NovelToon NovelToon
The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

The Absurd Girl And The Cold Flat Boy

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos
Popularitas:766
Nilai: 5
Nama Author: Irma pratama

Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mimpi Yang Absurd

...MIMPI YANG ABSURD...

Malam itu, meskipun penuh tawa dan ledekan bersama sahabat-sahabatnya, Arabella akhirnya memutuskan untuk sholat istikharah. Dengan langkah malas tapi penasaran, dia ambil wudhu dan melaksanakan dua rakaat, lalu berdoa dengan setulus hatinya.

“Ya Allah... Kalau memang ada di antara mereka yang terbaik untuk saya, maka tunjukanlah... tapi please banget Ya Allah... jangan sampai muncul Devan, Balwa ataupun Balwi, Please!!”

Arabella menutup doanya dengan lirih penuh harap dan sedikit cemas. Setelah berbaring dan membaca beberapa dzikir, tak lama dia pun tertidur.

Dalam mimpinya...

Arabella berdiri di sebuah taman luas dengan langit senja oranye keemasan. Bunga-bunga berwarna ungu dan putih bermekaran di sekelilingnya. Angin berhembus lembut, menebarkan aroma harum seperti kasturi. Arabella melangkah pelan dengan gaun panjang putih yang tak biasa dia kenakan.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh. Kaisar muncul, mengenakan gamis putih dan sorban abu-abu, wajahnya bersinar lembut, dia tersenyum dan berkata,

“Saya datang bukan untuk mengikat, tapi untuk menuntun. Jika Allah berkehendak, saya akan tetap disini menunggumu.”

Arabella hendak bertanya, tapi suara lembut dari arah lain menyusul. Ustad Izzan muncul, masih dengan wajah datarnya, tapi kali ini lebih hangat. Dia hanya menatap dan berkata,

“Kadang yang diam bukan tak perduli, hanya menunggu waktu yang tepat. Saya akan selalu menjaga, walau dari jauh.”

Belum sempat Arabella mencerna perkataan ustad Izzan tiba-tiba terdengar kembali, sosok pria ramah, wajah tampan asli Indonesia ustad Azzam,

“Mungkin saya terlambat, tapi jika kamu merasa sendiri, saya akan selalu ada untukmu...”

Arabella mulai bingung.

“Laaahh... trus siapa yang harus gue pilih?” bisiknya.

Dan tiba-tiba...

Devan muncul dari semak-semak, pakai mahkota dari ranting pohon.

“AKULAH JAWABANNYA, WAHAI PUTRI ISTIKHARAH!”

Balwa menyusul naik sepeda mini,

“JANGAN PERCAYA DEVAN, DIA SUKA NGUPIL DI KELAS!”

Lalu Balwi lompat dari atas pohon,

“PILIH AKU AJA, AKU UDAH SIAP NIKAH, TINGGAL BAJU!”

Arabella langsung berteriak, “AAAAAAKKHHH!!! Ini mimpi apaan? Set Dah!”

Seketika langit berubah jadi gelap, taman hilang, Arabella bangun dari tidur dengan napas terengah.

*****

Dini harinya Arabella terduduk di tempat tidurnya dengan wajah kusut. Dina, Elis dan Sari sudah bangun dan langsung menatapnya penuh harap.

Istikharah sih Istikharah... tapi mimpi gue kok absurd banget sih...

“Jadi gimana, Bell? Dapet petunjuknya? Apa petunjuknya?” tanya Dina antusias.

Arabella masih menatap kosong.

“Yang muncul siapa? Kaisar? Izzan?” Elis ikut penasaran.

Arabella menatap mereka pelan, lalu menjawab dengan wajah frustasi,

“Haaah... Boro-boro... Yang muncul tuh si trio bocil tengil! Devan pake mahkota ranting, Balwa naek sepeda mini sama si Balwi yang tetiba lompat dari pohon!”

Semua langsung ngakak sekencang-kencangnya sampai Sari nyaris jatuh dari tempat tidur. Dina masih tertawa sambil menepuk bahu Arabella.

“Fix! Kamu tuh saking kebanyakan mikirin mereka!”

Arabella menutup mukanya dengan bantal, “Ya Allah... gue tuh minta petunjuk, bukan tontonan absurd!”

*****

Pagi itu, aroma bawang tumis dan rempah-rempah khas dapur pondok menyebar lembut ke seluruh penjuru. Dapur santriwati tampak ramai seperti biasa, denga suara celetukan dan tawa kecil menghiasi aktivitas pagi. Diantara mereka, Arabella tampak begitu fokus memotong sayuran sambil mengaduk kuah gulai yang mulai mendidih.

“Bella... tolongin itu cek apinya, jangan sampai gosong kayak hati kamu pas ditinggalin!” celetuk Elis, yang langsung mendapat lemparan daun salam dari Arabella.

