindy baru ingat jika saat ini sudah waktunya makan siang, tapi ia sudah terlanjur memesan ojek.
"Kalau begitu membawa bekal saja" bibi rupanya tahu apa yang dipikirkan Shindy. Tanpa disuruh, ia menyiapkan bekal untuk Shindy.
"Terima kasih Bi..." Shindy terharu, bibi sangat perhatian. Selama bibi menyiapkan bekal bersamaan ojek datang. Shindy lantas keluar menemui ojek yang sudah menunggu di luar pagar.
Hanya waktu lima menit, Shindy sudah tiba di depan ruang inap Arkan. Ia mendorong pintu perlahan-lahan, tapi menutup kembali ketika melihat dua orang di dalam kamar sedang berbicara dengan Arkan, entah apa yang mereka bicarakan.
...~Bersambung~...
Sabar Iya Shindy