Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Ayah Jahat dan Kejam
“Eve, tolong … dengarkan aku dulu,” suara Darren terdengar nyaris putus asa saat ia menyusul langkah Eve di lorong. Tapi wanita itu tetap berjalan tanpa menoleh.
“Baiklah,” ucap Darren akhirnya, menahan napas. “Lupakan kalau aku pernah bilang mencintaimu. Tapi kumohon, dengarkan aku kali ini. Aku hanya khawatir padamu.”
Eve masuk ke kamar, berhenti, tapi tidak berbalik.
“Aku tidak tahan melihatmu menjaga Damien sendirian, sementara kau juga sedang mengandung. Tadi kau dengar sendiri, kan, kata dokter? Kondisimu menurun. Kau tidak bisa terus begini, Eve.”
“Cukup, Darren.” Eve berbalik perlahan, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tetap tegas. “Apa pun alasanmu, kau tidak punya hak mengatakan itu. Ini anakku—dan anak Alex. Bukan urusanmu. Kau tidak bisa mengambil keputusan sepihak hanya karena kau merasa lebih tahu.”
“Eve—”
“Lagipula, aku hanya kekurangan istirahat. Tekanan darah rendah bukan penyakit mematikan. Aku bisa menanganinya sendiri, jadi tolong jangan ikut campur sejauh ini.”
Eve melangkah menjauh, berhenti di sisi jendela. Cahaya lampu kota dari luar jatuh di wajahnya, membuat bayangan lembut di pipinya yang pucat.
“Baiklah,” Darren menarik napas panjang, menahan nada emosinya. “Mungkin aku memang keterlaluan. Tapi aku hanya takut kehilanganmu juga.”
Ia mendekat perlahan, berdiri di samping Eve, suaranya melembut.
“Eve, jangan menghindar dariku seperti ini. Apa yang kukatakan waktu itu—tentang perasaanku—itu bukan untuk menekanmu. Aku hanya ingin … merasa lega setelah sekian lama menyimpannya sendiri.”
Eve terdiam, matanya tetap menatap keluar jendela.
“Kalau kau tak pernah punya perasaan padaku, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu,” lanjut Darren pelan. “Tapi jangan menolakku sepenuhnya. Aku hanya ingin kau tahu—kalau suatu saat kau butuh bantuan, aku ada. Alex tidak bisa menjagamu setiap waktu, tapi aku mungkin bisa. Aku tidak terikat siapa pun, tidak memiliki terlalu banyak hal yang aku urus, dan aku bisa datang kapan pun kau memerlukan.”
Eve menutup matanya perlahan. Entah Darren benar-benar tulus atau hanya ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan Alex, ia tak tahu. Tapi di lubuk hatinya, ia mengakui—ia membutuhkan seseorang untuk bersandar.
Malam itu, Eve tertidur di sisi Damien. Kepalanya tergeletak di tepi ranjang, tangannya masih menggenggam tangan putranya yang lemah.
Yang tak ia sadari, Damien sebenarnya mendengar segalanya. Ia tidak pingsan, hanya terlalu lemah untuk membuka mata atau bersuara.
Setiap kata yang diucapkan Darren dan ibunya mengalir masuk ke telinganya, menusuk perlahan ke dalam kesadarannya yang setengah kabur.
Ia berusaha bergerak, tapi tubuhnya tak sanggup.
Hanya setetes air mata hangat yang mengalir pelan dari sudut matanya—diam, nyaris tak terlihat.
…..
Karena tidur sejak sore, Daisy terbangun lebih pagi dari biasanya. Begitu membuka mata, dia sempat terkejut melihat sosok ayahnya sudah duduk di sisi ranjang.
“Ayah?” Suaranya masih serak.
Alex menoleh sambil tersenyum lembut. “Hai, selamat pagi.”
Daisy mengucek matanya, masih separuh sadar, seperti memastikan apakah ia tidak sedang bermimpi. Tapi itu memang benar—ayahnya.
