kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..
berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.
hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
koma
Sebulan berlalu begitu saja sejak Axel melamar Rara. Hari-hari mereka dipenuhi persiapan sederhana, sekaligus kerinduan akan tanah air. Hingga suatu sore, saat mereka menikmati teh di taman belakang mansion, Axel memecah keheningan.
"Sayang," Axel menatap mata Rara lekat, ada sedikit keraguan di nada suaranya, "Mas punya rencana untuk kita kembali ke Indonesia. Bagaimana menurutmu?"
Mata Rara langsung berbinar. Senyumnya merekah lebar. "Sungguh, Mas? Tentu saja! Rara juga ingin sekali ziarah ke makam Nenek. Sudah lama sekali." Suaranya sarat kegembiraan yang tak bisa disembunyikan.
Tak butuh waktu lama, segalanya disiapkan. Beberapa hari kemudian, jet pribadi yang mereka tumpangi membelah langit, membawa pulang sepasang kekasih itu.
Mendarat mulus di landasan pribadi, udara Jakarta yang khas, sedikit lembap dan beraroma kota, langsung menyapa penciuman Rara.
Rico, asisten pribadi Axel, sudah menunggu di dekat tangga pesawat dengan senyum ramah. "Selamat datang kembali, Tuan. Selamat datang, Nyonya," sapanya sopan sembari membukakan pintu mobil mewah yang terparkir tak jauh.
Saat mereka baru saja duduk dan mobil mulai bergerak, ponsel Axel di saku jasnya berdering.
Dahi Axel mengernyit dalam saat melihat nama penelepon di layar ponselnya: nomor tak dikenal dari mansion Omanya. Jantungnya berdebar tak enak.
Ia segera mengangkat. "Ya, ada apa?" Suara Axel terdengar tegang.
"Tuan Axel! Maafkan saya mengganggu, tapi Nyonya Besar sakit, Tuan!" Suara maid itu terdengar panik dan sedikit terengah-engah dari seberang telepon. "Saya sudah membujuknya ke rumah sakit, tapi Nyonya Besar terus menolak. Dia tidak mau makan, Tuan!"
"Apa?! Baiklah, saya segera ke sana!" Tanpa menunggu jawaban, Axel langsung memutuskan sambungan. Wajahnya pias. "Rico, putar balik sekarang juga! Ke mansion Oma! Oma sakit!" Suaranya tegas, ada nada cemas yang sulit disembunyikan.
Rara, yang duduk di sampingnya, langsung merasakan aura tegang. Ia menyentuh lengan Axel. "Ada apa dengan Oma, Mas? Kenapa mendadak sekali?" tanyanya, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Axel menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Oma sakit, sayang. Maid sudah membujuknya ke rumah sakit, tapi Oma selalu menolak," jelasnya, suaranya kini lebih pelan, sarat kekhawatiran.
"Rico," Rara menoleh ke depan, "apa kamu tidak tahu Oma sakit?"
Rico melirik dari kaca spion, raut wajahnya tampak menyesal. "Maaf, Nyonya. Saya sudah tiga hari ini tidak bertemu Nyonya Besar. Terakhir kali beliau ke kantor untuk menanyakan Tuan Axel, itu pun sebentar."
Selama perjalanan menuju mansion, suasana di dalam mobil terasa mencekam. Kekhawatiran membayangi wajah Axel, dan Rara ikut merasakan kegelisahan yang sama.
Akhirnya, mobil memasuki gerbang dan berhenti tepat di depan mansion.
Gerbang mansion yang megah terbuka lebar, seolah menelan mobil mereka. Begitu tiba di teras, para maid sudah berjejer rapi, menyambut dengan raut khawatir. Rara membalas senyum mereka sekilas, namun fokus Axel hanya satu: sang Oma.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, Axel menarik tangan Rara, melangkah cepat menuju kamar Omanya di lantai dasar. Jantungnya berdebar kencang, firasat buruk menggelayuti. Begitu pintu terbuka, pemandangan di depannya membuat darah Axel seolah berhenti mengalir.
"Oma!"
Sosok ringkih itu tergeletak tak berdaya di lantai dingin, di samping tempat tidur. Wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal. Axel langsung berlutut, dengan gerakan panik namun sigap, ia mengangkat tubuh Oma yang terasa ringan itu ke dalam gendongannya.
"Rico! Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang juga!" Suara Axel bergetar, memerintah dengan nada paling mendesak yang pernah Rico dengar.
Dengan Oma dalam gendongan, Axel bergegas keluar kamar, diikuti Rara yang membeku ketakutan. Rico sudah membuka pintu mobil, dan Axel dengan hati-hati membaringkan Oma di kursi belakang.
Di dalam mobil yang melesat membelah jalan, Rara meraih tangan Axel yang gemetar. Ia menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan ketenangan di tengah kepanikan yang menyesakkan.
