"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Dalam hati, Liora menjawab : Aku mulai mencintaimu.
Tapi rasa trauma akan keretakan rumah tangga orang tuanya membuat dia tidak berani untuk mencoba-coba. Apalagi dia baru mengenal lelaki itu dua Minggu. Masih terlalu singkat.
Dengan tatapan penuh keberanian, Liora menjawab, " Aku tidak ada rasa padamu. Kau tahu dengan jelas aju mau menjadi pacarmu agar tidak dibunuh oleh temanmu!" tegasnya.
Mata Daichi berkaca-kaca, tapi tubuhnya masih belum mau beranjak dari atas tubuh Liora.
"Bohong. Aku tahu kau berbohong!" gumam Daichi.
Liora mencoba menguatkan diri, agar suaranya terdengar lantang tanpa ragu.
“Setelah 13 hari kita selesai, Daichi. Aku ingin semuanya kembali seperti semula,” ujarnya dingin.
Daichi menatapnya lama — terlalu lama. Seakan berusaha membaca kebohongan di balik kata-katanya. Tapi yang ia temukan hanyalah dinding yang tak lagi bisa ia tembus.
“Kau bicara seolah aku hanya kesalahan kecil yang bisa kau hapus,” ujarnya pelan, nyaris berbisik.
Liora menegakkan bahu. “Mungkin memang begitu. Kita hanya salah waktu, salah rasa, dan salah cara bertemu.”
Daichi tersenyum miring. Senyum yang lebih mirip luka daripada keberanian. “Aku tidak percaya pada kata ‘selesai’. Tidak ketika yang kupikirkan hanya wajahmu setiap malam.”
“Lalu apa yang kau mau?” balas Liora, suaranya menegang. “Menahanku? Memaksaku tetap di sisimu? ”
Tatapan Daichi menajam, pupilnya gelap dan tenang. “Aku tidak takut apapun,” katanya datar. “Aku hanya takut kehilanganmu.”
Liora tertawa pendek, getir. “Sejak awal aku bukan milikmu, kita ini hanya bersandiwara."
Kata-kata itu menampar. Tapi Daichi tidak bereaksi; ia hanya memandangnya, lama, seperti seseorang yang menatap reruntuhan yang dulu pernah ia banggakan.
“Kau pikir aku peduli pada cinta yang benar atau salah?” suaranya rendah, nyaris bergetar. “Yang kupedulikan hanya satu—kau tetap di sisiku. Dengan cara apa pun.”
Liora menatapnya balik. Tidak lagi dengan ketakutan, melainkan kelelahan.
“Kalau kau memaksaku, kau hanya akan memiliki tubuhku, tapi kehilangan seluruh diriku. Hatiku tidak bisa kau penjarakan, Daichi.”
Untuk sesaat, ruangan menjadi hening. Lampu berkelip, bayangan mereka menari di dinding seperti dua siluet yang saling menelan.
Daichi menunduk perlahan. “Mungkin aku memang gila,” katanya nyaris berbisik. “Tapi aku lebih memilih jadi gila bersamamu, daripada waras tanpamu.”
Liora menarik napas dalam. Ia tahu, kalimat itu bukan sekadar ancaman — tapi doa yang terkutuk.
“Kalau begitu,” katanya pelan, “kau akan terus hidup dalam kegelapan yang kau buat sendiri.”
Daichi menatapnya sekali lagi — tatapan yang campur antara cinta, benci, dan kehilangan — lalu membalikkan badan.
"Atau—kau hanya penasaran dengan tubuhku? Jika begitu ayo—renggutlah kesucianku. Dengan begitu kau bisa melepaskan aku!" tantang Liora.
Daichi marah, karena sudah dengan tulus menyatakan cinta tapi reaksi Liora malah seperti ini. Ternyata ditolak itu sangat menyakitkan dan Daichi tidak sanggup menerimanya.
Mungkin bisa saja Daichi melakukan apa yang barusan Liora minta, tapi lelaki itu sadar yang dia inginkan bukan hanya hubungan semalam melainkan cinta tulus.
Daichi pun beranjak dari tubuh Liora, lalu berjalan menuju balkon.
"Aku sungguh mencintaimu—Lio. Jangan buru-buru menolakku! Kita ubah peraturannya, dalam 13 hari ini tetap jadilah Liora kekasihku dan kamu akan tahu seberapa seriusnya aku!" ucap Daichi sembari keluar.
Saat pintu tertutup, Liora menyadari tubuhnya gemetar bukan karena takut, melainkan karena sesuatu yang lebih rumit: perasaan bahwa mungkin, di antara semua kegilaan itu, Daichi memang mencintainya… hanya dengan cara yang salah.