“Becanda mulu lu! Nih cicipi, jangan-jangan bumbu lu lagi yang gosong!” balas Arabella dengan gaya sok galak, membuat yang lain tertawa.

Di sisi laiin dapur, Uma Salma sedang mengatur bahan-bahan sambil tersenyum melihat keceriaan para santriwati. Saat itulah, Ustad Izzan masuk perlahan untuk mengambil air minum. Matanya secara refleks tertuju pada sosok Arabella. Dengan apron sederhana, rambut terselip rapih dalam kerudung, wajah sedikit berkeringat tapi tetap memancarkan aura lembut dan bersahaja. Ada hal dari Arabella yang tak bisa dijelaskan, yang membuat Izzan hanya bisa berdiri beberapa detik, membatin,

Bagaimana saya bisa menghilangkan perasaan ini... kalau setiap hari saya melihat dia...?

Tak jauh dari situ, pintu dapur terbuka kembali. Kaisar masuk, dengan gaya santai dan senyuman jahil seperti biasanya. Tujuan awalnya hanya ingin menyapa Uma, tapi matanya langsung tertuju pada Arabella yang sedang mengaduk sayur.

“Hm... ternyata chef kita pagi ini cantiknya naik level. Jangan-jangan bumbunya dikasih cinta, ya?” goda Kaisar sambil melirik Arabella.

Arabella spontan menoleh dengan tatapan mendelik, “Masak beneran nih! Jangan ganggu! Gue cemplungin juga tuh wajah lo ke wajan, biar glowing!”

Kaisar tertawa lepas, “Waduh, jangan dong... tar panas! Tapi kalo liat kamu marah-marah kayak gini, malah bikin tambah gemes.”

Ustad Izzan hanya menghela napas pelan, menyelesaikan mengambil air lalu pamit keluar. Dalam hati, dia menyadari betapa beratnya rasa yang dia simpan. Sementara di dalam dapur, suasana kembali riuh dengan celetukan para sahabat Arabella yang mengoda habis-habisan.

“Bell, kamu serius masak atau serius bikin orang jatuh cinta sih?” tanya Sari menggoda

“Dua cowok tampan sekaligus memandangi kamu di dapur. Kalo aku jadi kamu udah kayak caramell deh... meleleh duluan.” Kode Dina.

Arabella mengangkat spatula tinggi-tinggi, “Kalian bantu masak atau bantu rusuhin hati gue sih?!”

Tawa kembali pecah, menyambut pagi yang cerah dan hati yang belum juga selesai menentukan arah. Pagi itu, usai adzan dhuha berkumandang dan para santri mulai keluar dari masjid menuju ruang makan, aroma khas masakan dapur pesantren Kiyai Hasyim sudah menyambut sejak di pelataran. Nasi hangat, gulai ayam, sambal terasi dan tumisan sayur wangi menggoda siapa pun yang menciumnya. Satu persatu, para santri mulai menyuapkan ke dalam mulut. Dan detik itu juga...

“Wuiiihhh... sumpah ini enak banget!”

“Beda dari biasanya.. rasa gulainya kaya, rempahnya kerasa banget!”

“Siapa yang masak hari ini? Ini tuh... gak kayak masakan pondok, tapi kayak restoran bintang lima!”

Keramaian pun terjadi di ruang makan. Bahkan ustad dan ustadzah yang biasanya kalem pun mulai melirik-lirik ke dapur.

“Siapa yang jaga dapur pagi ini ya? Saya jadi ingin nyendok dua kali.” Tanya penasaran Ustadzah Sinta.

Ustad Hamzah tersenyum sambil mengangguk. “Kalau tiap hari rasanya begini, saya siap ikut bantu masak tiap pagi.”

Tiba-tiba suara khas Devan yang suka rusuh, menggema di ruang makan.

“Siapa pun yang masak ini... kalo dia umurnya di bawah gue, gue anggap adik. Kalo seumuran, gue nikahin. Kalo lebih tua, gue panggil kakak! Yang penting gue bisa makan ini tiap hari!”

Seisi ruangan heboh, tertawa ramai dan bersorak. Tapi gelak tawa langsung terhenti saat terdengar suara khas dari balik pintu dapur,

“Jangan harap ya! Mending lo puasa seumur hidup daripada gue masakin lo tiap hari, Devan!”

Arabella keluar, membawa nampan isi kerupuk, berdiri dengan tatapan menantang. Sekali lagi, ruangan membeku. Seisi pesantren melongo.

“HAH?! ARABELLA YANG MASAK?”

Ustad Jiyad, yang baru saja menyendok gulai untuk ketiga kalinya, hanya bisa menggeleng kagum.

