Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27_Janji yang Tidak Akan Terlepas
Cahaya pagi mulai menyusup perlahan melalui sela tirai kamar rumah sakit. Udara masih lembut, dan sunyi belum sepenuhnya terusik. Di atas ranjang, mata Namira perlahan terbuka. Pandangannya masih buram, namun rasa asing di sekelilingnya perlahan memudar saat ia melihat seorang pria yang duduk setia di sisi tempat tidurnya, tertidur dengan kepala bersandar pada tepi ranjang, tangan masih menggenggam jemarinya.
Sean.
Namira menatap wajahnya lekat-lekat. Ada garis kelelahan di sana, tapi juga kedamaian. Ia tidak percaya pria itu ada di sisinya, setelah semua yang terjadi. Setelah semua luka, skandal, dan rasa salah yang menghantam mereka berdua seperti badai. Air mata mengalir pelan dari sudut matanya.
"Sean," bisiknya pelan.
Sean terbangun pelan. Ia mengangkat kepalanya, matanya masih menyisakan kantuk yang belum tuntas. Namun, saat melihat Namira terjaga dan menatapnya, segalanya langsung jernih.
"Kamu sudah sadar," gumamnya, senyuman muncul di wajahnya yang letih.
Namira mengangguk lemah.
"Kamu jaga aku semalaman?"
"Iya," jawab Sean sambil menggenggam tangannya lebih erat.
"Aku tidak mau kamu sendirian. Tidak lagi."
Sejenak keheningan memenuhi ruangan itu. Hanya napas mereka yang saling berpaut.
"Aku minta maaf," ujar Sean tiba-tiba.
"Aku sempat berpikir buruk tentang kamu. Saat berita itu muncul… aku merasa seolah kamu mengkhianatiku."
Namira menunduk, matanya berkaca-kaca.
"Aku mengerti. Aku pun tidak bisa menyalahkanmu. Semua tampak seperti…"
"Seperti kebenaran yang telanjang," potong Sean.
"Padahal itu hanya kebohongan yang dibungkus rapi."
Namira menggigit bibirnya.
"Aku hanya ingin kamu tetap aman. Aku tidak mau kamu ikut tenggelam dalam dunia keluargaku yang kotor."
Sean menggeleng, “dan karena itu kamu menanggung semuanya sendiri? Kamu tahu, selama ini aku terlalu sibuk menjaga ketenanganku, sampai lupa bahwa ketenanganku justru menjadi bebanmu. Kamu berjuang sendirian, Namira. Itu salahku."
Namira mengangkat wajahnya, menatap Sean dengan sorot mata yang rapuh.
"Aku selalu mengira aku kuat, Sean. Tapi ternyata aku hanya takut terlihat lemah. Takut bila aku minta tolong, aku justru menyakitimu."
Sean mengusap rambutnya lembut.
"Mulai sekarang, biarkan aku ada untukmu. Bukan sebagai tameng. Tapi sebagai bahu tempat kamu bersandar. Aku tidak janji bisa menyelesaikan semua masalah ini dalam semalam. Tapi aku janji, kamu tidak akan sendiri lagi."
Tangis pelan tumpah dari mata Namira. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memeluk Sean perlahan. Hangat. Lama. Seolah pelukan itu adalah rumah yang hilang, dan kini akhirnya ditemukan kembali.
"Aku percaya padamu," bisik Namira.
“Aku ingin kita berjuang… bersama."
***
Keesokan harinya, suasana di rumah sakit sengaja dibuat tenang. Namira butuh istirahat penuh. Maka, Sean, Anton, dan Nina memutuskan untuk berkumpul di kos Anton yang terletak tidak jauh dari pusat kota. Di ruang tamu yang kecil tapi bersih itu, mereka duduk mengelilingi meja, wajah mereka serius.
"Aku dan Nina sudah mencoba masuk ke beberapa stasiun TV," ucap Anton membuka pembicaraan.
"Tapi hasilnya nihil. Bahkan ada yang terang-terangan menolak. Mereka bilang ini urusan pribadi publik figur, bukan hal yang pantas diangkat kembali."
Nina menghela napas berat.
"Kita semua tahu kenapa mereka menolak. Bima sudah menyuap mereka. Semua media besar sudah ada dalam genggamannya."
Sean mengangguk perlahan, tatapannya tajam menatap meja seakan sedang memikirkan strategi perang.
"Kalau begitu, kita jangan main di arena mereka," ucapnya lirih tapi penuh tekad.
Nina meliriknya.
"Maksud kamu?"
"Kita tidak bisa mengandalkan media besar. Tapi kita bisa menggerakkan opini publik. Gunakan internet, gunakan media sosial. Biarkan orang-orang tahu kebenarannya dari sisi kita. Bukan melalui berita palsu mereka."
Anton terlihat ragu.
"Tapi… kalau Bima menyerang balik?"
"Biarkan dia. Aku yang akan jadi umpan," ucap Sean tegas.
Nina dan Anton langsung menoleh padanya.
"Aku tahu risikonya. Tapi ini satu-satunya jalan. Aku tidak peduli jika nama baikku hancur. Aku hanya tidak ingin Namira terus disalahkan. Dia sudah cukup menderita."
Nina menatap Sean dengan pandangan iba.
"Kamu yakin?"
"Aku lebih dari yakin. Kita mulai dari bukti CCTV itu. Sebarkan potongan yang jelas menunjukkan bahwa Namira dipaksa masuk ke kamar. Lalu perlahan kita bangun narasi tentang manipulasi media, tentang kekerasan yang dibungkam."
Anton menepuk meja.
"Kalau begitu, aku akan edit video itu malam ini juga. Kita buat versi pendek untuk viral di medsos, dan versi panjang untuk klarifikasi."
Sean berdiri.
"Tapi sebelum itu… aku harus melakukan satu hal dulu."
Nina mengernyitkan dahi.
"Apa?"
Sean mengenakan jaketnya. Matanya menyala oleh tekad.
"Aku akan menemui Bima."
***
Sore itu, langit mendung menggantung di atas gedung perkantoran milik B ‘N M Corporation. Di lantai tertinggi, di ruang rapat eksekutif yang mewah dan sepi, Bima berdiri menatap kota dari balik kaca besar. Saat pintu dibuka, ia menoleh dengan senyum sinis.
"Kurir paket yang sok jadi pahlawan. Akhirnya kamu datang juga."
Sean masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. Tatapannya tajam, tubuhnya tegak.
"Aku datang bukan untuk bertarung. Aku datang untuk memberitahumu bahwa permainanmu selesai."
Bima terkekeh.
"Permainan? Kamu bahkan tidak mengerti papan catur yang sedang kamu injak."
"Aku memang bukan siapa-siapa, Bima. Tapi aku tahu mana yang benar dan mana yang salah dan aku akan pastikan semua orang tahu siapa kamu sebenarnya."
Bima menyipitkan mata.
"Jangan terlalu percaya diri. Satu kata dariku, kamu bisa kehilangan masa depanmu selamanya."
Sean melangkah mendekat, “dan satu langkah dari kami, semua topengmu akan runtuh. Kami punya rekaman CCTV itu. Kami punya kebenaran."
Bima tampak terkejut, meski berusaha menyembunyikannya di balik senyum miring.
"Kamu berani sekali."
Sean mengangguk.
"Karena aku tidak sendiri dan karena cinta butuh keberanian. Kamu tahu apa yang membuatmu kalah, Bima? Kamu tidak pernah mengenal cinta. Kamu hanya kenal kekuasaan dan manipulasi."
Bima tertawa dingin.
"Cinta? Cinta tidak pernah menang di dunia ini, Sean. Uang dan kekuatan yang bicara."
Sean mendekat, wajahnya tinggal beberapa inci dari Bima.
"Mungkin kamu benar. Tapi kali ini, biarkan aku buktikan kamu salah."
Di luar ruangan, dua orang pria bersetelan hitam mendengarkan percakapan dari alat sadap di telinga mereka. Salah satu dari mereka menatap ponselnya.
“Target sudah mulai bergerak. Instruksi berikutnya?”
Balasan muncul cepat:
“Jangan biarkan rekaman itu menyebar. Hapus mereka, kalau perlu.”
Pertarungan belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, keberanian mulai menggetarkan jantung para penindas.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.