Dengan deru mobil yang nyaris tanpa henti, mereka akhirnya tiba di lobi rumah sakit. Axel dan Rara langsung keluar, menopang Oma yang sudah terbaring lemah. Di sana, Dokter Mark, dengan raut wajah serius, sudah menunggu di ambang pintu gawat darurat.
"Cepat! Segera dorong brankar ke dalam, Suster!" perintah Dokter Mark dengan suara tegas, sambil menunjuk ke arah ruang tindakan.
Axel dan Rara nyaris berlari, langkah mereka terburu-buru mengikuti pergerakan Dokter Mark dan para perawat yang mendorong brankar Oma menuju lorong yang remang-remang. Kekhawatiran mencekik mereka, setiap detik terasa begitu berharga.
Tepat di tengah kepanikan itu, ponsel Rico di saku jasnya tiba-tiba bergetar, menarik perhatiannya. Ia melirik sekilas layar, nama "Tony" terpampang di sana. Rico segera menjauhkan diri sedikit, mengangkat telepon, dan berbisik.
"Ada apa, Tony?" Suaranya terdengar tegang, namun Rico berusaha menyembunyikannya dari Axel dan Rara.
"Maaf, Tuan," suara Tony dari seberang telepon terdengar tergesa, "Kami baru saja mengamankan seorang pria mencurigakan. Dia tertangkap basah mengintai di sekitar area markas utama."
Rico menghela napas. "Baik, tahan dia di ruang isolasi bawah tanah. Saya tidak bisa kembali ke sana sekarang. Pastikan tidak ada yang tahu, dan amankan semua data."
"Siap, Tuan." Panggilan terputus. Rico menyimpan ponselnya, wajahnya kembali tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, secercah kekhawatiran terpancar di matanya, sesaat sebelum kembali mengikuti Axel dan Rara yang menghilang di balik pintu UGD.
Rico melangkah mendekat, tubuhnya merapat ke Axel, lalu berbisik pelan di telinga sang Tuan. "Maaf, Tuan, ada mata-mata yang mengintai markas kita. Sudah berhasil ditahan oleh Tony."
Axel hanya mengangguk samar, rahangnya mengeras. Fokusnya masih sepenuhnya pada pintu di depannya. Berita tentang penyusup itu terasa begitu jauh dibandingkan dengan kekhawatiran yang kini menggerogoti hatinya.
Tiga puluh menit terasa seperti keabadian. Setiap denting jam, setiap langkah kaki perawat di koridor, semakin menambah beban di dada Axel. Rara berdiri di sampingnya, tangan mereka bertautan erat, saling menyalurkan kekuatan dalam keheningan yang menyesakkan. Dokter Mark masih belum keluar dari ruang tindakan.
Tiba-tiba, suara "cekrek" pintu terbuka memecah keheningan. Dokter Mark melangkah keluar dengan bahu merosot dan raut wajah yang begitu memprihatinkan, seolah membawa beban berat di pundaknya. Sorot matanya langsung menyiratkan kabar buruk.
Axel melangkah maju, napasnya tertahan. "Bagaimana keadaan Oma, Mark?" Suaranya nyaris berbisik, takut mendengar jawaban.
Dokter Mark menatap Axel dengan pandangan sendu. "Maaf, Axel..." ia memulai, suaranya berat. "Ginjal Oma tidak berfungsi separuh. Kondisinya... sekarang beliau koma."
Kata-kata itu menghantam Axel bagai petir di siang bolong. Seketika, kakinya terasa lemas, ia terhuyung mundur, wajahnya memucat pasi. Dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Rara dengan sigap memeluk tubuh Axel yang limbung, menggenggam erat lengannya, mencoba menopang dan menguatkan pria itu di tengah badai kesedihan yang tiba-tiba menerjang. Air matanya sendiri mulai menggenang.
Axel melangkah masuk ke ruang ICU, jantungnya mencelos melihat pemandangan di depannya. Di balik dinding kaca, di antara tabung-tabung dan monitor yang terus berbunyi, terbaring tubuh ringkih Omanya. Kabel dan selang terpasang di mana-mana, seolah menopang kehidupan yang kini terasa begitu rapuh.
Dengan langkah berat, Axel mendekati ranjang. Tangannya gemetar saat meraih dan menggenggam jemari Oma yang terasa dingin dan kurus. Ia menunduk, menyembunyikan getar bibirnya.
"Oma... ini Axel," bisiknya, suaranya tercekat. "Katanya mau ketemu, tapi kenapa Oma malah sakit seperti ini? Axel sudah bilang, kan, kalau Axel ingin membawa calon istri ke hadapan Oma... sekarang Axel sudah membawanya. Cepat bangun ya, Oma."
Axel membawa punggung tangan Oma ke bibirnya, menciumnya perlahan, sangat perlahan. Di sana, di tengah aroma antiseptik rumah sakit dan dentingan alat medis, Axel berharap keajaiban datang, berharap bisa melihat senyum Omanya lagi, mendengar tegur sapa hangatnya. Air mata yang selama ia tahan kini mendesak keluar,membasahi punggung tangan tua itu.
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu