Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Komandan Bebek
...Bab 33...
...KOMANDAN BEBEK...
Setelah salat Ashar selesai, para santri berbaris rapi meninggalkan masjid dan mulai berpencar menuju kelas masing-masing. Udara sore terasa sejuk, angin berembus lembut menyapu dedaunan pepohonan di sekitar halaman pesantren.
Arabella, Dina, Elis, dan Sari berjalan beriringan menuju kelas mereka. Mereka tahu, ini jadwalnya Ustadz Izzan mengajar, dan entah kenapa, keempatnya terlihat lebih rapi dari biasanya. Bahkan Arabella yang biasanya cuek pun, kali ini jilbabnya nggak miring-miring kayak biasanya.
Di seberang jalan menuju kelas, terlihat trio jahil Devan, Balwa, dan Balwi, melangkah dengan gaya khas mereka. Tapi ada yang beda, mereka tampak lebih 'niat'. Devan sibuk membenarkan sarungnya yang sebenarnya sudah rapi,
Balwa dengan dramatis membetulkan posisi peci sambil bercermin pakai layar handphone mati, dan Balwi membetulkan kerah baju yang sama sekali nggak bermasalah.
Arabella melirik mereka dan langsung nyeletuk, "Wih, trio calon ustadz seleb! Pada ngapain sih? Mau photoshoot buat kalender pesantren?"
Devan nyengir, "Harus rapi dong, soalnya yang ngajar Ustadz Izzan. Nanti kalau kita gak rapi, kena semprot lagi."
Balwa menambahkan, "Kata orang, kerapian adalah separuh dari iman!"
Balwi mengangguk dramatis, "Dan separuh lainnya adalah... usaha ngedeketin lo, Bell."
Arabella langsung memelotot. "Balwi! Lo salah kitab! Yang bener tuh, separuh lainnya adalah... sabar ngadepin trio absurd kayak kalian!"
Dina, Elis, dan Sari langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Devan menggoda lagi, "Tapi Bell, lo keliatan lebih anggun sekarang. Jangan-jangan... ada yang bikin hati dia berdetak di antara senja dan fajar?"
"Yaelah, Dev... denger dari mana tuh? Jangan-jangan lo nguping Ustadz Izzan nanya random kemarin?" sahut Arabella sambil nyengir lebar.
Semua tertawa lagi, membuat langkah mereka terasa lebih ringan meski kelas sudah menanti.
Dan jauh di belakang, Ustadz Izzan yang baru keluar dari ruangannya hanya bisa menggeleng pelan sambil menarik napas...
"Santri satu itu... nggak pernah kehabisan energi."
Kelas sore berlangsung seperti biasa. Semua santri sudah berada di tempatnya masing-masing, menghadap ke papan tulis. Ustadz Izzan duduk di depan dengan buku absensi di tangan, mulai menyebut satu per satu nama santri sambil mencatat kehadiran.
"Arabella?"
"Hadirr..." sahut Arabella dengan nada khasnya yang setengah lesu, setengah semangat.
Setelah absen selesai, Ustadz Izzan mulai menjelaskan pelajaran. Lima menit berjalan dengan tenang. Sepuluh menit, suasana kelas masih fokus. Tapi di menit kelima belas, Arabella mulai goyah. Kelopak matanya semakin berat, kepala mulai miring-miring tak karuan, dan buku di mejanya mulai tak terbaca isinya.
Dengan sisa kesadaran, Adara mengacungkan tangan.
"Ustadz... ijin cuci muka. Sumpah Ustad, saya ngantuk parah..."
Ustadz Izzan hanya mengangguk tanpa banyak bicara, "Silakan."
Arabella langsung bangkit dan berjalan ke arah kran yang berada dekat dapur pesantren. Setelah cuci muka dan menatap wajahnya yang masih setengah ngantuk di permukaan air, ia mendengar langkah kaki. Ternyata Pak Aming lewat sambil membawa baskom besar.
