Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman?
..."Merasa terpojokkan, tapi masih ingin menengah. Sulit sekaligus menyakitkan kala itu"...
...•...
...•...
Variel memeluk selimut di kamar khusus tamu di rumah Zevan. Arlan keluar dari kamar mandi dengan memakai baju milik Zevan. Sangat pas di tubuhnya, karena tubuh mereka hampir sama. Bahkan tinggi mereka juga sama.
"Variel!" Panggil Retha.
"Iya, Kak?" Balas Variel dari dalam.
"Ikut kakak, yuk?"
"Kemana?"
"Main di lantai atas."
Bocah itu langsung loncat dari tempat tidur dan menghampiri Retha yang berdiri di ambang pintu kamar.
Arlan hanya menatap kepergian Variel bersama Retha dengan duduk di sisi ranjang dengan menatap nanar ke depan.
"Kenapa lo?" Tanya Zevan yang tiba-tiba ada di ambang pintu kamar dengan membuka lebar pintu itu.
Arlan hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Zevan menghampirinya dan berdiri di depannya. "Ikut gua ke taman belakang."
Setelah itu, Zevan langsung meninggalkan Arlan yang tengah bingung dengannya. Apakah tadi laki-laki itu menyuruhnya untuk mengikutinya? Arlan bingung.
Arlan beranjak dari duduknya dan ke taman belakang rumah Zevan. Udara malam yang sangat dingin menyambar kulitnya hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Seorang laki-laki duduk di bangku taman dengan menatap ke atas langit yang mendung, tapi hujan sudah reda.
"Ngapain lo kabur dari rumah?" Tanya Zevan, dengan menolehkan kepalanya ke arah Arlan yang hanya diam.
"Gua nggak bisa cerita kalau soal itu."
Zevan tersenyum tipis mendengarnya. Seorang pengkhianat yang ia berikan bantuan itu menyimpan banyak cerita, tapi tidak laki-laki itu ceritakan. Dulunya memang mereka dekat, tapi semenjak Arlan tidak lagi ikut dalam Caspe dan mulai meninggalkan CSSP demi kepentingan pribadinya. Arlan telah berubah.
"Kenapa lo ninggalin kita?" Tanya Zevan lagi.
"Gua nggak bisa cerita."
Karena sedikit kesal dengan jawaban Arlan, Zevan beranjak dari teman duduknya dan menghampiri Arlan.
Sontak Arlan membulatkan matanya saat Zevan menarik bajunya dengan tatapan menusuk. "GUA KASIH BANTUAN KE LO KARENA GUA MASIH SAYANG SAMA SEMUA CASPE, DAN GUA NGGAK MEMANDANG HAL SEKECIL APAPUN ITU. Jadi, cerita ke gua apapun itu."
"GUA UDAH BILANG, KALAU GUA NGGAK BISA! KALAU LO MASIH PERHATIAN KE GUA KARENA MASIH SAYANG. OKE! GUA BALIK SEKARANG."
Arlan melepaskan baju milik Zevan, dan langsung Zevan hempasan saat tangan Arlan yang akan menaikkan baju itu. "Jangan."
"Kenapa? Karena sayang lagi? Lo itu terlalu perhatian sama orang lain kayak Nathan."
PLAK!
Zevan menampar pipi Arlan hingga menimbulkan suara tamparan yang keras. Perih memang dirasakan Arlan, tapi tidak kalah perih dengan hati Zevan.
"Lo kira anak Caspe nggak saling sayang satu sama lain? Anak Caspe masih cerita tentang lo walaupun lo nggak ada. Lo itu kayak Raja yang ninggalin kita demi kepentingan pribadinya," kata Zevan.
"Caspe itu bukan orang-orang biasa aja tapi luar biasa, karena mereka selalu membagi cerita dan saling merasakan apa yang orang lain rasakan saat itu juga. Kita bukan hanya membantu orang lain, tapi sama-sama dari kita juga," lanjutnya.
Zevan menatap Arlan dengan tatapan mata yang masih sama, dan dengan meremas tangannya sendiri. "Gua tanya. Lo menganggap kita ini apa, Ar? Kenapa lo ninggalin kita? Dan sikap lo udah berbeda dengan sifat lo juga."
"Gua mau Arlan yang dulu. Yang selalu ada dan bantu Caspe walaupun di dalam keadaan terpuruk sekalipun. Lo itu baik, Ar."
