kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengetahui Rencananya...
Setelah menempuh perjalanan udara yang cukup panjang, melintasi benua dan zona waktu, pesawat pribadi Axel akhirnya mendarat mulus di landasan pacu bandara internasional Canberra, Australia.
Udara dingin langsung menyapa mereka begitu pintu pesawat terbuka, sebuah kontras yang tajam dengan kehangatan Indonesia yang mereka tinggalkan.
Di luar, jajaran pengawal berseragam hitam rapi sudah berjejer, berdiri tegap, seolah barisan militer yang siap menyambut panglima mereka.
Di tengah barisan itu, berdiri seorang pria tinggi tegap dengan senyum lebar, dialah Bara, sahabat lama Axel yang dipercaya mengelola bisnisnya di Australia.
Matanya berbinar melihat kedatangan sang sahabat.
Bara melangkah maju dengan antusias, tangannya terentang. "Selamat datang, Bro!" sapanya dengan suara bariton yang ramah, langsung memeluk Axel dengan pelukan persahabatan yang erat.
Namun, saat pelukan itu terlepas, mata Bara tak sengaja melirik ke arah Rara yang berdiri di samping Axel. Seketika, senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh ekspresi terpana.
Ia sempat terpana oleh kecantikan Rara yang begitu alami dan mempesona, sebuah keindahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya di antara para wanita yang biasa ia bawa.
Mark, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menyadari pandangan Bara. Ia menyeringai tipis, lalu berbisik pada Bara dengan nada mengancam yang dibuat-buat.
"Kondisikan matanya, Bar, kalau enggak mau matanya pindah tempat." Ada nada geli dalam suaranya, namun cukup untuk membuat Bara tersadar.
Bara langsung menggeleng, bergidik ngeri. Ia tahu betul bagaimana protektifnya Axel terhadap apa yang menjadi miliknya, terutama Rara.
"Astaga, Mark, jangan nakut-nakutin gitu dong!" katanya, berusaha tersenyum canggung. Ia mengalihkan pandangannya dari Rara, kembali menatap Axel.
Mata Bara menyapu rombongan yang datang bersama Axel. Ia melihat Rico, Maya, Vany, dan Vanya serta steven. Sebuah desahan keluar dari bibirnya.
"Wah, wah, cuma gue yang belum ada pasangannya," ucap Bara memelas, dengan nada bercanda namun ada sedikit kejujuran di dalamnya.
Ia melirik Rico dan Mark yang sudah punya gebetan masing-masing.
"Jangan sok melas gitu," sahut Axel sinis, matanya melirik Bara tajam. "Makanya jangan gonta-ganti pasangan terus, siapa juga yang mau serius sama kamu." Sebuah sindiran telak yang membuat Bara tertawa kecil.
"Hehe, Tuan Axel memang paling benar," balas Bara, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Mereka pun beranjak dari landasan, menuju mobil-mobil mewah yang sudah menunggu. Dari bandara, rombongan mereka langsung menuju ke mansion Axel di Canberra.
sebuah hunian megah yang tak kalah indahnya dari mansion mereka di Indonesia, tersembunyi di balik pepohonan pinus dan perbukitan hijau, siap menjadi saksi bisu petualangan dan mungkin, drama baru mereka di Australia.
Bagaimana suasana di mansion Canberra? Akankah ada kejutan lain yang menunggu mereka di sana?
Rombongan Axel akhirnya tiba di depan mansion megah di Canberra. Meskipun tidak sebesar mansion utama Axel di Indonesia, hunian ini tetap memancarkan aura kemewahan dan privasi yang sempurna, tersembunyi di tengah perbukitan hijau.
Bara, yang sudah sampai duluan,dengan senyum lebarnya, sudah menunggu di teras.
"Semuanya sudah disiapkan, Bro," ucap Bara, mengisyaratkan bahwa segala kebutuhan mereka selama di Australia telah terpenuhi.
Ia menatap Axel dengan tatapan serius.
"Kamu akan hadir, kan, Bar? Apa kakak kamu enggak hadir?" tanya Axel, nadanya sedikit mengintimidasi. Ia tahu hubungan Bara dengan kakaknya, yang juga seorang pebisnis berpengaruh, seringkali rumit.
Wajah Bara sedikit mengeras. Senyumnya memudar. "Gue sudah tidak berkomunikasi sama dia," jawabnya singkat, ada nada ketidaknyamanan yang jelas dalam suaranya.
"Dan gue juga sudah melepas Klan Srigala." Sebuah pernyataan yang sarat makna, mengisyaratkan konflik atau keputusan besar di masa lalu.
"Ada masalah apa?" tanya Axel, matanya menyipit, merasakan ada ketegangan yang belum terungkap.
Ia mengenal Bara dengan baik, dan ia tahu Bara tidak akan mengucapkan hal itu tanpa alasan kuat.
Bara menghela napas. "Lain kali gue cerita semua, Bro. Kalian pasti capek," katanya, mengalihkan topik dengan paksa.
Ia kemudian menoleh ke arah Rara, Maya, Vany, dan Vanya. "Selamat datang di mansion kecilku, para cewek cantik,"
sapanya dengan nada ceria yang dibuat-buat, mencoba mencairkan suasana. "Hehe, maaf ya enggak sebesar mansion indo."
Rico yang sedari tadi diam, menyikut Bara dengan sikunya, menoyor jidat sahabatnya. "Gausah lebay!" Nada suaranya mengejek, namun juga mengandung peringatan agar Bara tidak terlalu banyak bicara.
Bara hanya tertawa canggung. Ia tahu Rico berusaha menjaganya. "Kalian istirahat ya, besok pagi gue kesini lagi,"
ucapnya, lalu mengedipkan mata pada para wanita. "Bye-bye cewek cantik!" Ia bahkan sempat-sempatnya melemparkan kiss-bye yang genit ke arah mereka.
Axel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Bara yang kekanakan namun juga ramah.
Ia tahu Bara memiliki caranya sendiri dalam menghadapi situasi.
"Ayo, Sayang, kita masuk," ajak Axel, menggandeng tangan Rara, membawa istrinya masuk ke dalam mansion yang megah itu.
Begitu mereka melangkah masuk, aroma pinus dan kehangatan dari perapian langsung menyambut.
Suasana di dalam mansion sangat nyaman. Beberapa maid dan pengawal yang sudah berjaga di dalam menunduk hormat.
"Selamat datang, Nak Axel..." ucap seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah, dialah Kepala Maid di mansion Canberra yang sudah lama mengurus segala keperluannya.
Rara, yang awalnya merasa sedikit tegang karena pertemuan tadi, kini merasa lega dan takjub. Mansion ini sangat indah. Vany dan Vanya segera menjelajahi setiap sudut ruangan dengan antusias, sementara Maya dan Rico mulai menurunkan barang bawaan.
Di tengah kehangatan dan kemewahan itu, Axel tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Bara tentang "Klan Srigala" dan "kakaknya".
Ada misteri yang belum terpecahkan, dan Axel tahu, liburan mereka di Canberra mungkin tidak akan sesantai yang ia harapkan.
Ia juga tahu, ia harus segera menyelidiki latar belakang Letta, karena instingnya mengatakan ada kaitan antara semua kejadian ini.
Bagaimana Axel akan memulai penyelidikannya terhadap Letta dan 'Klan Srigala'? Dan apa yang akan dilakukan Rara dan yang lainnya selama di mansion Canberra?
Rombongan Axel melangkah masuk lebih dalam ke mansion megah di Canberra.
Udara dingin di luar segera berganti dengan kehangatan nyaman di dalam, berkat sistem penghangat ruangan yang bekerja optimal dan aroma kayu bakar dari perapian yang menyala anggun di ruang tamu utama.
Beberapa staf mansion sudah berdiri berjajar rapi, menyambut kedatangan tuan mereka. Di antara mereka, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat dan sorot mata keibuan melangkah maju.
Dia adalah Bibi Inah, kepala penjaga mansion sekaligus sosok yang sudah Axel anggap seperti ibunya sendiri di Canberra.
"Malam, Bi, gimana kabarnya?" tanya Axel, suaranya melembut, kontras dengan nada tegasnya saat berbicara dengan anak buahnya. Ia mengulurkan tangan, menyalami Bibi Inah dengan hormat.
Bibi Inah tersenyum lebar, senyumnya menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan.
"Baik, Nak. Wah, cantik sekali kekasih kamu, Nak," ucap Bibi Inah, matanya berbinar menatap Rara.
Ia takjub dengan kecantikan Rara yang begitu alami dan mempesona, bahkan sambil memegang tangan Rara dengan hangat, seolah menyambut putrinya sendiri.
Rara membalas senyum Bibi Inah dengan ramah, merasa nyaman dengan kehangatan wanita itu.
Axel tersenyum tipis, sebuah kebanggaan terselip di matanya.
"Istri, Bi, bukan kekasih lagi," jawab Axel, mengoreksi dengan nada bercanda. Ia merangkul Rara, menunjukkan kepemilikannya dengan lembut.
Bibi Inah terkejut, matanya membelalak. "Wah, sudah menikah saja, Nak? Kenapa Bibi enggak dikabari?" Ada sedikit nada merajuk dalam suaranya, namun kemudian senyum kebahagiaan kembali merekah.
