Khanza dan Roland, sepasang insan yang saling mencintai, Karena Fitnah, Roland menyakiti Khanza, saat Roland menyadari kesalahannya, dia sudah terlambat, Khanza telah pergi meninggalkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darmaiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlambat
Assalamualaikum
Author datang lagi nih.
"Jangan bilang nasi yang sudah jadi bubur, tidak enak disantap, jika dikasih sueran daging ayam, akan jadi bubur ayam."
By Rajuk Rindu
💖💖💖💖
Laila masuk ke villa, seperlima menit kemudian dia keluar dengan menenteng sebuah tas keperluan Nayra dan kotak P3k, lalu masuk ke mobil Roland, di sana Heru dan Nayra sudah menunggu, Roland menghidupkan mobil, meluncur meninggalkan puncak. Di dalam mobil Laila mengobati luka-luka suaminya, bekas pukulan Roland.
“Ma, Nayra lapar.” Terdengar suara Narya, setelah dua jam perjalanan.
“Iya sayang, kamu tahan ya, sebentar lagi kita sampai.” Ujar Laila membujuk putrinya.
Roland yang mendengar ucapan Nayra, mendadak jadi lapar juga, dia melirik jam dipergelangan, sudah menunjukkan pukul tiga sore, wajar kalau dia juga merasa lapar, karena dari pagi perutnya pun belum berisi apa-apa.
“Kok berhenti?”
“Kita singgah makan dulu tante.”
“Nayra masih kuatkan sayang, kalau kita makannnya di Jakarta saja?”
“Iya, Ma!” jawab Nayra mengangguk.
“Nayra kuat, tapi saya tidak tante.” Ucap Roland, dia harus makan, agar dia bisa kuat menyetir sampai ke Jakarta.
“Ayok tante, bawa Nayra turun.” Ajak Roland, Roland tidak tega melihat wajah Nayra, apa lagi Laila, dia sedang hamil besar, pasti butuh makan, agar dia bisa lebih kuat.
Mereka turun, memerasan makan, setelah selesai makan, mereka kembali ke mobil, beberapa menit di dalm mobil Nayra pun tertidur, mereka melanjutkan perjalanan, dua jam kemudian sampai ke Jakarta. Dan mobil yang dibawa Roland berhenti di depan Apartement.
Setelah memarkir mobil, Roland turun diiiringi Heru, Laila dan Nayra menuju lift. Sepermenit berikutnya, sampai di depan pintu aparteman. Roland memasukkan konde, pintu pun terbuka.
“Khanza! Khanza!” teriak Roland begitu masuk, terus membuka pintu kamar Khanza, Khanza tidak ada, Roland bergegas ke dapur, namun Khanza juga tidak ada.
“Khanza! Kamu di mana.” Batin Roland.
Roland merogoh saku celana dan mengambil ponselnya, mencari nomor kontak Khanza, dan menggeser gagang telpon yang berwarna hijau, memanggil nomor Khanza.
Tut…tut…tut, panggilan tak terhubung, nomor Khanza tidak aktif.
“Bagaimana kalau kita ke kantor saja.” Usul Laila saat melihat Roland panik.
“Tante tunggu di sini saja, biar aku yang ke kantor.” Ujar Roland, dia tidak tega melihat Laila yang harus turun naik membawa perut buncit.
“Tapi, tante mau ketemu Khanza.”
“Iya, tante di sini saja, aku tak tega lihat tante turun naik.”
“Nggak apa-apa, tante masih kuat kok.”
“Serius tante masih kuat?” Tanya Roland, dia khawatir kalau Laila akan kelelahan.
“Iya.” Ujar Laila mengangguk, seraya meyakinkan Roland.
Akhirnya mereka turun kembali dari apartement, menuju parkir dan masuk mobil, mobil pun meluncur kembali menuju kantor Khanza.
“Auuu, sakit, Pa!” baru sepuluh menit mobil meluncur, terdengar suara Laila kesakitan, sambil memegangi perutnya.
“Kenapa ma?” Tanya Heru saat mendengar Laila mengeluh.
“Sakit Pa, sepertinya mama mau lahiran.” Ujar Laila terbata.
“Tante kenapa, Om.” Tanya Roland.
“Mungkin mau lahiran.” Sahut Heru mulai panik.
“Roland antar tentemu ke kelinik dulu.” Ujar Heru lagi
“Iya, Om, kita ke ruamh bersalin saja.” Ujar Roland seraya memutar balik mobilnya.
“Sakit pa! sakit banget.” Ringis Laila seraya meremas lengan suaminya.
“Bertahan ya, Ma! Sebentar lagi, kita sampai.” Ucap Heu menenangkan istrinya.
Keringat jagung sudah membasahi dahi Laila, rasa sakit di perutnya semakin melintir, kadang berhenti kemudian datang lagi, saat rasa sakit itu datang, dia kembali meremas lengan suaminya dengan kuat, dan Heru dengan setia mengelap keringat yang membanjiri kening istrinya.
Dua puluh menit kemudian mobil berhenti di salah satu rumah bersalin. Roland memarkir mobil, lalu turun, membuka pintu untuk Laila dan Heru, Heru turun memapah istrinya yang sudah tidak berdaya. Sementara Roland menggendong Nayra.
“Sus! Suster!” teriak Heru, saat melihat tubuh Laila melorot ke lantai, spontan Heru menggendong tubuh Laila, dan menaikannya ke brankar yang di bawa salah satu perawat.
Dua orang perawat menolong Laila, kemudian mendorong brankar ke ruang IGD.
“Tuan tunggu di luar saja.” Ujar salah satu suster..
