Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Dasar Mereka
Siapa yang harus menghubungiku sekarang?
Getar ponsel yang diletakkan di atas meja menimbulkan bunyi aneh, bunyi yang berhasil membuat konsentrasiku menjadi buyar. Materi yang sedang kubahas rasa-rasanya berserakan di dalam otak. Aku sangat tidak suka jika diganggu saat mengajar.
Namun, karena benda itu terus saja bergetar, aku akhirnya menyerah. Setelah meminta maaf kepada mahasiswa yang ada di dalam kelas dan meminta mereka untuk melanjutkan diskusi, aku ke luar dengan membawa ponselku. It’s better a good news.
Telepon dari Bang Rian.
Aku menatap layar, dua belas panggilan tak terjawab dari nomor abangku itu. Sebaiknya telepon ini bukan hanya karena masalah persiapan pernikahannya saja, ya. Bukannya aku mau bilang kalau urusannya tidak penting, akan tetapi dia juga harus mengerti posisiku saat ini. Aku sedang bekerja, tidak mungkin aku akan ada setiap kali dia menginginkan bantuanku.
But, dang it. Aku be ci terdengar seperti seseorang yang tidak tahu terima kasih seperti yang baru saja kulakukan.
Aku menyentuh tanda panggil untuk menghubungi nomornya lagi. Bang Rian sekonyong-konyongnya menjawab dalam deringan pertama. “Dek!” serunya dengan kegirangan yang sangat tidak biasa.
How on earth can he be that excited?
“Iya, what's up? Aku lagi ngajar, Abang, enggak bisa angkat telepon tadi. Ada apa Abang menghubungi aku berkali-kali? It’s better for a good reason.” Aku masih berusaha menahan kekesalanku. Seminggu sebelum pernikahan bisa jadi waktu yang sensitif bahkan bagi calon mempelai pria.
“Ngg ... sorry, sorry. Abang tahu, Dek, tapi ada yang mau Abang omongin. Ngg .... Penting. Tapi, Abang gak tahu mulai dari mana. Eh, aduh, gimana ya?” Di seberang sana Bang Rian terdengar ragu-ragu dengan ucapannya sendiri.
Sudahi saja, Kayra, daripada kamu ngamuk dan Bang Rian jadi ngambek atau tersinggung. No time for that now. Ada empat puluh orang yang sedang menunggu kehadiran kamu untuk melaksanakan tugas sebagai seorang pengajar. Jangan terbiasa makan gaji buta begini, deh! “Abang, kalau gitu kita bahas di rumah aja, ya? Atau kalau penting banget, aku telepon Abang lagi kalau aku udah enggak terlalu sibuk. Aku sekarang lagi ada kelas, setelah ini aku kosong. Aku bakal telepon Abang satu jam lagi. Oke?” Aku langsung memutuskan sambungan tanpa mendengar jawaban dari Bang Rian.
Sorry, Bang, but I had to do that.
Pernikahan Bang Rian dan Mimi akan dilaksanakan pada hari Jum’at depan. Setelah itu resepsi pertama di rumah mempelai wanita pada hari Sabtu, sedangkan resepsi kedua pada hari Senin akan dilaksanakan di rumah kami. Jadi empat hari kerja cutiku terbentang dari hari Kamis sebelum akad hingga hari Selasa setelah resepsi. Begitu juga dengan Ghani. Dia berhasil meluangkan waktu seperti permintaan si mempelai pria yang cerewetnya minta ampun itu dengan konsekuensi harus lebih sibuk di minggu sebelumnya.
Padatnya jadwal Ghani membuat kami tidak bisa bertemu langsung dalam dua minggu ini. Kenyataan yang membuat hari-hariku menjadi semakin tidak menyenangkan. Dia akan berada di kelas seharian, setelah itu melanjutkan penelitiannya di labor atau kembali berkutat dengan laptopnya di rumah sampai waktu yang hanya Tuhan yang tahu. Hingga akhirnya dia berhasil mencuri waktu untuk melakukan panggilan video denganku, satu hari sebelum cuti.