"Eh Pak Aming! Itu buat apaan?" tanya Arabella dengan semangat yang mulai pulih.
"Ini mah buat ngasih makan bebek, Non," jawab Pak Aming kalem.
Arabella langsung berbinar, "BEBEK?? Di mana Pak bebeknya? Aku ikut dong! Serius! Bebek tuh hewan favorit aku abis kucing dan guling!"
Pak Aming cuma mengangkat alis curiga, "Ikut? Ya Allah, jangan bikin heboh ya, Non. Ini bebek, bukan pasukan prajurit."
Arabella ngotot, "Aku janji deh, gak bikin ribet! Aku bisa tangani bebek, Pak. Aku itu orang lapangan loh!"
Akhirnya setelah serangkaian rayuan absurd khas Arabella, Pak. Aming pun mengalah.
"Ya udah, bebeknya dikasih makan dulu. Terus kamu lepasin aja di kebun. Tapi tutup pintunya, jangan sampai mereka kabur ke mana-mana."
Arabella mengacungkan jempol, “Siap, Komandan Bebek!"
Dengan hati riang, Arabella masuk ke kandang bebek. Suara wek wek wek riuh menyambutnya.
"Bebek-bebek manis gue... ayo, kita jalan-jalan... keluar sebentar dari kandang, nikmatin sore kalian yang cerah ini!" katanya dramatis sambil membuka pintu kandang.
Satu per satu bebek keluar, berjalan sambil mengangguk-angguk. Arabella menuntun mereka ke kebun dengan penuh semangat seperti pawang unggas. Sambil menutup pintu pagar kebun, Arabella berseru,
"Nah! Ini taman bermain kalian. Gih... Jalan-jalanlah, nikmati dedaunan, dan inget jangan stres stres ya, kalian!"
Pak Aming cuma bisa geleng-geleng kepala dari jauh sambil bergumam, "Astaghfirullah... bebek juga kena absurd-nya Neng Bella ternyata..."
Dan sementara itu, di kelas...
"Arabella mana?" tanya Ustadz Izzan tiba-tiba sambil mengedarkan pandangan.
Dina, Elis, dan Sari saling melirik panik.
"Eeh... tadi kan ijin cuci muka, Ustadz..." jawab Dina pelan.
"Masih?" gumam Izzan curiga.
Karena ya, nggak ada yang tahu kalau sekarang Arabella sudah berubah profesi dari santri menjadi 'penyegar mental bebek pesantren'.
Arabella yang sejak tadi duduk bersila sambil mengawasi bebek-bebek yang mondar-mandir di kebun, akhirnya berdiri sambil mengusap-usap lututnya yang pegal. Dengan gaya dramatis ala pementasan teater, dia melangkah mendekati gerombolan bebek yang sedang asyik ngais-ngais tanah. Dia jongkok, menatap serius kawanan unggas yang tampak polos tak berdosa itu.
"Hear me out, wahai para bebek sekalian..." katanya sok bijak. "Gue mau ke toilet. Jadi tolong... demi keselamatan dunia perbebekan ini, jangan sampe coba-coba keluar dari pagar kebun ini, paham?"
Salah satu bebek malah mendongak dan mengeluarkan suara wek! seolah menjawab.
Arabella mengangguk mantap, "Nah gitu dong. Wek itu kode janji setia, kan?"
Dia menepuk dada, berdiri dengan penuh gaya dan menunjuk gerbang pagar, "Ingat, itu pintu menuju dunia luar. Sekali kalian keluar... kalian bakal ketemu sapi. Dan kalau udah ketemu sapi, nasib kalian nggak bakalan sama lagi."
Sambil setengah membungkuk ke arah mereka, dia menambahkan, "Kalo gue balik lagi dan kalian ada yang hilang... gue sumpahin, gue bakal cari kalian sampai ke ujung kebun jagung dan galang tim pencarian."