"Ya sudah, ya sudah. Bibi turut bahagia, Nak. Kalian istirahat ya, pasti capek setelah perjalanan panjang."
Bibi Inah kemudian menjelaskan pengaturan kamar, yang memang agak terbatas mengingat kapasitas mansion ini yang lebih kecil dibandingkan mansion utama Axel di Indonesia.
"Karena kamarnya terbatas, trio cewek jadi satu kamar. Begitupun trio cowok," jelas Bibi Inah.
Maya, Vany, dan Vanya saling pandang. Mereka tidak keberatan sama sekali untuk sekamar.
Bahkan, itu akan lebih menyenangkan. Begitu pula dengan Rico dan Mark yang sudah terbiasa berbagi kamar saat bertugas.
Axel mengangguk setuju. Ia tahu Bibi Inah sudah mengatur yang terbaik. "Terima kasih, Bi," ucapnya.
Suasana mansion kini dipenuhi dengan kehangatan, tawa kecil. Meskipun ada misteri dan potensi masalah yang menanti, untuk saat ini, mereka bisa sedikit menikmati ketenangan dan kenyamanan di rumah kedua Axel di Canberra.
Bagaimana suasana di kamar trio cewek dan trio cowok? Akankah ada percakapan penting atau kejadian menarik di sana?
Cekaman udara dingin Australia di luar mansion tak mampu menandingi kehangatan yang memancar dari dalam kamar utama. tempat Axel dan Rara bersemayam.
Setelah hari yang panjang dan penuh kejadian, mereka akhirnya bisa menikmati momen kebersamaan.
Rara melangkah menuju kamar mandi, niatnya hanya untuk membersihkan diri dan berganti piyama tidur yang nyaman.
Sementara itu, Axel sudah duduk bersandar di ranjang king-size mereka, jemarinya lincah menari di atas layar tabletnya, membaca beberapa email penting yang masuk, mencoba menyelesaikan urusan bisnis sebelum benar-benar menikmati waktu luang.
Tidak lama kemudian, suara pintu kamar mandi berderit pelan. Rara keluar, rambutnya basah tergerai, dan tubuhnya terbalut piyama tidur sutra tipis yang nyaris menerawang.
Setiap geraknya memancarkan keindahan yang memikat, dan siluet tubuhnya yang samar terlihat jelas di bawah cahaya lampu kamar.
Axel mengangkat pandangannya dari tablet. Matanya langsung terpaku pada Rara. Niatnya untuk fokus pada email buyar seketika.
Sebuah gejolak hasrat mulai membara di dadanya. Ia meletakkan tabletnya di samping, beranjak dari posisi duduknya, dan mendekati Rara. Tangannya melingkar di pinggang istrinya, menarik Rara ke dalam pelukan hangat dari belakang.
"Kamu sengaja ya pakai baju begini, Sayang?" bisik Axel, suaranya dalam dan sedikit serak, menahan gejolak hasrat yang tiba-tiba menguasainya. Bibirnya mengecup lembut pundak Rara yang telanjang.
Rara tertawa kecil, suara tawanya bagai melodi di telinga Axel.
Jemari lentiknya bermain-main di dada bidang Axel yang telanjang, memprovokasi lebih jauh.
"Anggaplah kita lagi honeymoon, Mas," balas Rara, suaranya manja dan menggoda. Ia berbalik dalam pelukan Axel, menatap mata suaminya dengan penuh cinta dan gairah yang sama.
Malam itu, dinginnya Canberra menjadi saksi bisu keintiman mereka.
Axel dan Rara memadu kasih, menyalurkan semua kerinduan dan cinta yang mereka miliki. Mereka baru tertidur pulas menjelang pukul tiga pagi, kelelahan namun dengan hati yang penuh kebahagiaan.
Waktu menunjukkan pukul enam pagi. Di luar, butiran salju turun dengan lebatnya, melapisi pepohonan dan halaman mansion dengan selimut putih yang memukau.
Suhu sangat dingin, namun di dalam mansion, kehangatan tetap terjaga.
Maya, yang sudah terbiasa bangun pagi, menggeliat dari tidurnya. Ia bangkit dengan perlahan agar tidak mengganggu Vany dan Vanya yang masih pulas.
Setelah merapikan sedikit ranjang, ia keluar dari kamar, menuju dapur. Aroma kopi dan masakan pagi sudah mulai tercium, menandakan Bibi Inah sudah beraktivitas.
"Pagi, Bi," sapa Maya ramah, melihat Bibi Inah sudah sibuk di dapur. "Maya bantuin, ya?" tawar Maya, menawarkan diri dengan tulus.