“Ghani, itu benaran kamu apa enggak, sih? Kok?” Terdengar agak kasar untuk kalimat pertama sebuah percakapan memang. Namun, kalau kau ada dalam posisiku saat ini, (mungkin) kau akan mengatakan hal yang sama. Perhatikan saja lingkaran hitam dan kantung mata itu. Dalam dua minggu dia benar-benar sudah berubah jadi mirip panda.
Ghani mencibir ke layar. “Guess who?” Meski penampilannya berubah seratus delapan puluh derajat, akan tetapi selera humornya masih saja sama garingnya.
Aku tertawa untuk sesaat, akan tetapi seketika jadi merasa bersalah kepada pemuda itu. “aku minta maaf karena kamu harus melalui semua ini cuma demi hadir di nikahannya Bang Rian. Lagian dia kenapa pakai acara maksa segala, sih? Bikin malu banget. Udah gede gitu juga masih aja,”
repetku.
“Apa, sih, kamu? Kenapa harus minta maaf segala, hm? Gak ada yang harus dimaafkan. Aku juga pengen ada di sana buat kamu dan si Rian pas hari itu. So? Eh, aku udah selesai, nih. Ke luar, yuk! Kayaknya aku perlu makan malam yang benar sebelum berangkat besok, buat isi tenaga. Dua minggu cuma makan apa yang diantar sama tukang ojek bikin aku hampir senewen.”
****
Setelah menyelesaikan kelasku hari itu, aku langsung mengganti pakaian dan menghubungi Ghani. Kami memutuskan untuk berangkat menggunakan mobilku sementara mobilnya akan dititipkan di rumah salah seorang rekan. Kemudian kami menuju rumah makan untuk makan malam. Ponselku berbunyi saat kami sedang menyantap hidangan. Chat di grup Teletubbies.
Lulu : Kaaaaay, kami udah standby di rumahnya Mimi yaaaa
Anggre : Mimi ketahuan banget groginya
Anggre : bentar-bentar ngomong gak jelas
Anggre : haha
Mimi : si Anggre ngeledek
Mimi : kita liat besok dia mau nikah groginya kayak gimana
Mimi menambahkan emoji mencibir di belakang pesan yang dikirimnya.
Wide : jadi berangkat hari ini kan, Kay?
Wide : hati-hati ya.
Aku bisa membayangkan bagaimana keadaan mereka saat ini. Mereka akan berada di kamar Mimi yang sibuk membahas hal-hal tidak penting, sementara Anggre akan menggodanya dan Mimi balas meledek. Kemudian Lulu akan marah karena suara mereka mengganggu Rindu yang sedang tidur. Atau kalau Rindu sedang terjaga, Wide akan bermain bersamanya sambil mengharapkan Lulu, Mimi, dan Anggre berhenti saling menggoda. Ah, aku rindu mereka.
Me : miss you so much, kakaaaaaks
Me : sayang banget enggak bisa ikut nginap bareng di sana huhuhu
Me : iya, ini mau berangkat bareng Ghani
Me : can’t wait to meet you guys soon
Mimi : Ciyeee, yang bareng Ghaniii
Mimi : bentar lagi ada yang bakal nyusul nih
Dia mencibir lagi.
Aku menggeleng. Dasar Mimi.
Me : jangan mulai deh Mi
Wide : akhirnya ketemu juga sama si Tuan Ghani ini
Wide : pinisirin kita tuuuh
Lulu : yeeee Tante Kakay pulang sama pacarnyaaaa
Anggre : Kaaaaay
Aku tertawa menyimak pembicaraan mereka yang sudah mulai tidak jelas itu.
“Kenapa, Kay?” Ghani yang sudah menghabiskan makanannya bertanya.
“Ah, enggak, Ghan. Anak-anak pada chat. Katanya mereka udah gak sabar pengen ketemu sama kamu.” Aku kembali menyantap makananku.
Ghani lantas menyeka tangannya dengan tisu. “Aku harap Juno enggak marah sama aku kalau aku nanti yang jadi pusat perhatian,” ucapnya dengan senyum setengah jadi yang menggantung di bibir.
Aku memutar bola mata membalas komentar narsisnya. Dasar Ghani.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️