Lalu dengan langkah sok gagah tapi sebenarnya nahan kebelet, Arabella berbalik dan berlari kecil ke arah toilet, masih sempat melambai ke belakang.
"Jaga diri kalian baik-baik! Gue percaya sama kalian..."
Dari kejauhan, Pak Aming yang masih sibuk menyiram tanaman cuma bisa menepuk jidat.
"Ya Allah, baru kali ini bebek dinasehatin kayak anak pramuka..."
Saat Arabella kembali dari toilet dengan penuh semangat dan kepercayaan diri, langkahnya langsung terhenti begitu pandangannya tertuju pada kandang bebek yang... kosong.
"APAAN NIH?!" Arabella melotot. "TADI ADA BELASA EKOR BEBEK, KOK SEKARANG CUMA SATU?!"
Si satu-satunya bebek yang tersisa malah wek! pelan seolah menyalahkan Arabella.
Dengan penuh drama, Arabella jongkok sambil menepuk jidat. "Shiittt... perasaan gue baru ninggalin kalian lima menit loh, cuma lima menit doang! Kok kalian bisa bubar kayak angin ribut?!"
Tak lama, Pak Aming yang sedang sibuk di kandang ayam mendengar teriakan khas Arabella dan langsung menghampiri, "Kenapa, Neng Bella?"
Arabella menunjuk kandang dengan ekspresi horor, "Pak Aming, bebek-bebek kita hilang! Tinggal satu, satu doang! Ini bukan thriller, tapi ini kenyataan!"
Pak Aming sontak melotot dan langsung melirik sekeliling, "Astagfirullah! Ke mana.... pada kabur?!" Mereka berdua langsung menyebar, mencari bebek-bebek pemberontak itu.
Ujung mata Arabella menangkap gerakan mencurigakan di balik pohon dekat taman pesantren.
"Pak Aming! ADA DI SANA!!" teriak Arabella sambil lari duluan.
Dan dimulailah drama pengejaran bebek ala Arabella. Arabella melompat, mengendap, dan menjulurkan tangan seperti ninja, padahal yang dikejar cuma bebek yang jalan santai seolah dia ratu dunia. Kaca jendela kelas mulai dipenuhi kepala santri yang penasaran.
"Astagfirullah itu si Bella..." bisik salah satu santri.
"Dia ngapain sih... NANGKAP BEBEK?!" bisik yang lain terkikik.
Ustadz Izzan yang sedang duduk di meja guru melihat ke arah jendela. Begitu mengenali sosok Arabella yang sedang terguling karena gagal menangkap seekor bebek, dia hanya bisa menggeleng, menghela napas panjang.
"Dia tadi kan ijin buat cuci muka... bukan jadi penggembala dadakan," gumamnya datar.
Di balik jendela, terlihat kepala trio jail Devan, Balwa, dan Balwi tertawa geli. Tapi kesenangan mereka tidak berlangsung lama.
"Devan, Balwa, balwiii!! MAU MATI, HAH?!" teriak Arabella sambil menunjuk mereka bertiga.
"Ayo bantuin.....!!! Kalo nggak, gue laporin ke Ustadz Izzan kalo kalian kabur ke kantin semalem!"
Trio jail itu sontak pucat, langsung lompat dari jendela dan berlari ke arah Arabella, "Siap, Kapten Bebek!" seru Devan pasrah.
Kini kelima orang itu, Arabella, Pak Aming, dan trio jail, berlarian mengejar para bebek sambil menggotong kandang jinjing. Ada yang nyemplung ke selokan, ada yang kejar-kejaran muter taman, bahkan Balwi sempat tersandung dan nyungsep ke rumput.
Santri yang melihat dari dalam kelas beberapa merekam, beberapa tertawa sampai nangis, sementara para ustadz dan ustadzah di kantor tersenyum geleng-geleng kepala.