“MasyaAllah... ternyata yang masak Arabella. Saya jadi mikir, siapa pun yang jadi suaminya... beneran laki-laki paling beruntung di dunia. Bangun tidur disajikan cinta dan rasa di satu piring.”

Elis, Sari dan Dina di belakang Arabella langsung cekikikan.

“Bell, itu Ustad Jiyad loh yang ngomong, bukan sembarang santri.” Goda Sari.

“Jangan GR Bell, Tapi emang bener sih. Masakan kamu hari ini... TOP!” ucap Dina mengacungkan kedua jempolnya.

Arabella Cuma manyun pura-pura sebal sambil membanting pelan nampan ke meja.

“Gak usah pada lebay ya! Sekali doang masak bener, langsung heboh. Dasar pada lapar cinta!”

Dan seperti biasa, ruang makan Pesantren pagi itu jadi ajang bukan hanya mengenyangkan perut, tapi juga menyisakan kenyang di hati, terutama untuk tiga orang lelaki yang diam-diam terus mencuri pandang pada sang koki dengan sejuta keunikan.

Ruang makan itu masih ramai. Piring-piring mulai kosong, gelas-gelas teh manis tersisa setengah, dan aroma sisa gulai yang nikmat masih mengoda. Arabella, setelah berkali-kali dipuji karena masakannya, memilih untuk duduk dengan santai dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Tanpa sengaja, saat tangannya hendak menyendok gulai ayam, sendoknya bersamaan dengan sendok orang lain.

Cring...

Tatapan mereka bertemu. Ustad Izzan. Mereka sama-sama mematung. Arabella refleks menarik sendoknya sambil menunduk, wajahnya memerah. Sedangkan Ustad Izzan, dengan gaya dinginnya yang khas, malah membatin,

“Kok sendoknya milih momen romantis sih?”

“EAAAA...”

“Sendok bareng! Satu gulai dua hati!”

“Wah Ustad Izzan! Gak nyangka..”

Arabella melirik yang bersuara dan melotot galak, tapi yang terlihat malah semakin imut dan menggemaskan, padahal dia sedang menenangkan detak jantung yang berpacu cepat. Malah di goda pikirnya, jadi Arabella menunduk malu.

Sementara Izzan hanya tersenyum kecil, melihat tingkah Arabella senyuman langka yang bikin seisi ruangan makin heboh. Namun di sudut meja, empat santri senior, Ani, Hani, Heni, Erni, Maya, hanya menggeleng dan berbisik sinis.

“Liat tuh, centil banget.” Tunjuk Heni pada para sahabatnya.

“Pura-pura nggak sengaja, padahal jelas nyari momen.” Ketus Erna

“Capek aku liat kayak caper murahan begitu.” Timpal Maya tiba-tiba

“Kasian Ustad Izzan dimanfaatin...” keluh Ani

Arabella sebenarnya mendengar gumaman itu. Tapi sebelum sempat bereaksi, tiba-tiba seseorang menyerobot dari arah lain. Ustadzah Rahmah dengan senyum manisnya, mendekat dan berkata lembut pada Ustad Izzan,

“Biar saya saja Ustad. Saya ambilkan gulainya.”

Suasana mendadak sunyi. Semua yang tau sikap Ustadzah Rahmah yang biasanya tenang dan kalem jadi melongo. Termasuk Arabella, yang mendelik tajam sambil membatin,

“Barusan apa? Seorang Ustadzah...centil?!”

Izzan yang bingung hanya bisa menggeleng pelan, lalu menolak dengan sopan,

“Terima kasih, Ustadzah. Saya ambil sendiri saja.”

Arabella berdiri dengan cepat dan beranjak ke tempat lain dengan dalih mau minum. Tapi dalam hatinya, perang mulai terjadi.

“Kaisar satu... sekarang Ustadzah juga.. Hah... ini pondok apa medan perang sih?”

Ustad Jiyad yang duduk tak jauh dari situ hanya tersenyum sambil menyeruput teh.

“Gulai bisa dingin.. tapi rasa yang menggeliat di hati kayaknya makin panas.” Gumamnya pelan. Melirik kedua sahabatnya.

Dari balik pilar deka taman kecil di samping ruang makan, dua pasang mata menyaksikan kejadian demi kejadian bak sinetron, dari momen sendok bersinggungan, santri yang heboh, hingga Ustadzah Rahmah yang tiba-tiba centil. Ustad Azzam menyilangkan tangan di dada, menghela napas panjang.

“Jujur, saya nggak nyangka Rahmah bisa seagresif itu.”

Disampingnya Kaisar diam, pandangannya lurus menatap sosok Arabella yang kini berdiri di sudut, berpura-pura minum sambil wajah ditekuk. Ustad Azzam melirik Kaisar dengan alis terangkat.

“Kamu cemburu?”

Kaisar hanya menghela napas.

