Terjerat Cinta Daddy Mafia

"Saya mohon Nona, kembalikan ponsel saya! Saya baru saja menghubungi keluarga saya, bukan berbicara dengan Tuan Benigno," pinta Terecia. Dia terpaksa berbohong.

Sebisa mungkin dia tak ingin memberikan ponsel itu kepada Ana. Dia takut tuannya akan marah padanya. Namun, Ana masih terus berkeras hati. Hingga akhirnya, Ana berhasil merebut ponsel milik Terecia dari tangannya.

Terecia tampak lesu, karena akhirnya Ana mengetahuinya. Kalau yang menghubunginya, memang benar Benigno. Terecia tak bisa lagi mengelak.

"Kenapa Bibi berbohong padaku?" Ana bertanya, sambil menatap Terecia dengan tatapan tajam.

"Maaf Nona, ini permintaan Tuan Benigno. Dia yang meminta saya untuk tidak mengatakan pada Anda," sahut Terecia lesu. Dia yakin Benigno akan sangat marah padanya.

Ana tak berkata lagi. Dia lebih memilih langsung menekan nomor telepon daddynya. Dia merasa kesal, karena daddynya menghubungi Terecia. Tetapi, tak menjawab pesan chat dan juga panggilan telepon darinya.

"Tuan, Terecia menghubungi Tuan," ucap Roberto kepada Benigno.

"Kamu angkat saja, dan tanyakan ada perlu apa menghubungi saya!" titah Benigno.

Roberto menganggukkan kepalanya, dan menerima panggilan telepon tersebut.

"Mana Daddy? Aku ingin bicara. Mengapa Daddy menghubungi Bibi bisa, sedangkan berbicara padaku tak bisa? Mau dia apa sih?" Ana meluapkan perasaan kesalnya.

Roberto terpaksa keluar dari ruangan. Dia tak mungkin berdebat dengan Ana di sana. Benigno tampak mengerutkan keningnya, merasa bingung mengapa asistennya berbicara di luar.

"Ana, dengarkan saya! Saya harap kamu mengerti kondisi Daddy kamu saat ini! Dia sedang tak bisa berbicara padamu. Dia sedang ada masalah, yang tak bisa dijelaskan padamu saat ini," ucap Roberto memberi pengertian.

"Iya, tapi kenapa? Dan sampai kapan aku harus menunggunya? Mengapa kalian menutupinya dariku? Apa Daddy sedang berbulan madu dengan wanita ja*lang itu? Mereka diam-diam menikah, dan menutupinya dariku?"

"Untuk saat ini saya tak bisa menjelaskannya. Lebih baik sekarang kamu tenang dulu, sampai saatnya tiba. Namun yang pasti, apa yang terjadi pada Tuan Benigno saat ini. Tak seperti yang kamu pikirkan. Kamu tak perlu khawatir! Tuan Benigno tidak pernah menikah dengan siapapun," Roberto menjawab dengan penuh penekanan.

Roberto langsung mengakhiri panggilan telepon dengan Ana. Dia tak ingin berlama-lama bicara pada Ana. Berbicara pada Ana terlalu lama, hanya membuat dirinya pusing.

Dia pun masuk kembali, menemui bosnya.

"Ada apa?" Tanya Benigno yang sejak tadi penasaran menunggu asistennya masuk.

Roberto langsung menceritakan pembicaraannya dia dengan Ana. Seutas senyuman terbit di sudut bibirnya. Entah mengapa dia merasa bahagia mendengarnya. Mungkinkah dia sudah mulai jatuh cinta pada anak angkatnya?

"Sepertinya, dia sangat mencintai Anda, dan takut kehilangan Anda," ucap Roberto.

Benigno hanya terdiam. Dia justru teringat permainan panas mereka, sebelum kejadian itu.

"Kalian yang jatuh cinta. Mengapa aku jadi yang pusing," gerutu Roberto dalam hati.

Roberto tak berbicara lagi, dia memilih keluar dari ruangan. Ingin menetralkan pikirannya, yang dibuat pusing mereka berdua.

"Yang satu bersemangat, yang satu lagi malu-malu kucing," Roberto menggerutu kembali.

"Kalau jatuh cinta, kenapa harus ditutupi sih?" Roberto masih saja meluapkan perasaan kesalnya.

Ana terlihat kesal, karena dia tak bisa berbicara pada daddy angkatnya. Dia menjadi semakin bertambah gelisah.

"Sebenarnya, apa sih yang sedang terjadi? Aku tak paham, dengan perkataan Uncle Roberto. Daddy ke mana sih?"

Berbagai macam pertanyaan menari di pikirannya.

Hari terus berganti. Tepat tujuh hari, Benigno pergi meninggalkan Ana. Sampai saat ini, Ana masih belum mendapatkan informasi tentang daddynya. Membuat dia semakin tak sabar.

Benigno terlihat sudah mulai pulih. Dia sudah mulai bisa duduk, meskipun masih sering merasa nyeri di bekas operasi. Sekarang, dia juga sudah mulai bisa melakukan aktifitas sendiri.

Sebenarnya, dia pun sudah merindukan Ana. Tapi, dia masih harus menunggu beberapa hari lagi. Sampai dokter memperbolehkan dia pulang. Dia diminta masih harus bersabar.

"Daddy ke mana sih?" pertanyaan itu sering kali terlontar dari bibir Ana.

Ana sedang merasa tak enak badan. Hari ini dia tak kuliah. Semenjak kepergian sang daddy, dia menjadi jarang makan. Dia menjadi tak nafsu makan. Peranan sang daddy, begitu penting di kehidupannya. Seperti sekarang ini, yang hidupnya menjadi tak karuan karena daddynya tak ada.

Sama halnya dengan Ana, Benigno pun merasa rindu kepada Ana. Kali ini dia merasa berbeda. Padahal dulu, dia tak pernah bermasalah berpisah lama dengan anak angkatnya.

Benigno mengungkap keinginannya untuk pulang. Dia merasa jenuh, harus berlama-lama di rumah sakit.

"Apa Anda yakin, dengan kondisi Anda saat ini? Yakin, kalau Anda sudah membaik?" Roberto meyakinkan terlebih dahulu.

"Ya, saya sudah merasa sehat. Segera kamu urus kepulangan saya!" Titah Benigno kepada sang asisten.

Benigno terlihat sudah bersiap-siap untuk pulang. Dia sudah terlihat rapi. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju Mansion. Benigno terlihat hanya diam. Tak ada satu katapun terlontar dari bibirnya.

Mobil yang membawa mereka akhirnya sampai di Mansion. Benigno turun secara perlahan. Dia masih harus berhati-hati, sampai benar-benar sembuh.

"Di mana Ana?" Tanya Benigno kepada Terecia.

"Di kamarnya, Tuan. Seperti biasa Nona Ana sulit makan. Sering kali dia melewatkan jam makan," jelas Terecia.

Benigno tak menjawab, dia memilih langsung menaik anak tangga menuju kamar Ana. Ternyata, pintu kamar Ana dikunci.

"An, buka pintunya!" Benigno mengetuk pintu kamar, sambil memanggil-manggil Ana dengan lembut.

Ana mengerjapkan matanya. Dia mencoba memastikan suara yang dia dengar dari luar.

"Seperti suara Daddy? Ah, tapi rasanya tak mungkin. Mungkin, karena aku terlalu merindukan dia. Makanya, aku seperti ini," Ana berkata lesu.

Ana sampai menutup telinganya dengan bantal. Dia pikir, ini semua hanya halusinasi dia saja.

"An, apa kamu marah sama Daddy? Maaf, jika Daddy membuat kamu kecewa," Benigno berkata kembali.

Ana mengerutkan keningnya, dan melepaskan bantal yang menutupi telinganya secara perlahan. Memastikan, kalau yang dia dengar itu tak salah.

Dengan rasa malas, Ana beranjak turun dari ranjang, dan membuka pintu kamarnya secara perlahan.

"Daddy?"

Wajah kusutnya, kini menjadi bersinar-bersinar. Dia terlihat begitu bahagia, melihat laki-laki yang dia rindu berada di hadapannya. Dia pun langsung memeluk tubuh daddynya.

"Aw," Beniqno meringis, merasa kesakitan.

Ana langsung melepaskan pelukannya, dan kini menatap wajah daddynya bingung.

"Daddy kenapa?" Tanya Ana.