Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 27 Jangan Membuatku Jatuh Cinta
Sudah seminggu ini saat jam istirahat atau pulang sekolah, Lana lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan. Ujian akhir sekolahnya sebentar lagi dan ia pun harus menyiapkan diri mengikuti seleksi dan melengkapi persyaratan untuk meraih beasiswa yang ia incar.
Ia bahkan meliburkan jadwal les nya untuk enam bulan ke depan karena ia ingin fokus belajar. Uang jajan yang setiap bulannya dikirimkan oleh tante Citra akan berusaha ia hemat dan untungnya gadis itu juga sudah memiliki sedikit tabungan dari hasil kerjanya selama ini.
Sore ini pun Lana sudah berada di perpustakaan umum yang berada tak jauh dari sekolahnya. Gadis itu begitu serius menyiapkan diri sampai-sampai membuat Sakha secara tidak sadar termotivasi, akibatnya pemuda itu terus mengekor kemanapun Lana pergi. Bahkan sore ini, ia sudah bersama Lana di ruang baca yang mengharuskan pengunjungnya tidak bersuara.
Aroma buku memenuhi indra penciuman Sakha, sudah seminggu penuh ia mengikuti rutinitas Lana yang tentunya hanya berkaitan dengan berbagai bacaan, kamus, artikel, karya ilmiah dan lainnya. Gadis itu mengizinkannya ikut namun dengan syarat agar tidak mengganggunya sama sekali, alhasil pemuda itu hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat .
Kini pemuda itu merasakan kantuk yang sangat di matanya, ia duduk di sebuah kursi kayu di samping Lana, dengan sekat pembatas yang cukup tinggi membuatnya tak bisa memperhatikan wajah gadis itu dengan baik.
Padahal wajah Lana saat serius belajar terlihat menawan di matanya. Jadi, ia hanya bisa diam-diam menyandarkan tubuhnya di kursi kemudian melirik Lana, merekam ekspresi wajah menggemaskan itu untuk beberapa saat.
Lalu ketika Lana akhirnya menyadari ada orang yang memperhatikannya, gadis itu tentunya menoleh. Matanya mengerjap berkali-kali, saat tatapan ia dan Sakha bertemu.
"Apa?" Bibir Lana bergerak tanpa suara, kedua alis matanya bertaut.
Dan Sakha hanya membalasnya dengan senyuman..tanpa suara pemuda itu mengangkat tangan kanannya, mengelus puncak kepala Lana lembut, lalu mengarahkan kepala gadis itu agar kembali membaca bukunya.
Dan Lana lagi-lagi merasakan geletar aneh itu dalam dadanya, namun berusaha ia abaikan, karena buku-buku dihadapannya lebih penting dari apapun!
...---------...
Lana terkejut saat jam di tangannya telah menunjukan pukul 8 malam. Perpustakaan tempat ia belajar sedari tadi akan tutup dalam satu jam, jadi ia memutuskan untuk membereskan semua buku bacaan dan alat tulisnya, sebelum ia pergi.
Gadis itu bangkit sambil menjinjing beberapa buku yang akan ia simpan di meja pengembalian yang berada tak jauh dari ruangan tempat ia membaca. Peraturan di sana memang mengharuskan buku yang selesai dibaca untuk di simpan di meja, bukan dikembalikan ke rak tempat buku itu berada sebelumnya. Hal tersebut untuk menghindari kesalahan penyimpanan yang banyak dilakukan oleh pembaca.
Lana celingak celinguk ke sekitarnya, matanya mencari kehadiran Sakha. Ia pikir pemuda itu tengah duduk di kursinya namun ternyata batang hidungnya tak terlihat.
"Kemana dia?" Lana menggigit bibirnya.
Gadis itu segera melangkah keluar dan mencari-cari keberadaan Sakha di seluruh area baca perpustakaan.
Sesekali ia meregangkan tangan yang terasa kaku karena sejak tadi hanya menulis dan membuka-buka halaman buku. Leher gadis itu juga terasa sedikit sakit mungkin karena posisi duduknya yang selalu menunduk. Rasanya ia ingin cepat merebahkan tubuh di kasurnya yang empuk tapi saat ini ia malah sibuk mencari pemuda itu yang entah di mana.
Ia mencoba menelpon Sakha dengan ponselnya, namun tak ada jawaban. Hingga akhirnya, sebuah silhuet yang ia kenali membuatnya berhenti melangkah. Dan ternyata benar, pemuda itu sedang asyik duduk bersila di lantai yang dilapisi karpet bulu, memeluk bantal di pangkuannya sambil membaca sebuah buku bergambar.
