Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Masa Lalu Yang Singgah
Persiapan lomba kreativitas anak TK telah memasuki fase akhir. Suasana di aula sekolah pagi ini terasa penuh antisipasi. Semua guru telah menerima tugas masing-masing, ada yang bertugas sebagai pengiring lomba menyanyi, ada yang memegang lomba mewarnai, ada juga yang siaga di area registrasi. Semua berjalan sistematis, penuh kesungguhan.
Dekorasi sudah rampung. Balon-balon warna cerah ditata simetris di sepanjang dinding, dihiasi pita kuning dan merah muda. Bunga-bunga kertas buatan anak murid dan guru menghiasi sudut panggung, memberi nuansa ceria tanpa berlebihan. Sinar lampu panggung telah diuji, speaker sudah diperiksa suaranya agar tak pecah saat anak-anak tampil, dan seluruh kursi telah siap disusun merapih.
Saat berjalan menuju area tengah aula untuk memastikan tata kursi berjarak aman, Sheina menoleh pada sebuah banner besar di dinding. Mata dan napasnya terhenti sejenak. Tulisan banner itu berbunyi:
“Lomba Kreativitas Anak TK”
Didukung oleh: Sakawira Corp –Devaco Coffee, Eliano Caffé, dan sponsor lain.
Pandangan Sheina menajam. Sakawira Corp— perusahaan besar yang memiliki Devaco Coffee sebagai merek kopi unggulan mereka—tercantum di daftar sponsor utama, perusahaan turun-temurun milik Davison. Di sampingnya, Eliano Caffé, kafe milik Davison sendiri, juga disebut sebagai sponsor. Sponsor lain adalah individu atau merek yang lebih kecil skalanya, namun kehadiran sponsor utama ini membuat Sheina sedikit terkejut.
Ia menelan ludah. Ada campuran rasa bangga dan cemas. Bangga karena acara sekolahnya mendapat dukungan dari sponsor besar, namun cemas karena keberadaan sponsor seperti itu bisa melahirkan ekspektasi, tekanan, dan kemungkinan gangguan yang tak terduga. Ia berharap, dalam hati, bahwa semuanya berjalan lancar. Tanpa drama. Tanpa insiden. Tanpa gangguan dari siapa pun.
Namun, tugasnya belum usai. Seorang vendor menghampiri Sheina, setengah memaksa agar ia beristirahat.
“Bu Sheina, nanti bantu sisanya saja, kami sudah bisa selesai,” kata vendor itu sambil memindahkan kursi.
Sheina menahan tangan vendor itu. Suara dan gaya tubuhnya tetap tenang, sopan, tapi penuh tekad.
“Gapapa. Saya bantu sedikit saja,” ujarnya ringan sambil terus menyusun kursi beberapa satuan lagi, memastikan jarak antar kursi seragam dan rapih.
Vendor menghela napas. Ia mengangguk perlahan. “Baik, Bu. Terima kasih.”
Keteguhan Sheina seolah mencerminkan sifat dasar dirinya: tidak mudah menyerah, selalu siap memberi kontribusi, dan tak sungkan turun tangan saat diperlukan. Setelah beberapa menit, kursi-kursi itu selesai disusun rapi. Sheina terakhir mengecek sudut kanan dan kiri, lalu menarik napas dalam, pekerjaan dekorasi fisik telah selesai seutuhnya.
Sekarang ia duduk di salah satu kursi baris tengah, tubuh bersandar ringan. Ia hanya memejamkan mata sejenak, merasakan detak jantungnya pelan-pelan menurunkan ketegangan yang terkumpul.
Lalu tiba-tiba, sebotol minuman dingin disodorkan ke arahnya.
Sheina membuka mata lebar, menoleh perlahan. Ia mendongak ke arah sosok yang mengulurkan botol itu. Suasana tenang di sekitarnya seolah menghilang sejenak.
“Fahri?”
Suara lembut itu keluar dari bibir Sheina, penuh tanya. Tubuhnya sedikit menegang, seakan mengenali seseorang dari masa lalu.
Fahri terlihat di depan mata, tenang menyodorkan botol di tangannya. Ia tersenyum, senyum yang dulu begitu familiar.
“Iya,” jawabnya singkat.
Sheina mengerutkan alis. Ia menatap botol di tangannya, lalu menggulir tatapan ke wajah Fahri.
“Ini kamu?”
Waktu seolah berhenti. Fahri meneguk ludah, lalu mengangguk tenang.
“Iya.”
Sheina menarik napas pelan, lututnya bergetar halus. Ia menerima botol itu, tangannya sedikit gemetar, lalu berkata lirih, “Makasih.”
Fahri mengambil kursi di sebelahnya, menaruh tas kerja—tas besar berlogo stasiun TV—di sudut bawahnya. Ia mengambil udara dalam, lalu melanjutkan pembukaan.
“Aku sekarang jadi reporter,” katanya santai.
Sheina tercekat. Ia menoleh, matanya membulat.