Zevan mendekati Arlan yang hanya diam. "Sebagai wakil dan ketua Caspe yang baru. Gua mohon, balik jadi Arlan yang dulu, ya, Ar?"
Arlan menarik nafasnya dalam-dalam dan membalas tatapan mata Zevan. "Gua ditekan."
"Apa?"
"Gua ditekan bokap gua sendiri. Bokap gua menyuruh untuk nggak ikuti aktifitas kegiatan lainnya dan hanya belajar dan belajar. Caspe itu bukan hanya biasa saja tapi luar biasa, dan gua... Gua yang biasa aja. Gua berusaha untuk memenuhi apa yang bokap gua mau. Dari belajar terus-menerus, dan ninggalin kalian karena kalian saingan gua dalam hal nilai."
"Terus?"
"Seluruh angkatan kita adalah saingan gua. Gua juga pengen balik ke kalian dan bisa ngelakuin apa yang gua pengen dengan diri gua yang leluasa, bukan dengan keterbatasan. Dan Variel... Di usianya yang seperti ini, seharusnya dia ngerasain apa yang bocah-bocah lainnya rasain. Tapi dia belajar sampai sakit-sakitan dan dapat tekanan juga dari bokap gua."
"Ar, lo it-"
"Gua akui, gua seorang pengkhianat. Maka dari itu, gua nggak mau dekat-dekat kalian lagi. Karena kalian terlalu baik buat gua yang kayak gini. Kalian terlalu luar biasa untuk gua yang biasa dan pecundang."
"Pintu Caspe terbuka buat lo."
"Enggak, Caspe hanya terbuka untuk orang-orang yang baik. Bukan kayak gua yang udah punya jiwa-jiwa bajingan. Bahkan angkatan kita banyak yang udah nggak suka sama gua."
"Enggak buat gua. Lo masih Arlan yang gua temui di taman waktu SMP sama Nathan. Lo seharusnya cerita ke kita dan saling percaya satu sama lain. Bukan lo pendam sendiri. Gimana kalau ada Nathan? Di mungkin sakit dengerin apa yang lo ucapin."
"Dia terlalu baik buat gua. Selain pengkhianat dan bajingan, gua juga bukan teman yang baik buat kalian. Gua masih kurang baik dalam hal itu."
"Lo itu baik dengan diri lo sendiri, karena itu kebaikan versi diri lo. Sebaik-baiknya orang, dia akan terus jadi pemeran antagonis di kehidupan orang. Jangan pendam lagi cerita-cerita yang ingin lo ceritain. Masih ada gua di sini, kalau gua nggak ada? Gimana?"
Arlan tersenyum tipis. "Mungkin gua kesepian dan nggak ada lagi yang gangguin gua di perpustakaan."
"Jadi?"
"Jadi apa?" Bingung Arlan.
"Gimana cara lo menghadapi kedepannya?"
"Gua sendiri aja udah tersesat."
"Tersesat?"
"Tersesat di dunia gua sendiri. Rumah gua udah nggak ada, dan berlian yang gua punya cuman ada Variel."
"Kalau gitu, biarin gua dan Caspe yang membimbing lo ke jalan semula. Apa lo mau balik ke kita?"
"Mungkin.... enggak."
Zevan mengerutkan keningnya. "Kenapa?"
"Gua nggak balik ke kalian, tapi gua bakal jadi diri gua sendiri mulai sekarang."
"Tapi kenapa? Gua udah mempersilahkan lo kembali. Bukannya itu bagus?"
Arlan mengangguk. "Iya, bagus. Tapi gua nggak mau Caspe tersakiti lagi karena gua."
"Nggak ada kata tersakiti kalau kita selalu berbagi cerita. Pintu itu selalu terbuka buat lo, Ar. Dan gua tunggu kedatangan lo."
Zevan langsung melenggang pergi meninggalkan Arlan yang menatap kepergiannya. Sejujurnya, ia juga ingin kembali. Tapi kembali pada jawabannya yang tadi, ia tidak ingin Caspe tersakiti lagi karenanya.
"Abang!" Panggil Variel dari jendela kaca yang bocah itu buka.
Arlan menoleh dan tersenyum ke arahnya. "Kenapa?"
"Abang ngapain di situ?"
"Nggak ngapa-ngapain, kok."