Heru membalikkan tubuhnya, mencari sosok Roland dan Nayra, Roland dan Nayra duduk di kursi tunggu yang tidak jauh dari ruang IGD.
“Roland, pergilah ke kantor Khanza.”
“Bagaimana dengan tante Laila?”
“Om bisa menjaganya.”
“Nayra?”
“Biar Nayra bersama om saja.”
“Baik lah kalau begitu.” Kata Roland, lalu pamit kembali ke parkir.
Mobil yang dikendarai Roland meluncur meninggalkan rumah bersalin, mobil melaju membelah jalan raya, Roland memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hanya butuh dua puluh menit dia sudah sampai ke kantor Khanza.
“Selamat sore, Tuan.” Sapa scurity begitu Roland menepikan mobilnya dan turun.
“Apa kantornya sudah tutup pak?”
“Iya, Tuan! Sudah waktu istirahat, para karyawan sudah pada pulang.”
“Sudah jam lima, Tuan.” Ujar scurity mengingatkan, seraya melirik pergelangannya.
Sekilas Roland melirik jam di tangannya, benar! sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit. Roland pun pamit dan dia kemabali mobil, meluncur ke apartement. Sampai di apartement, dia bergegas naik.
Klil, pintu terbuka. Suasana apartementnya masih seperti tadi.
“Khanza! Khanza!” Roland berkali memanggil nama Khanza dan masuk ke kamarnya. Khanza tidak di temukan.
Dret...., Roland membuka kamar mandi, kamar mandinya kering, tidak ada tanda-tanda habis dipakai. Roland kembali ke luar dan turun dari apartement.
“Pak! Apa bapak ada melihat nyonya Khanza pulang dari kantor?” Roland bertanya pada scurity apartement.
“Tidak tuan!”
“Oh, baik lah, terima kasih.”
“Tapi tuan…”
“Ada apa pak?” Roland membalikkan tubuhnya, kembali menghadap ke arah scurity
“Tadi pagi saya melihat nyonya Khanza pergi membawa travel bag dan dia menangis.
“Apa? Apa benar dia yang kamu lihat?” Tanya Roland sambil mencekal bahu scurity.
“Iya.” Jawab scurity mengangguk.
Mendengar keterangan dan jawaban satpam, spontas Roland membalikkan tubuhnya, dia kembali ke atas. Dan masuk ke kamar Khanza. Drekkk … pintu lemari Khanza terbuka, hanya tinggal bebrapa helai bajunya.
“Khanza, kamu ke mana?” Roland menarik selembar baju Khanza yang terlinggal, lalu di remas dan dibawanya kedalam dekapan.
“Maafkan mas, Khanza!, hiks. Hiks, hiks.” Tubuh Roland melorot di lantai, dia menangis terisak, hingga tubuhnya tergoncang.
“Khanza, kamu tidak boleh pergi.” Teriak Roland.
“Mas mencintaimu, hiks, hiks, hiks.” Suara Roland semakin lirih.
“Ahggg.” Roland menarik selimut yang tergeletak begitu saja di tempat tidur, lalu mengambil bantal.
“Prakkkk.” Dia melemparkan bantal itu, kemeja rias Khanza, hingga beberapa botol farpum berjatuhan.
Roland menyesali perbuatannya selama ini. Bayangan wajah Khanza yang setiap hari hanya dihiasi butiran air mata. Melintas mondar mandir di memorinya. Roland memukul-mukul kepalanya berulang.
Rifal yang baru tiba ke apartemen, mendengar suara ribut di kamar Khanza, segera melangkahkan kaki ke sumber suara, ingin mengetahui apa yang terjadi.
“Bos! Ada apa ini?” Rifal berjongkok mensejajari Roland.
“Khanza pergi meninggalkanku, hiks, hiks, hiks.”
“Sejak kapan bos menangisi seorang perempuan?” gumam Rifal.
“Diam kau! Kau tak tahu begitu berartinya Khanza untukku.”
“Kalau memang nyonya Khanza sangat berarti bagi tuan, ayok kita cari dia.”
“Tapi dia sudah pergi.”
“Bos, bisa memaksanya kembali, apa yang tidak bisa bos lalukan, aku bisa mengarahkan orang-orang untuk mencarinya.”
“Tidak Rifal! Aku ingin dia kembali dengan cintanya.”
Sejurus Rifal menatap tajam mata bosnya, baru kali ini dia melihat Roland begitu terpuruk, Rifal menarik napas panjang, lalu merengkuh bahu Roland, dan mengajaknya duduk di tepi ranjang.
“Hebat sekali wanita itu, bisa membuat Roland begitu sedih. Kalau dilihat dari fisik masih seksi Agnis dari Khanza.” Batin Rifal.
“Lebih baik sekarang bos bersihkan diri, lalu kita cari nyonya Khanza bersama-sama.” Ujar Rifal berusaha membuat bosnya lebih tenang.
“Aku tunggu bos di luar ya.” Ujar Rifal lagi, lalu ke luar meninggalkan Roland sendiri.
Roland beranjak, turun dari temapat tidur Khanza dari pecahan botol farpum yang berserakan di lantai, ada secarik kertas, Roland meraih kertas itu, tulisan tangan Khanza.
Dear Roland. Tertulis di lembaran paling depan.
Deg.. jangtung Roland seakan mau copot.
Ke mana Khanza pergi?
Yuk ikuti part berikutnya
💖💖💖💖
Jangan lupa dukung author dengan cara tekan like.
Terima kasih🙏🙏
hiks... hiks...
terimakasih thor, sukses selalu
anakx Ranti miece