Bibi Inah tersenyum hangat, menoleh pada Maya. "Tidak perlu, Nak. Kamu duduk saja, istirahat. Bibi sudah terbiasa. Kamu kan tamu." Bibi Inah memang perhatian pada semua orang di mansion itu.
Maya sedikit kecewa karena tidak bisa membantu, namun ia menghargai kebaikan Bibi Inah. "Ya sudah, Bi, kalau begitu Maya kembali ke kamar ya, Bi," ucap Maya. Ia kemudian berlalu pergi, kembali menuju kamarnya, mungkin akan mengecek ponselnya dan mencari informasi yang bisa ia dapatkan tentang Letta.
Di tengah keheningan pagi yang diselimuti salju, di dalam kamar Maya dan si kembar, suasana berubah menjadi tegang. Maya, yang baru saja kembali dari dapur, tidak bisa menahan diri.
Rasa penasaran dan firasat buruknya terhadap Letta mendorongnya untuk segera bertindak.
Ia mengambil tabletnya dan mulai mengaktifkan sistem penyadap yang terhubung dengan gelang yang dipakaikan pada Letta.
Dengan jari-jemarinya yang lincah, Maya iseng memeriksa apakah ada percakapan yang mencurigakan.
Ia memutar satu per satu hasil sadapannya, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terekam. Awalnya, hanya desah napas, suara langkah kaki, atau percakapan tidak penting. Namun, tak lama kemudian, sebuah rekaman suara Letta yang pelan, nyaris berbisik, mulai terdengar.
Alangkah terkejutnya Maya. Pupil matanya membesar, tubuhnya menegang saat mendengar setiap kata yang keluar dari bibir Letta.
Ini bukan sekadar percakapan biasa; ini adalah sebuah rencana licik yang mengerikan.
Jantungnya berdebar kencang, darahnya berdesir dingin. Ia tidak menyangka Letta, gadis yang mereka tolong, memiliki niat sekejam itu.
Dengan panik, Maya segera membangunkan Vanya dan Vany yang masih pulas dalam tidur mereka. Ia mengguncang bahu keduanya dengan cukup keras.
"Ada apa, Kak May? Jangan kagetin gitu dong!" gerutu Vany, setengah sadar.
"Letta merencanakan sesuatu dan ingin menjebak Axel biar bisa tidur dengannya!" ucap Maya, suaranya tercekat antara marah dan takut.
Ia tidak menyangka betapa berani dan liciknya Letta.
Mendengar nama Axel dan kata 'menjebak', rasa kantuk si kembar langsung hilang.
Mata mereka terbelalak. "Apa?!" seru Vanya dan Vany serempak, tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Karna penasaran, dan ingin mendengar langsung, si kembar segera mengambil tablet dari tangan Maya.
Mereka memutar percakapan Letta yang baru saja direkam, mendengarkan setiap detail rencana jahat itu.
Suara Letta terdengar jelas dalam rekaman, meskipun berbisik, namun penuh dengan ambisi dan kelicikan:
"Gue harus bisa menjebak Axel, seolah-olah aku dipaksa melayaninya. gue harus bisa masuk ke perusahaannya. Dan dengan begitu, aku bisa leluasa menjalankan misiku."
Mata Vanya dan Vany membelalak semakin lebar. Wajah mereka pucat pasi.
Rencana itu tidak hanya berbahaya bagi Axel, tetapi juga bagi Rara.
Mereka tahu betul betapa pentingnya Rara bagi Axel. Jika rencana Letta berhasil, kehancuran bisa menimpa keluarga ini.
"Gimana ini, Kak May?! Jangan sampai Tuan masuk jebakannya!" seru Vany, panik. Ia tidak pernah membayangkan seseorang bisa sejahat itu.
"Kak, mending kita kasih tau Kak Rico biar dia antisipasi!" usul Vanya, otaknya berpikir cepat.
Rico adalah orang terdekat Axel, dan ia juga merupakan salah satu orang yang paling bisa dipercaya dan diandalkan dalam situasi seperti ini.
"Betul juga kamu, Vanya!" Maya mengangguk setuju. Rico harus tahu ini secepatnya. Tidak ada waktu untuk ragu.
"Yuk, ikut aku!" ajak Maya, segera menarik tangan Vanya, bergegas keluar kamar. Mereka harus menemukan Rico secepatnya, sebelum terlambat.
"Nah kan, Vany ditinggalin!" gerutu Vany, kesal karena ditinggalkan sendirian. Ia tahu kakaknya dan Maya sedang dalam misi penting, tetapi ia tetap merasa sedikit kesal karena tidak diajak.
Meskipun begitu, ia segera bangkit, berniat menyusul mereka.
Bagaimana reaksi Rico setelah mendengar rekaman itu? Dan apa yang akan terjadi pada rencana jahat Letta?
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu