"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RINDU MASA KECIL
Sudah tiga hari Maarten berada di Sumatera. Dalam setiap pesannya, aku bisa merasakan betapa senangnya dia menjelajahi tempat baru itu. Ia sering bercerita tentang keramahan orang-orang di sana, senyum tulus yang menyambutnya di jalan, dan bagaimana budaya lokal membuatnya merasa seperti tamu istimewa. Ia tak henti-hentinya mengagumi kehangatan penduduk setempat, bagaimana mereka berbicara dengan sopan, menawarkan bantuan tanpa diminta, dan menyambut perbedaan dengan tangan terbuka. Maarten bilang, tempat itu bukan hanya indah karena alamnya, tapi karena manusia-manusianya. Dan aku pun ikut tersenyum, membayangkan dia berjalan di tengah pasar tradisional, menyapa anak-anak kecil yang melambaikan tangan padanya, atau duduk bersama warga lokal sambil menikmati makanan khas yang belum pernah ia coba sebelumnya.
Maarten bercerita bahwa hari ini dia mencoba nasi Padang untuk pertama kalinya. Ia tampak antusias saat menceritakan bagaimana nasi itu disajikan dengan kuah yang melimpah dan aroma rempah yang kuat. Katanya, rasanya benar-benar khas dan berbeda dari makanan yang biasa ia makan. Pedas, gurih, dan kaya akan cita rasa. Meski kepedasan sempat membuatnya terdiam beberapa saat, ia tetap menghabiskannya dengan senang. Tapi di akhir ceritanya, ia berkata dengan senyum:
“Tapi tetap saja, nasi goreng masih jadi makanan favoritku di Indonesia”
Aku tertawa kecil membaca pesannya, membayangkan ekspresinya yang polos namun jujur.
Tak lama setelah itu, Maarten mengirimkan satu foto lagi. Kali ini dirinya tampak duduk sendiri di sebuah vila yang tenang, hanya ditemani sebotol bir yang diletakkan di atas meja batu. Pemandangannya sejuk dan sederhana, tapi ada kedamaian yang terasa dari kejauhan. Meski tak ada kata yang menyertai foto itu, aku bisa merasakan bahwa ia sedang menikmati waktu istirahatnya, dan mungkin, di sela diamnya masih menyisakan ruang untukku dalam pikirannya.
Lalu dia mengirim pesan lagi :
"Beer ini mengingatkan aku padamu"
"Ahh serius? Kenapa harus beer?"
"Seperti ada tekanan khusus dalam otakku yang memaksaku untuk mengingatmu"
"Hahaha... Terkadang kamu aneh maarten" Candaku.
"Hahaha ya, terkadang aku bisa sedikit aneh. Tapi hanya sesekali"
"Haha.. Itu bagus. Aku sangat menyukaimu. Ohya, apa kamu masih sendiri di sana?" Tanyaku sedikit penasaran.
"Ya, aku sendiri di sini. Solo trip seperti biasa. Karena kupu-kupuku meninggalkanku"
"Tidak... Aku di sini... Kupu-kupumu tidak meninggalkanmu"
"Yaaaa.... Aku tahu.... Walaupun jauh tapi aku bisa merasakannya...."
Ingin rasanya aku bertanya, “Kapan kamu pulang?” Tapi pertanyaan itu hanya tinggal dalam hati, tak pernah benar-benar kutulis atau kukirimkan. Karena aku tahu, dia baru tiga hari di Sumatera. Terlalu cepat untuk merasa kehilangan, terlalu awal untuk menyebut ini rindu. Tapi tetap saja, ada yang diam-diam selalu berisik di dalam dada.
Aku sempat bertanya, apakah Maarten di Sumatera bersama wanita lain?
Haha, aku tahu pertanyaanku terdengar klise, bahkan kami saja tidak mempunyai hubungan spesial.
Tapi Maarten bilang selama di Sumatera, ia tidak benar-benar ditemani siapa pun. Perjalanannya lebih banyak dihabiskan sendiri, menyusuri alam dan budaya dengan langkah-langkah pelan. Ia tidak pernah berbincang secara pribadi dengan perempuan Indonesia mana pun, katanya. Hanya aku satu-satunya yang ia kenal di sini. Entah kenapa, kalimat itu membuat hatiku terasa hangat, seolah di tengah jarak dan kesibukan, ia masih mengingat bahwa aku pernah hadir, dan masih ada di sini.
"Tenang saja, aku di sini sendiri. Tidur sendiri, duduk sendiri, makan sendiri, jangan khawatir"
Seolah Maarten tahu ketakutanku...
Dan hari itu, aku memilih untuk membiarkan Maarten beristirahat. Meskipun ada keinginan untuk terus mengirim pesan, bertanya apa yang sedang ia lakukan, atau Sekadar memastikan bahwa ia tidak merasa kesepian, tapi aku tahu, cinta yang dewasa juga butuh ruang. Ia sudah menempuh perjalanan panjang, menyusuri hutan, melihat kehidupan liar, berinteraksi dengan budaya baru. Tubuh dan pikirannya pasti lelah. Dan mungkin, yang paling ia butuhkan saat ini bukanlah pertanyaan dariku, melainkan keheningan, dan waktu untuk memulihkan diri.
Aku hanya membaca ulang pesannya yang sederhana tapi tulus. "Aku di sini sendiri, jangan khawatir". Kalimat itu cukup menenangkan.
Aku tahu, belum ada ikatan resmi di antara kami. Tapi caranya membuatku merasa penting, tanpa harus selalu hadir secara fisik, adalah sesuatu yang membuatku bertahan. Aku meletakkan ponselku di meja, lalu berdiri di balik jendela kamar, menatap langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berhembus pelan, seolah ingin menyampaikan bahwa tidak apa-apa untuk merindukan seseorang, selama rindunya tidak memaksa.
Malam ini hujan turun dengan tenang. Udara dingin perlahan masuk ke dalam rumah, membuat suasana terasa lebih senyap dari biasanya. Aku melirik ke arah kamar nenek, ia sudah tertidur pulas, nyaman dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Hembusan napasnya terlihat teratur dan damai.
Dengan langkah pelan, aku menuju sebuah meja kecil di pojok ruangan. Aku duduk perlahan, membuka laci kayu yang sudah mulai rapuh. Di dalamnya ada beberapa barang lama yang tersimpan rapi. Aku membuka sebuah album foto lama. Aku melihat satu per satu foto itu. Dan aku menemukan foto masa kecilku. Sedang berulang tahun.
Wajah yang polos, rambut dikuncir dengan gaun indah yang sangat cantik. Aku duduk di depan kue kecil dengan senyum lebar. Di belakangku, ada balon dan pita sederhana.
Aku menatap foto itu lama. Ada sesuatu dari masa itu yang terasa begitu jauh, tapi hangat. Seakan mengingatkanku bahwa aku pernah begitu polos, begitu mudah bahagia.
Dan di foto selanjutnya, Ayahku menggendongku dengan penuh cinta. Dalam foto itu, senyumnya lebar, matanya berbinar, seolah hari itu hanya tentang aku.
Tangan kecilku memegang lengan bajunya erat, sementara di samping kami, ibu berdiri dengan tatapan lembut, memandangi kami seakan dunia baik-baik saja.
Pikiranku perlahan melayang, menembus waktu dan kembali pada kenyataan. Sekarang semua sudah berbeda. Ayah dan ibu tak lagi bersama. Rumah yang dulu penuh suara kini hanya menyisakan sunyi. Aku rindu mereka. Rindu kebersamaan yang dulu terasa utuh, hangat, dan sederhana.
Ingin rasanya melompat ke masa itu. Foto itu diam, tapi menyimpan suara-suara kecil yang dulu pernah memenuhi rumah kami. Tawa ibu, nyanyian ulang tahun, dan bisikan doa yang tak pernah kupahami waktu itu. Hari itu aku hanya seorang anak kecil yang dikelilingi cinta, belum tahu apa itu kehilangan.
Kini, duduk sendiri di meja kecil dengan cahaya lampu temaram, rasanya asing mengingat betapa hangatnya dulu. Ayah dan ibu sudah menjadi dua arah berbeda yang tak pernah kembali bertemu. Dan aku? Aku tumbuh di tengah jarak itu. Belajar dewasa dari patah-patah kecil yang tak pernah bisa kugenggam utuh.
Kadang aku bertanya, apakah semua ini bisa berubah jika waktu bisa kuputar ulang? Tapi kenyataannya, yang kupunya hanyalah foto dan perasaan rindu yang tak pernah selesai.
Jujur saja, aku masih membutuhkan sosok ayah dan ibu. Meski aku telah tumbuh dewasa, ada ruang kosong dalam diriku yang tak pernah benar-benar terisi. Aku rindu dibimbing, dipeluk tanpa alasan, diberi nasihat meski aku tidak memintanya. Bukan karena aku lemah, tapi karena ada bagian dalam diri seorang anak yang selamanya akan merindukan rumah. Rumah untuk pulang...!
Aku belajar kuat, tapi kadang kuat pun terasa melelahkan. Aku berpura-pura baik-baik saja di depan dunia, padahal ada saat-saat seperti malam ini, di mana aku hanya ingin kembali menjadi anak kecil yang digandeng ayah, dan dibelai ibu, tanpa harus menjelaskan apapun.