“Bukan soal cemburu. Tapi lucu aja. Baru sebentar saya tinggal... udah sebanyak itu yang ngelilingin dia.”

Azzam tersenyum pahit.

“Dan kamu baru sadar kalau kamu harus lebih cepat, ya?”

Tanpa menjawab, Kaisar melangkah. Diam-diam dia meninggalkan Azzam dan berjalan pelan menyusuri sisi taman, menuju tempat Arabella berdiri. Langkahnya tenang, tapi sorot matanya serius. Sementara itu Arabella masih memutar-mutar gelas plastik kosong di tangannya, berbisik sendiri.

“Ya Allah, itu Ustadzah Rahmah kok bisa-bisanya begitu... mana semua orang ngeliatin lagi...”

“Ngomongin siapa, Raia?”

Suara itu lagi. Arabella langsung menoleh, dan jantungnya mencelos. Kaisar berdiri di belakangnya, bersandar santai dengan satu tangan di saku.

“Ck... bisa ngak sih jangan tetiba muncul gitu?!” ucap Arabella menggerutu, walau pipinya mulai memerah.

Kaisar tersenyum, tenang tapi menusuk. “Saya Cuma penasaran. Kamu lebih marah liat saya, atau Ustadzah Rahmah barusan?”

Hah?? Maksudnya apa sih? Gumamnya dalam hati, tapi mukanya tambah merah.

Kaisar mendekat sedikit, suaranya lebih lembut. “Raia... saya Cuma pengen bilang, saya belum selesai cerita semalam. Tapi rasanya... sekarang lebih rumit dari yang saya kira.”

Arabella masih diam.

“Tapi satu yang pasti... saya belum pernah berhenti memperjuangkan kamu. Bahkan waktu saya harus pergi pun... saya tetap bawa nama kamu dalam setiap doa saya.” Ucap Kaisar menatap Arabella.

Arabella menunduk. Suara-suara heboh dari ruang makan sudah tak terdengar lagi. Yang ada hanya detak jantungnya sendiri... dan tatapan Kaisar yang terlalu dalam untuk diabaikan. Ustad Azzam di kejauhan memejamkan mata, lalu tersenyum pahit.

“Perjuangan belum selesai, tapi mungkin saya harus bersiap kalah dari awal.”

*****

Setelah suara sendok dan piring tak terdengar lagi, dan ruang makan kembali tenang, para santri diarahkan ke lapangan utama pesantren. Langit sore menggantungkan awan tipis, angin sejuk mengibaskan kerudung dan peci para santri.

Ustad Hamzah berdiri di atas podium sederhana, suaranya menggema melalui speaker portable.

“Anak-anakku semua, hari ini ada pengumuman penting. Pesantren kita akan ikut serta dalam perlombaan beladiri santri se Jawa Barat! Kita akan kirimkan perwakilan terbaik, baik dari santri putra maupun putri!”

Sontak suasana jadi ramai. Beberapa santri langsung bersorak. Devan, Balwa dan Balwi berteriak paling keras, seolah sudah juara nasional.

“Yang berminat ikut, bisa mendaftarkan ke Ustadzah Rina dan Ustad Jiyad. Latihan akan dimulai minggu ini. Tapi ada kabar baik... kita akan didampingi langsung oleh pelatih beladiri profesional dari luar!” ucap Ustad Hamzah kembali.

Semua mata berbinar. Tapi kemudian ada suara yang bertanya,

“Terus Kak Bella gimana? Bukannya biasanya Kak Bella yang ngelatih kita?”

Arabella yang berdiri di sisi kanan lapangan tersenyum lembut. Dia melangkah maju, menyapa semua dengan tangan di dada.

“Maaf ya semuanya, Kakak nggak bisa lagi jadi pelatih karena jadwal kuliah makin padat. Tapi... Kakak tetap ikut jadi perwakilan pesantren kok. Kita akan berjuang bareng!” ucap Arabella tegas.

Riuh rendah tepuk tangan dan sorakan menggema. Dina, Elis dan sari berpelukan bangga. Para santri putri lainnya memandang Arabella dengan kagum, dan santri putra... yah, sebagian malah bisik-bisik salting. Ustad Izzan, Azzam dan bahkan Kaisar berdiri di pinggir lapangan memperhatikan dari jauh.

“Dia nggak bisa lagi ngelatih... tapi dia masih mau berjuang. Itulah Arabella, yang selalu sulit untuk dilepas.” Batin Ustad Izzan.

Kaisar, dengan tangan terlipat, tersenyum samar.

“Kalau dia masih di lapangan, berarti saya juga harus ada di tribun. Nggak akan saya biarin dia berjuang sendirian!”

1
Retno ataramel
banyakin up thor ak suka 🙏
Tara
jodohmu kaga jauh ...smoga cepat bucin ya...🤭🫣🥰😱🤗👏👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!