“Serius?”
Fahri hanya mengangguk. Senyum dikedipnya ringan, namun ada nada bangga yang familiar.
“Cita-citaku akhirnya tercapai, Sheina. Aku sekarang di TV lokal, dan ditugasi liputan acara besok ini.”
Mendengar kata liputan, rasa kagum bercampur was-was memenuhi benak Sheina.
“Wah, selamat ya!” ujarnya spontan. Suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya.
Fahri menatapnya, senyum tersungging.
“Terima kasih. Makanya aku datang lebih awal, H-1. Biar bisa liput persiapan sekaligus wawancara. Aku ingin tahu detail persiapan ini.”
Sheina mengangguk kecil. Ia merasa lega ia tahu kehadiran Fahri bukan kebetulan, tapi memang ada tujuan profesional.
“Oh jadi memang untuk liputan ya?”
“Iya, dan acara besok akan disiarkan di channel daerah,” jelas Fahri.
“Aku bakal live, mewawancarai kepala sekolah, guru, wali murid, semua yang terkait.”
Dari kejauhan, Merisa memperhatikan dengan seksama. Matanya menyipit, berusaha memastikan apa yang dilihatnya. Di dekat meja kursi, Fahri sedang duduk santai bersama Sheina. Fahri, yang sebelumnya sibuk mewawancarai kepala sekolah dan kepala yayasan, kini tampak akrab berbincang dengan Sheina. Merisa merasa ada yang aneh.
Dengan langkah cepat, Merisa mendekat. Senyumnya tampak ramah, namun ada rasa ingin tahu yang mendalam.
"Hai, Mas Fahri," sapa Merisa dengan suara ceria. "Ngapain Mas Fahri sama guru ini?"
Sheina menatap Merisa dengan ekspresi datar. Namun, dalam hatinya, ia sudah merasa kesal. Merisa selalu muncul setiap kali ada pria yang dekat dengannya.
"Oh, ini Sheina, teman saya," jawab Fahri dengan senyum ramah.
Merisa mengangguk, meskipun ekspresinya tidak sepenuhnya meyakinkan. "Kirain apa gitu," balasnya sambil melirik minuman yang ada di tangan mereka.
Sheina menyadari bahwa Merisa memperhatikan minuman mereka. Keduanya memegang botol yang sama. Merisa tampak penasaran. Apakah mereka membeli bersama? Atau Fahri yang membelikan Sheina?
Merisa, yang selalu ingin tahu, memutuskan untuk bertanya langsung. Namun, bukannya menanyakan siapa yang membeli, ia malah bertanya hal lain.
"Sheina, minuman itu beli dari mana?" tanyanya dengan nada ingin tahu.
Sheina terkejut. Ia tidak tahu jawabannya. Ia menoleh ke Fahri, matanya bertanya tanpa kata.
Fahri tersenyum dan menjawab, "Aku beli di minimarket."
"Di minimarket," ulang Sheina, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, Merisa mendengarnya.
Merisa tersenyum lebar, wajahnya terlihat ramah. Namun, Sheina bisa merasakan ada sesuatu yang tidak tulus di balik senyum itu.
"Oh gitu ya," kata Merisa sambil berbalik dan berjalan menjauh.
Setelah Merisa pergi, Fahri melanjutkan pembicaraan. "Kamu udah punya pacar?" tanyanya.
Sheina menggeleng pelan.
"Terakhir SMA?" lanjut Fahri.
Sheina mengangguk, namun ekspresinya berubah serius. "Nggak usah dibahas tentang SMA itu ya, Ri. Aku udah mati-matian buat lupain itu."
Fahri menunduk, merasa ada yang mengganjal. Ia menatap Sheina dengan tatapan penuh pengertian. Seolah ia tahu, ada luka lama yang belum sembuh dalam diri Sheina.
Sheina merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Dengan sopan, ia berkata,
"Aku masuk ke dalam, ya, Ri."
Namun, sebelum Sheina melangkah, Fahri memanggilnya.
"Sheina," panggil Fahri.
Sheina menoleh, sedikit bingung.
"Kenapa?"
Fahri tersenyum, namun ada keseriusan di matanya. "Boleh minta nomor kamu? Dulu setelah wisuda, kamu menghilang."
Sheina mengerti maksud Fahri. Setelah wisuda, ia memang menghapus akun media sosial dan mengganti nomornya. Ia mengangguk dan segera mengetikkan nomor barunya di ponsel Fahri.
"Sheina," panggil Fahri lagi, seolah memastikan sesuatu.
Sheina menoleh, matanya menanyakan apa yang dimaksud.
Fahri menahan kata-katanya sejenak, lalu berkata, "Nanti aku chat, nggak masalah kan?"
Sheina tersenyum, "Nggak masalah kok."
Dengan senyum itu, Sheina melangkah menuju ruangannya, meninggalkan Fahri yang masih berdiri di tempatnya, merasa ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.