“Ayah, sejak kapan kau bangun sepagi ini?”
“Sejak kau tertidur sore kemarin dan tidak bersuara sama sekali. Bagaimana tidurmu, apa itu nyenyak?”
Padahal Alex sendiri tidak tidur sedikit pun.
Semalaman ia hanya berjalan mondar-mandir di kamar, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Tanpa Eve di sisinya, pelukan yang biasanya membuatnya tenang kini berubah menjadi kekosongan yang membuatnya sulit memejamkan mata.
“En. Aku tidur sangat puas kemarin,” jawab Daisy polos, meregangkan tubuhnya.
“Kau pasti sangat lelah sampai tidak terbangun sedikit pun.”
“Ya, aku puas bermain kemarin.”
Alex tersenyum kecil. “Sekarang, cepat mandi dan bersiap. Kita sarapan bersama.”
Biasanya Eve yang menyiapkan pakaian Daisy setiap pagi. Meskipun mereka punya pelayan, Eve selalu melakukannya sendiri.
Ia pernah berkata pada Alex, “Hal-hal kecil seperti ini tidak akan terulang lagi nanti. Saat mereka sudah besar, aku pasti akan merindukannya.”
Kini, Alex menggantikan peran itu. Begitu Daisy keluar dari kamar mandi, pakaian dan sepatu sudah tertata rapi di tempat tidur.
Namun, satu hal yang tidak pernah dia kuasai: rambut panjang putrinya.
Alex mencoba menyisirnya perlahan, tapi rambut Daisy yang tebal membuatnya kesulitan.
“Ayah, itu sakit! Apa kau mau membuat kulit kepalaku terkelupas?”
“Ini sudah yang paling hati-hati, Daisy!”
“Tapi kau tetap kasar!”
Bagi Daisy, standar “lembut” versi Alex masih terasa seperti siksaan.
“Sudahlah, Ayah! Lupakan soal kuncir. Damien bisa melakukannya lebih baik darimu,” gerutunya sambil merebut sisir dan berdiri di depan cermin dengan wajah cemberut.
Alex hanya mengangkat alis, menahan senyum. “Lain kali aku akan belajar menguncir rambut. Sekarang bagaimana kalau aku panggilkan pelayan saja?”
“Tidak perlu. Aku tidak nyaman orang lain menyentuh rambutku.”
Suasana nyaris beku sampai suara riang muncul dari pintu.
“Bagaimana kalau aku yang bantu? Aku yakin bisa lebih baik dari Ayahmu.”
Manda berdiri di ambang pintu, tersenyum cerah.
“Manda! Lihat, Ayah membuat rambutku rontok dan berantakan!” Daisy langsung berlari ke arahnya sambil mengadu, membawa sisir dan kuncir rambut di tangannya.
Alex terkekeh, memilih mundur teratur. Ia meninggalkan mereka dan turun ke lantai bawah. Di sana, Rayyan sudah menunggunya dengan pakaian rapi, menatap layar ponsel.
“Kenapa datang sepagi ini?” tanya Alex, menarik kursi dan duduk.
“Sebenarnya, Nyonya yang menghubungi Manda dan meminta kami datang, Tuan. Beliau bilang Anda mungkin akan kesulitan mengatur Daisy.”
Alex memijat pelipisnya pelan. “Aku melakukan semuanya dengan cukup baik … sampai akhirnya bertemu dengan gumpalan rambut setebal itu.”
Rayyan tersenyum kecil, menahan tawa.
“Apa? Kau pikir ini lucu?” Alex melirik tajam. “Di masa depan kau juga mungkin harus belajar bagaimana cara menguncir rambut anakmu.”
“Saya pasti akan mengajak Manda ke sini saat pagi. Meskipun tidak banyak membantu, setidaknya itu sudah menyelesaikan masalah menguncir rambut Daisy.”
Manda dan Daisy turun bersama—rambut Daisy kini dikepang rapi dengan pita kecil di ujungnya. Wajah mungilnya tampak berseri, seolah kejadian “tarik rambut” pagi tadi tidak pernah ada.
Melihat itu, Alex hanya menghela napas lega. “Baiklah, karena semua sudah siap, ayo sarapan bersama.”
Rayyan dan Manda sempat menolak halus, mengatakan mereka sudah makan sebelumnya. Tapi melihat Daisy yang menatap mereka penuh harap, keduanya akhirnya menyerah.
Hari ini Alex sendiri yang mengantar dia ke sekolah, menggandengnya sampai di depan gerbang dan baru pergi setelah anaknya masuk.
Daisy melangkah dengan tidak begitu bersemangat pagi ini. Baru juga dia merasakan pergi ke sekolah bersama Damien, sekarang dia harus kembali pergi seorang diri.
Teman-teman perempuannya yang lain menghampirinya dengan serempak, berlari mengerubunginya.
“Daisy, di mana Damien? Apa benar jika Damien sakit?” Salah satu dari temannya yang berambut ikal bertanya. “Ibuku dokter, dia yang mengatakan itu padaku kemarin.”
“Ya, dia tidak akan sekolah di sini lagi.”
“Hei, jangan dekat-dekat dengannya!” Suara anak laki-laki yang lebih dewasa dari Daisy meneriaki mereka. Telunjuknya mengarah tepat ke Daisy dengan dua teman laki-lakinya yang lain. “Jika kalian membuatnya tersinggung, mungkin Ayahnya akan mencabut jantung kalian dan memberikannya pada anak lelakinya.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Daisy adalah teman kami!”
“Jika kalian masih berteman dengannya, nasib kalian akan sama dengan Eldy, dia teman kami. Ayahnya Daisy itu sudah mengambil jantung Eldy dan memberikannya pada anak lelakinya.”
“Hei, jangan mengatakan hal buruk mengenai Ayahku!” Daisy balik meneriakinya. Dia tidak pernah takut bahkan pada anak-anak yang lebih dewasa darinya sejak dulu. Apalagi jika mereka membicarakan mengenai Ibunya.
“Kau tidak bisa berbohong lagi! Ibuku bertemu dengan Neneknya Eldy dan dia mengatakan semuanya. Ayahmu sangat jahat dan kejam!”
Teman-teman Daisy yang mengerubunginya tadi perlahan mundur. Mereka menatap Daisy dengan tatapan takut.
“Daisy, jangan dekat-dekat, kami takut denganmu.”
Biasanya Daisy tidak akan terima jika ada temannya yang mengatakan hal buruk pada orang tuanya, dan karena itu dia sering berkelahi di sekolahnya dulu.
Tapi sekarang … Daisy hanya bisa menelan semuanya dan berlari menjauh.
Daisy pergi ke halaman belakang dan menangis di sana, menutupi wajah sambil menekuk lututnya di atas tanah.
Apa yang harus dia katakan? Karena itu memang benar, bahkan Diana juga mengatakan itu sambil menangis meminta jantung cucunya dikembalikan.
Daisy menangis sampai sesenggukan, dan tidak ada yang mau mendekatinya. Semua teman-temannya menjauh karena takut pada Ayahnya.
Hari itu Daisy tidak mau melanjutkan jam sekolahnya. Dia pergi ke ruang guru dan berkata kalau dia memiliki masalah perut dan ingin pulang.
Edgar datang untuk menjemputnya, tapi saat dia melihat Daisy, dia tahu Daisy baru saja menangis.
Pria itu berjongkok di depannya, mengusap pipi Daisy. “Kau menangis lagi. Ada apa? Siapa yang membuatmu menangis?”
Padahal Daisy sudah berhenti menangis tadi, tapi karena pertanyaan Edgar, dia kembali menangis dan memeluk Edgar.
***