"Sungguh... kalau bukan Arabella, siapa lagi yang bisa bikin hari-hari di pesantren ini gak pernah sepi," gumam Ustadzah indri sambil menahan tawa.
Saat kejar-kejaran antara manusia dan bebek masih berlangsung seru, tiba-tiba dari arah rumah pembina terdengar suara pintu terbuka. Sosok berwibawa dengan jubah putih dan sorban khas pesantren melangkah keluar. Semua aktivitas seketika melambat seperti di slow motion.
Kiyai Hasyim.
Beliau memicingkan mata, melihat ke arah taman pesantren yang penuh kekacauan: rumput beterbangan, santri bergulingan, dan bebek-bebek berlarian ke segala arah. Dengan nada rendah tapi tegas, beliau berseru,
"Ini... ADA APA INI?!"
Semua yang terlibat langsung freeze. Arabella yang sedang selonjoran dan menarik napas ngos-ngosan langsung melotot,
"Innalillahi, gue lupa kalo ada Kiyai!"
Devan, dengan wajah cemong karena nyungsep di solokan, bergumam lirih, "Tamat riwayat kita..."
Pak Aming langsung maju ke depan, tangan masih memegang baskom makanan bebek, "Maaf, Yai, ini... ini semua gara-gara bebek pada kabur. Tadinya Neng Bella yang bantuin saya jagain bebeknya... eh, malah kejadian begini..."
Kiyai Hasyim memandangi satu per satu. Arabella dengan hijab miring, gamis penuh tanah dan sandal tinggal satu. Devan dengan wajah yang penuh lumpur, napas seperti habis dikejar setan. Balwi bajunya seperti baru bergulat dengan kambing, Balwa berdiri dengan satu kaki karena sendalnya putus.
Kiyai Hasyim pun menghela napas panjang... sangat panjang... sebelum akhirnya mengelus janggut yang tak pernah ada dan bertanya tenang,
"Ini membantu Pak Aming... atau latihan tentara?"
Arabella yang masih selonjoran angkat tangan seperti murid yang mau izin, "Lapor, Yai... ini latihan keimanan dan kesabaran. Bebeknya keras kepala banget, udah dikasih makan, masih memberontak..."
Balwa menimpali, "Bahkan ada yang nyelonong ke arah kamar santri putri, Yai. Itu bebek pasti salah niat."
Kiyai Hasyim menahan senyum yang hampir pecah, tapi tetap menjaga wibawa. "Kalau begitu, habis ini kalian semua ke kamar mandi. Bersihkan diri. Lalu shalat berjamaah dan kembali ke kelas. Jangan sampai bebek lebih disiplin dari pada santrinya."
"SIAP, KIYAI!" jawab mereka serempak, meski ngos-ngosan.
Arabella berdiri sambil menyeret sandalnya yang tinggal sebelah. "Dengar itu, bebek! Jangan bikin malu manusia!" ujarnya ke arah salah satu bebek yang tampak sedang ngupil (entah bagaimana).
Kiyai Hasyim pun berjalan pergi sambil tersenyum tipis dan menggeleng-geleng pelan. Dalam hati beliau berkata,
"Memang Arabella ini... satu santri bisa setara satu pesantren."
*****
Saat Arabella mulai melangkah gontai sambil menyeret sebelah sandalnya yang tersisa, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara tenang namun jenaka dari arah belakang.
"Ini... kayaknya milik kamu, Bella."
Arabella pun menoleh, dan mendapati Ustad Azzam berdiri dengan santai sambil mengangkat sandal pink-nya yang nyangkut di jendela ruang guru. Sandal itu sudah miring, penuh debu, tapi jelas itu milik Arabella.
Ustad Azzam menyodorkannya dengan senyum geli, "Tadi saya nemu ini terbang entah dari mana... nyangkut di jendela seperti dilem pakai tenaga dalam."
Sebelum Arabella sempat menjawab, suara tawa sudah terdengar dari belakang.
Devan, Balwa, dan Balwi serempak berseru dengan gaya teater:
"Hahahahaha.... SINDERELA PESANTREN!"
"Sandalnya ilang..."
"Trus ditemuin sama... PANGERAN BERJENGGOT!"
"Tapi sinderelanya... awut-awutan, bukan dari kayangan!"
Mereka bertiga pun tergelak, Balwa bahkan sampai terbatuk-batuk menahan tawa, dan Balwi hampir nyungsep lagi karena terlalu semangat menirukan gaya drama. Ustad Azzam ikut terkikik sambil geleng-geleng kepala.
"Kalian ini..."
Namun Arabella, dengan wajah penuh kelelahan dan kesal, melotot tajam, lalu mengangkat sandal pink-nya tinggi-tinggi.
"MAU GUE JADIIN SENJATA TAJAM NIH?!" serunya garang.
Devan, Balwi, dan Balwa langsung spontan:
"KABUUUR!!"
Mereka bertiga lari pontang-panting, sementara Arabella mengejar mereka sambil mengacung-acungkan sandalnya seperti pahlawan perang yang membawa keris pusaka. Suaranya menggema di taman pesantren, diselingi tawa para santri lain yang menyaksikan adegan itu.
Dari kejauhan, Kiyai Hasyim dan Pak Aming hanya bisa berdiri diam, memperhatikan. Kiyai Hasyim menghela napas dalam, sangat dalam, lalu berkata lirih,
"Bella... Bella... kapan kamu bisa kalemnya, Nak..."
Pak Aming menimpali pelan, "Kayaknya nunggu bebek bisa terbang, Yai..."
Dan keduanya tertawa kecil, sambil berjalan kembali ke rumah pembina dengan kepala menggeleng, seolah sudah sangat paham, di pesantren ini, selama ada Arabella... yang tenang hanyalah malam.
Setelah seluruh aksi sore harinya yang melelahkan, mengejar bebek, kehilangan sandal, dikejar kenyinyiran para senior, hingga sindir-menyindir ala trio jail, Arabella akhirnya menyerah pada kasur.
Dia merebahkan tubuhnya dengan gaya paling dramatis sedunia, seperti pahlawan yang baru saja menyelesaikan perang besar. Tangannya terentang, rambutnya berantakan, hijab sudah terlipat sembarangan di sudut tempat tidur.
Dina, Sari, dan Elis yang baru saja selesai membereskan sudut kamar hanya bisa saling pandang lalu geleng-geleng kepala.
"Baru jam delapan malam..." ujar Sari sambil melihat jam dinding.
"Biasanya kamu jam segini baru mulai manjat pohon belakang, atau latihan parkour di kasur," timpal Elis geli.
"Kadang malah nggak tidur semalaman, bikin puisi absurd atau rencana kabur ke planet Mars," tambah Dina.
Arabella hanya mendesah pelan, matanya sudah setengah terpejam. "Hari ini... tubuh gue... rasanya kayak abis digebukin sekelompok bebek..."
Sari cekikikan. "Ya salah sendiri, siapa suruh jadi pawang bebek dadakan."
"Ustadz Izzan pasti ngelap jidat mikirin kamu..." bisik Elis geli.
Arabella tak menjawab, hanya bergumam lelah, "Mata gue berat banget guys... dunia kayak gelap pelan-pelan... kalo besok gue nggak bangun, tolong kasih tahu bebek-bebek itu... gue sayang sama mereka..."
"Drama..." bisik Dina sambil menahan tawa.
"Biar cepet tidur, ayo matiin lampu," ucap Elis.
Lampu kamar pun dipadamkan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kembali ke pesantren, Arabella tidur lebih cepat dari biasanya, dengan satu sandal masih berada di bawah bantal, seperti jimat perang seorang pejuang bebek sejati.