Lana terus memperhatikan pemuda itu yang masih fokus tanpa menyadari kehadirannya. Suasana di ruangan tersebut memang terasa nyaman, ruang lesehan yang disediakan agar para pengunjung dapat membaca sambil bersantai, tak jauh dari sana ada sebuah kolam ikan kecil dengan air mancur cantik yang menghadirkan suara riak air yang menyegarkan.
Lana berjongkok di samping Sakha, menepuk pundaknya sembari mengintip diam-diam buku yang sedang ia baca.
"Ah, ia membaca buku tentang perhotelan." batin gadis itu sembari tersenyum tipis. Awalnya ia kira, Sakha akan membaca komik atau buku cerita lainnya, tapi ternyata pemuda itu memiliki ketertarikan dalam hal yang tak ia duga.
"Pulang?" tanya Sakha dengan suara pelan karena ia tahu masih banyak orang lain di sana yang sedang membaca.
Lana mengangguk.
Sakha memperhatikan sekilas mata gadis itu yang tampak memerah, pasti efek karena ia terus menerus membaca.
Keduanya lalu melangkah bersama keluar dari perpustakaan. Mereka menuju ke parkiran di mana motor Sakha berada.
Angin malam terasa cukup dingin malam itu, menyapu tubuh Lana yang langsung memeluk tubuhnya sendiri.
Sakha mengeluarkan kunci motor dari jaketnya, kemudian di lepaskannya jaket itu dari tubuhnya.
"Kamu pakai jaketnya."
Lana mengangkat alisnya. "Terus kamu?"
"Pakai aja, nanti kamu kedinginan."
Lana masih ragu dan terdiam. Karena tak sabar menunggu reaksi Lana, Sakha langsung melebarkan jaketnya lalu mengenakannya ke tubuh gadis itu.
Jaket Sakha yang berukuran cukup besar, membuat tubuh Lana seolah tenggelam. Namun anehnya, gadis itu malah terlihat semakin imut.
Sakha menghela nafasnya, merutuki dirinya sendiri yang lagi-lagi terpesona oleh hal-hal remeh yang berkaitan dengan seorang Alana.
Sakha selesai menarik resleting jaket yang saat ini menyelimuti tubuh Lana. Ia kemudian meraih helm cadangannya dan memasangkannya ke kepala gadis itu. Lana mungkin tidak tahu, kalau ia adalah gadis satu-satunya yang pernah menaiki motornya bahkan Sakha khusus membeli dan memilih helm berwarna peach itu hanya untuk dipakai oleh Lana, bukan gadis lain.
Tak lama kemudian, keduanya menaiki motor dan Sakha segera melajukan kendaraannya itu dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, tak ada satupun dari keduanya yang berbicara.
Ia tahu kalau Lana sudah mengantuk bahkan gadis itu sampai menyandarkan kepala ke punggungnya. Sekitar 30 menit keduanya pun tiba di depan rumah Lana, gadis itupun segera terbangun dan turun dari motor.
Lana menyodorkan helm milik Sakha, lalu sembari berusaha membuka matanya yang terasa berat, gadis itu berpamitan.
"Thanks ya, bye." ia melambaikan tangan dengan lemah.
Sakha menahan senyum di balik kaca helm nya, baru kali ini ia melihat wajah kantuk Lana yang lagi-lagi terlihat menggemaskan di matanya. Gadis itu berkali-kali menggelengkan kepalanya, mungkin mencoba menghilangan rasa kantuk yang menyerangnya.
Sadar akan penampilan gadis itu yang berantakan. Sakha mendekat dan merapikan helaian rambut Lana yang hampir menutupi wajahnya. Dari jemarinya ia dapat merasakan permukaan kulit wajah Lana yang terasa dingin.
Rambut Lana yang panjang telah ia rapikan hingga tak ada satu helai pun yang kini menutupi wajahnya. Ia hendak menarik tangannya, namun anehnya telapak tangannya malah menangkup pipi putih milik gadis itu.
Permukaan wajah Lana terasa halus dan lembut dalam sentuhannya.
Sentuhan Sakha padanya, membuat wajah gadis itu memanas sehingga rona merah pun mulai menghiasi pipi putihnya.
Tatapan keduanya bertemu dan waktu seolah berhenti. Ada keheningan menyelimuti keduanya namun tersisa suara detak jantung yang berdebar kencang.
"Sakha.." Lana mengangkat tangannya dan menyentuh punggung tangan pemuda itu yang masih ada di pipinya.
"Mmmm?" gumam Sakha masih tak menghentikan tatapannya pada gadis itu.
"Berhentilah."
"Maksudmu?" kedua alis Sakha bertaut.
“Jangan membuatku jatuh cinta.”
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri