Aaric seorang CEO muda yang belum terpikir untuk menikah harus memenuhi keinginan terakhir neneknya yang ingin memiliki seorang cicit sebelum sang Nenek pergi untuk selama-lamanya.
Aaric dan ibunya akhirnya merencanakan sesuatu demi untuk mengabulkan keinginan nenek.
Apakah yang sebenarnya mereka rencanakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Inseminasi Lagi?
"Kemana kamu dua hari ini?" tanya Ryan pura-pura tidak tahu.
"Ke Panti Asuhan." jawab Aaric sambil tersenyum.
Ryan dan Dani saling berpandangan, merasa heran karena Aaric kali ini bersikap ramah pada mereka tidak seperti biasanya yang akan marah jikalau keduanya mendatanginya tanpa memberitahu dulu.
"Panti Asuhan tempat istrimu di besarkan?"
Aaric mengangguk.
"Apa yang terjadi disana? kamu tampak sangat bahagia sekali," tanya Dani.
"Banyak," jawab Aaric cepat
"Apa saja?" tanya Ryan sangat penasaran.
"Aku bermain bola lagi," jawab Aaric sambil tersenyum.
"Benarkah?" tanya Ryan dan Dani kompak.
Aaric mengangguk.
"Disana suasana hatiku sangat baik, aku sudah bisa merelakan kepergian ayahku sepenuh hati."
"Syukurlah, aku senang mendengarnya."
"Bagaimana dengan hubunganmu dengan Naina, ada perkembangan?" tanya Ryan.
Aaric mengangguk.
"Aku sudah menyatakan perasaanku padanya?"
"Apa?" lagi-lagi kedua sahabatnya bertanya dengan kompak..
"Aku sudah memberitahunya bahwa aku jatuh cinta padanya."
Dani tersenyum lebar melihat Ryan.
"Kamu sudah benar-benar jatuh cinta pada istrimu?" tanya Ryan penasaran.
Aaric mengangguk.
"Iya, aku benar-benar jatuh hati padanya."
Giliran Ryan yang tersenyum lebar.
"Akhirnya..kami sangat senang mendengarnya." ucap Dani antusias.
"Lalu setelah kamu menyatakan cintamu padanya, aku yakin jika kalian akhirnya melakukannya." Ryan tersenyum menggoda.
Aaric menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Kami belum melakukannya.".
Dani dan Ryan tampak kecewa.
"Apa lagi sekarang alasannya?" tanya Ryan kesal.
"Karena aku tidak mau memaksanya."
"Masih karena itu juga alasannya." Ryan tampak semakin kesal.
"Aku ingin membuatnya juga mencintaiku dulu."
Ryan tersenyum.
"Berarti itu masih lama, menurutku istrimu itu tipe wanita sulit jatuh cinta," jawab Ryan
"Itu benar, aku sependapat dengan Ryan, Naina tipe wanita yang tidak akan mudah tergoda, ketampanan dan kekayaanmu tidak akan membuatnya mudah membuka hatinya untukmu," ucap Dani
Aaric terdiam. Dia mengakui jika apa yang dikatakan kedua sahabatnya itu benar. Naina tidak seperti wanita lainnya yang memuja ketampanan dan kekayaan yang dimilikinya.
***
Naina baru saja masuk ke kamar setelah dari kamar Nenek, dia tampak kaget melihat Aaric telah berada disana tengah membuka kancing kemejanya.
"Maaf aku tidak tahu jika kamu sudah pulang." Naina mengambil jas Aaric yang tergeletak di atas tempat tidur.
"Apa kamu sudah makan? Kalau belum aku akan siapkan makanan untukmu."
"Tidak usah, aku sudah makan," jawab Aaric sambil terus membuka kemejanya.
Naina mendekati Aaric akan mengambil kemeja yang baru saja dibukanya.
Aaric dengan senang hati memberikannya sambil menatap wajah Naina yang terus menurunkan pandangannya, Aaric mengerti Naina merasa tidak nyaman melihat dirinya yang tidak memakai baju, sehingga nampak dadanya yang polos.
Setelah mendapatkan kemeja di tangannya, Naina pergi menuju kamar mandi dan meletakkan baju kotor di keranjang cucian, dia kembali mendekati Aaric yang kini tengah duduk sambil mencoba melepas kaos kakinya, Aaric juga nampak berpikir jika sikap Naina sangat berubah, istrinya itu nampak ingin melayaninya dengan baik.
Tiba-tiba Aaric dibuat terkejut ketika Naina berjongkok di depannya dengan tangan yang akan membantu melepas kaos kakinya.
"Apa yang kamu lakukan?" Aaric berdiri sambil menarik tangan Naina agar juga berdiri sepertinya.
"Aku hanya ingin membantu melepas kaos kaki."
"Kamu tidak perlu melakukan itu, aku bisa melakukannya sendiri." Aaric sedikit marah.
"Maaf, aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri."
"Tapi bukan seperti itu caranya, aku sama sekali tidak menyukainya. Kamu seperti merendahkan dirimu sendiri" Aaric menatap Naina.
"Apa kamu menganggapnya seperti itu?" tanya Naina sedikit tersinggung.
"Iya, tentu saja seperti itu. Ingat jika kamu adalah istriku, tidak ada yang boleh merendahkanmu termasuk itu diriku sendiri."
Naina terkesiap mendengar perkataan Aaric, dia tidak menyangka jika Aaric tidak menganggapnya wanita miskin yang rendah.
"Lagi pula, masih banyak cara lain jika kamu ingin melayaniku." Aaric tersenyum menggoda.
Naina merasa suaminya itu akan kembali melakukan sesuatu yang ditakutinya. Naina mundur selangkah.
Aaric berjalan mendekati Naina.
"Kenapa mundur? bukankah kamu ingin melayani suamimu?"
Naina nampak salah tingkah, dia nampak mencari suatu alasan untuk pergi meninggalkan suaminya.
Tiba-tiba tidak sengaja Naina tersandung sepatu Aaric yang tergeletak di belakangnya.
Dengan segera Naina berjongkok dan mengambil sepatu itu.
"Aku akan menyimpan ini." Naina mengangkat sepatu itu ke arah Aaric lalu pergi menuju walk-in closet dengan terburu-buru.
Aaric tersenyum geli.
Setelah itu Aaric nampak pergi ke kamar mandi, sementara Naina mempersiapkan baju tidur untuk suaminya.
Tak lama Aaric keluar, langsung berjalan mendekati ruangan walk-in closet dan melihat baju untuknya telah siap disana, Aaric lagi-lagi dibuat tersenyum dengan tekad Naina yang ingin mengurusnya.
Setelah memakai baju Aaric pergi mendekati tempat tidur, kaget melihat Naina tengah bersiap untuk tidur di atas sofa.
Aaric mengambil bantal lalu mendekati Naina.
"Kamu ingin kita tidur di sofa ini?"
Naina kaget, dia langsung menunjuk ke arah tempat tidur.
"Kamu bisa tidur disana, aku tidur disini."
"Jangan aku ingatkan jika suami istri harus selalu tidur berdua. Sekarang kamu tinggal pilih, kita tidur berdua di sofa kecil ini saling berdempetan atau di atas kasur itu?"
Naina langsung mengambil bantalnya.
"Kita tidur disana," ucap Naina sambil berjalan mendekati tempat tidur.
Aaric mengikutinya sambil mengulum senyum.
***
Naina terbangun karena Aaric kembali memeluk dirinya, padahal dia sudah menghalangi jarak diantara keduanya dengan bantal guling, namun rupanya Aaric membuang guling itu ke bawah tempat tidur.
Naina membiarkannya karena dia tahu dan yakin jika Aaric benar-benar tertidur nyenyak kali ini, dia kemudian memanfaatkan situasi itu untuk melihat wajah suaminya dari dekat.
Baru kali ini dia melihat wajah suaminya dengan jelas, ternyata nampak sangat tampan dan menawan bahkan ketika tidur sekalipun.
Naina tersenyum, terbersit niatan untuk mencoba memegang wajah Aaric, Naina lalu memberanikan diri mengusap wajah suaminya, dimulai dari hidung, pipi dan bibirnya.
Naina menatap bibir itu lama.
"Ini bibir yang telah mengambil ciuman pertamaku." ucapnya dengan pelan.
Naina tersenyum malu.
***
Siang hari.
Aaric berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit dengan tergesa-gesa, dia baru saja ditelepon oleh ibunya untuk memintanya segera datang kesini.
Aaric tiba di suatu ruangan, nampak olehnya selain ibunya ada Dr. Dani juga seorang dokter lagi yang telah menunggunya.
"Ada apa? Aku pikir ini tentang Nenek?" tanya Aaric heran sambil duduk.
"Bukan Nak. Ini tentang rencana inseminasi itu," jawab Winda.
"Inseminasi?" tanya Aaric heran.
"Iya ric. Ibumu ingin agar Naina segera hamil, karena itu kami melakukan segala upaya, dan rupanya membuahkan hasil," ucap Dani.
"Membuahkan hasil? Apa maksudmu?"
"Perkenalkan ini Dokter Johan, dia sudah melakukan penelitian tentang kasus yang dialami Naina, dan akhirnya Dokter Johan yakin bisa membuat Naina hamil dengan inseminasi."
"Apa?" Aaric nampak kaget.
"Dokter Johan ada metode tersendiri yang memungkinkan inseminasi bisa dilakukan pada Naina dan peluang hamilnya juga besar, karena ibumu ingin agar Naina hamil maka kami meminta izinmu untuk melakukan inseminasi."
"Tidak. Aku tidak setuju," ucap Aaric dengan lantang sambil berdiri.
"Tapi Nak. Kenapa?" tanya Winda kaget.
"Bukannya kamu juga ingin agar Naina segera hamil?" tanya Winda lagi.
"Ingat Nak jika Naina harus segera hamil demi Nenek."
"Aku akan segera membuat Naina hamil dengan caraku, lupakan proses inseminasi buatan itu mulai sekarang, jangan membahasnya lagi." Aaric berjalan mendekati pintu lalu pergi meninggalkan ruangan dengan marah.
Winda dan Dr. Dani juga Dr. Johan tertawa geli.
"Ide bagus, sekarang giliran Naina yang harus kita kerjai," ucap Winda menahan senyumnya