*
Pagi itu Liora terbangun dengan kepala berat dan hati yang kacau. Cahaya matahari menembus tirai kamar, mengguratkan pola hangat di wajahnya. Ia meraih ponsel di nakas, sekadar ingin memeriksa jam — tapi jantungnya justru terhenti sesaat.
Ada pesan dari Daichi.
Selamat pagi, Babe. Jangan lupa sarapan.
Liora mematung. Kalimat sederhana itu terasa janggal… tapi anehnya, senyum kecil nyaris lolos di ujung bibirnya. Ada sesuatu di dada yang bergetar — kupu-kupu kecil yang tak tahu harus terbang ke arah mana.
“Bodoh,” gumamnya. Ia meletakkan ponsel itu di meja, lalu bergegas ke kamar mandi, mencoba menghapus bayangan Daichi dari pikirannya.
Setelah berganti pakaian dan bersiap, Liora menuruni tangga dengan langkah cepat. Ia sengaja melewatkan meja makan, tak ingin bertemu Nayshila yang selalu punya cara membuat pagi jadi buruk.
"Sayang,kok nggak sarapan dulu?" protes Yudistira.
"Di kampus aja, Pa. Aku terburu-buru ada urusan!"
"Baiklah, jangan lupa aja bodyguard untuk mengawal!" Peringat Yudistira.
"Iya, Pa."
Mobil meluncur meninggalkan rumah. Di sepanjang jalan, Liora hanya menatap keluar jendela — pikirannya berputar pada pesan singkat itu. Antara ingin menghapusnya, atau menyimpannya diam-diam.
*
Begitu sampai di kampus, suasana tampak berbeda. Ada bisikan di tiap sudut, tatapan samar yang mengikutinya ke mana pun ia melangkah.
“Katanya Liora jadian sama Mada, ya?”
“Iyalah, mana pernah dia dekat sama cowok."
"Apalagi dia dan Mada pakai baju couple di pesta Queensha. Tapi asli seru, seolah-olah Liora menunjukkan apa Queensha kalau dialah pemenangnya."
Liora menegakkan kepala, memasang wajah tenang seolah tak mendengar. Ia sudah terlalu terbiasa jadi bahan gosip. Tapi kali ini, ada sesuatu yang mengganggu — kabar itu muncul terlalu tiba-tiba.
Ia baru melangkah masuk ke ruang kelas ketika seseorang menghadangnya. Queensha — dengan tatapan menyala dan nada sinis yang menusuk.
“Hebat juga kamu, Liora. Kalau memang pacaran sama Mada, kenapa masih main sama cowok lain?”
Liora terdiam sejenak. Kalimat itu menusuk seperti jarum dingin.
“Cowok lain?” ulangnya perlahan.
Queensha menyilangkan tangan, matanya penuh ejekan. “Jangan pura-pura polos. Kamu ada main sama kakaknya Elvara kan? Kira-kira bagaimana reaksi Mada kalau tahu itu."
“Cukup.” Suara Liora datar, tapi tajam.
Ia tahu. Hanya ada satu orang yang cukup licik untuk mengirim informasi sesuatu seperti itu — Nayshila. Ibu tirinya yang selalu mencari celah untuk menjatuhkannya di depan semua orang.
Liora menarik napas panjang, lalu melangkah melewati Queensha tanpa menoleh lagi.
“Coba aja adukan ke Mada, kira-kira dia akan lebih percaya pada siapa?" ucapnya pelan, tapi penuh ejekan.
"Sok cantik!" umpat Queensha.
"Ya emang aku cantik!" balas Liora jumawa.
Dan sepanjang hari itu, Liora duduk di kelas dengan pikiran yang berputar tak menentu.
Daichi, Mada, Nayshila — semuanya seperti benang kusut yang perlahan melilitnya.
Namun di balik rasa lelah, ada sesuatu yang tak ia pahami: mengapa setiap kali nama Daichi muncul di kepalanya, jantungnya justru berdetak sedikit lebih cepat.
Tiba-tiba dia panik, Queensha adalah orang yang nyebelin dan suka nekat.
"Kalau kabar ini terdengar ke telinga Elvara? Nanti bagaimana reaksinya? Ah harus bagaimana ini."
Aku si berharapnya anak yg di kandung Nayshila itu anak dari lelaki lain kyk di drakor-drakor 😂, biar menyesal itu Yudistira sdh meninggalkan mamanya Liora🤣