Arlan kembali memasuki rumah dan manik matanya bertemu dengan manik mata Zevan yang sedang menaiki tangga. Laki-laki itu langsung membuang muka saat Arlan terus menatapnya. Rasa kesal itu masih ada, dan Zevan tidak ingin memperpanjang masalahnya.
...••••...
Tumpukan buku-buku tebal di meja belajar dan cemilan yang berserakan di atas kasur membuat Gio mengambilnya dan menatap kamar Variel agar kembali rapi.
Merasakan sebuah kesunyian dan kesepian tanpa kedua putranya. Tidak akan Gio rasakan, karena itu hal biasa terjadi sebab sudah terbiasa sepi. Walaupun ada keduanya, rumah ini juga akan tetap sepi karena mereka sibuk pada aktifitasnya masing-masing.
Gio menutup kamar Variel, dan berganti ke kamar Arlan. Sangat bersih, karena Arlan sangat bersih dan terawat orangnya. Gio melirik tempat sampah di samping meja belajar yang penuh dengan kertas-kertas yang menggumpal menjadi sebuah bola dan tisu dengan bercak merah.
Darah, benarkah itu darah?
"Mimisan?" lirih Gio.
Dinding depan meja belajar yang penuh dengan sticky note yang sengaja ditempelkan Arlan agar tetap menghafal dengan bab-bab yang ia pelajari, dan beberapa ada yang bertuliskan sebuah kata-kata.
"Bahagia gelap itu, berarti bahagia tersembunyi."
"Pengkhianat teman yang ingin disayangi temannya."
"Nominal kebahagiaan sementara."
Gio melirik buku yang bergambarkan hewan yang terdapat nama pemiliknya, Variel. Pria itu membukanya dan membaca isi dari buku tersebut dengan perlahan-lahan karena tulisan Variel yang sengaja ia jelek-jelekkan agar tidak dapat dibaca orang lain. Tapi beberapa kalimat masih bisa dibaca.
Seperti teman-teman yang lainnya.
Jalan-jalan waktu itu, sama bang Arlan emang seru. Tapi lebih seru lagi kalau ada papa.
Papa itu orangnya sibuk sampai larut malam aja masih ada di ruangan tertutup itu.
Mungkin yang Variel maksud adalah ruang kerja Gio yang selalu tertutup rapat.
Pengen punya papa kayak papanya temen-temen aku yang lain.
Pengen ke pantai cari gurita sama bang Arlan dan papa, terus dibakar di sana. Pasti seru!
Tadi aku pulang sekolah sendirian lagi. Habis! Sopirnya lamaaaa banget jemputnya.
Pak Ali tadi bercanda soal burung yang bisa bicara, ternyata ada. Hahaha
Gio tersenyum tipis membacanya. Ternyata kedua putranya memang sangat menginginkan perhatiannya. Jika diingat-ingat, ia tidak mengingat kapan terakhir kali memberikan mereka perhatian selain mentransfer uang ke rekening Arlan.
"Papa jahat karena takut kalian nggak punya masa depan yang jelas kayak papa dulu. Tapi papa beruntung sekali sekarang, karena dapat pekerjaan dari menggantikan mama kalian yang sudah tidak ada."
"Tekanan yang papa berikan itu, ternyata terlalu menekan mental kalian."
Meletakkan kembali buku tersebut dan melenggang pergi dari kamar Arlan. Kini, perasaan sepi itu benar-benar ada dalam hatinya. Kedua buah hatinya yang pergi meninggalkannya karena kesalahan yang telah ia perbuat sendiri. Begitulah jika bertindak gegabah dan tidak memikirkan kedepannya.
Gio menyesali hal ini. Kedua putranya yang telah pergi membuat ia mengingkari janjinya dengan seorang wanita yang telah tiada. Rasa kecewa pada dirinya sendiri, merasa tidak pantas menjadi orang tua, dan bersalah karena tindakannya.
Lain kali, berpikir dengan jernih dan memikirkan hal kedepannya agar tidak menimbulkan masalah itu sangatlah perlu. Jangan bertindak gegabah hanya karena ingin mendapatkan hasil yang memuaskan. Hasil itu dapat didapatkan dengan bagus jika prosesnya juga bagus.
Namun, hasil yang buruk belum tentu membuat prosesnya sia-sia begitu saja.
...••••...
...TBC....