Viviana tidak menyangka jika hubungannya dengan Johan akan terhalang dengan perjodohan. Ia harus menikah dengan Raffi, putra tunggal rekan bisnis Ayah angkatnya.
Johan yang mengetahui perjodohan itu kemudian terpaksa melepaskan Vivi.
Pahit yang Vivi rasakan saat Ayahnya jatuh sakit dan meminta dirinya untuk segera menikah. Mereka terpaksa menikah di rumah sakit karena kondisi Ayah yang kritis.
Malangnya Ayah meninggal dunia. Pernikahan Vivi pun di ambang kehancuran karena Vivi begitu terpukul dan mengabaikan Raffi sebagai suaminya.
Bagaimana nasib pernikahan Vivi dan Raffi selanjutnya?
Selamat membaca! Jangan lupa like dan komennya ya?
Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sity Qhomariah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali
Raffi keluar dari mobil kemudian berlari menuju ke arah mobil yang tadi. Ia mengenali mobil tersebut. Kemudian ia mengetuk kaca jendela mobil tersebut. ‘Tuk tuk tuk’, kaca mobil itu terbuka perlahan.
“Vi, kamu gak apa-apa?!” katanya panik.
“Hah?!” Vivi malah kaget melihat Raffi ada di situ. Ia melongok ke arah mobil yang hendak ia tabrak tadi kemudian beralih menatap Raffi. Ia menunjuk Raffi dengan ekspresi bingung.
“Iya, itu mobil aku. Kamu ga terluka, kan?” Raffi memperhatikan Vivi dengan seksama. Vivi syock, ia hanya terdiam dengan ekspresi bingung.
“Ya udah aku antar kamu pulang, ya.” Raffi berlari ke arah mobilnya. Setelah mengamankan mobil, ia segera menuju ke mobil Vivi. Ia menarik Vivi keluar dari kursi kemudi dan mendudukkan Vivi di kursi sebelahnya. Ia masuk ke mobil dan mengemudikan mobil tersebut.
Vivi yang masih syock dan bingung pun hanya terdiam, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menoleh ke arah Raffi dan menatapnya dengan penuh tanda tanya saat Raffi membelokkan mobilnya ke sebuah tempat yang ia pernah kenal.
“Kok ke sini? Bukannya pulang ke rumah?”
“Di sini rumah kita.” Raffi memarkirkan mobilnya di basement. Kemudian mengajak Vivi keluar.
“Aku mau pulang.”
“Kita udah sampai rumah.”
“Rumahku bukan di sini.”
“Rumah kita di sini. Masa kamu lupa.”
“Aku gak mau di sini.”
“Ayolah, Vi.”
“Tapi,” Vivi masih terus menolak namun rasa syock setelah kecelakaan tadi membuatnya tak berdaya untuk memberontak, sehingga ia memilih untuk pasrah. Raffi menggandeng tangannya dan membimbingnya masuk ke apartemen mereka yang berada di lantai atas.
Vivi duduk di sofa ruang tamu dengan perasaan canggung. Ia ingat pernah melihat apartemen itu sekali sebelum mereka menikah. Seharusnya mereka sudah tinggal di apartemen ini namun kepergian Papa yang merubah rencana itu.
“Istirahatlah di sini, terserah kamu mau ngapain, ini rumah kita jadi kamu bebas di sini seperti di rumah sendiri.” Kata Raffi.
“Aku capek.” Wajah Vivi terlihat pucat dan lemas.
“Ya udah kamu tidurlah, aku akan membuat masakan untukmu, nanti aku akan bangunkan kamu jika sudah selesai,” katanya sambil menunjukkan kamar untuk beristirahat. Vivi segera masuk ke dalam kamar, menutupnya kemudian membaringkan badannya disana. Raffi segera keluar dari apartemen untuk membeli bahan-bahan masakan di supermarket yang letaknya tidak jauh dari apartemen.
Satu jam kemudian, Vivi mencium aroma wangi masakan dari arah dapur. Ia membuka matanya.
“Hmm wangi, jadi makin laper,” gumamnya dalam hati. Tiba-tiba terdengar suara pintu di ketuk. Sesaat kemudian pintu itu terbuka.
“Vi, masakan udah siap. Kamu udah lapar?” Vivi tak menjawab pertanyaan Raffi padahal perutnya sudah sangat keroncongan.
“Ya sudah, aku tunggu di meja makan.” Raffi menutup pintu kamar itu kembali. Vivi mendengus kesal.
“Hhh segitu doang usahanya.” Ia kesal. Kemudian bangkit dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Ia melihat Raffi sedang menyiapkan piring di meja makan. Vivi berjalan menghampiri.
“Duduklah.” Raffi mempersilahkan kemudian ia menyajikan makanan kepada Vivi. Vivi menyuapkan satu sendok makanan ke mulutnya. Mengunyahnya perlahan dan merasakan makanan itu.
“Enak.” Gumamnya pelan namun terdengar di telinga Raffi. Raffi menyengir, rasa senang yang tak terkira tatkala masakannya di puji oleh orang yang ia cintai.
“Kalau kurang, aku masakin lagi.”
“Emang aku serakus itu.” Jawab Vivi. Raffi tertawa kecil.
Selesai makan, Vivi duduk di sofa ruang tamu. Raffi masih sibuk mencuci piring. Setelah selesai mencuci piring, Raffi menghampiri Vivi dan duduk di sebelahnya.
“Aku mau pulang, deh.”
“Kenapa buru-buru?”
“Kenapa gak tinggal di sini aja,”
“Rumah Papa kosong kalo aku tinggal di sini.” Raffi terdiam.
“Jadi kamu tinggal di sini?” tanya Vivi kemudian. Raffi mengangguk. Raffi melirik ke jari-jari tangan Vivi. Keningnya berkerut.
“Cincin kamu mana?” Vivi spontan melihat ke arah jari-jarinya.
“Oh, ada.”
“Kenapa di lepas?”
“Oh, kemarin pas aku mandi aku lepas terus aku lupa makainya.” Vivi berkilah. Namun Raffi melihat kebohongan itu dari wajah Vivi. Vivi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian menoleh ke arah Raffi.
“Kita masih suami istri, Vi.” Kata Raffi.
“Ga usah bahas itu, deh.” Sergahnya.
“Kenapa? Ini kesempatan kita untuk menyelesaikan masalah.”
“Jangan paksa aku.” Raffi terdiam. Ia terus memandang Vivi dengan sorot mata tajam.
“Baiklah.” Raffi berdiri dari sofa. Kemudian menyerahkan kunci mobil kepada Vivi.
“Pulanglah jika kamu memang tidak mau tinggal bersamaku.” Vivi terdiam. Di liriknya Raffi sekilas. Kemudian menyambar kunci diitangan Raffi dan bergegas keluar dari apartemen. Raffi jatuh lemas di sofanya. Ia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut hebat.
“Huufft kenapa kamu sekeras itu, Vi.” Keluhnya.
Vivi berjalan menuju basement. Setelah menemukan mobilnya, ia segera masuk. ia menghempaskan badannya di kursi mobil sambil menghela nafas panjang.
“Huufftttt, kenapa tiba-tiba aku ngerasa berat ya ninggalin dia,” ia berpikir sejenak sambil menatap langit-langit mobilnya. Terlintas kembali bayangan saat ia berada di supermarket. Bertemu dengan mantan kekasihnya yang ternyata sudah memiliki tunangan.
“Kenapa aku sekesal ini, sih.” Gerutunya. Ia menghidupkan mobilnya. Saat ia hendak menginjak gas mobil mendadak ia mengurungkannya. Mematikan mobil dan keluar dari mobil kembali menuju apartemen tempat Raffi tinggal. Di depan pintu apartemen, ia ragu untuk memencet bel. Ia berpikir terlalu lama. Kemudian memberanikan diri untuk menekan tombol bel di dekat pintu.
‘Ting Tong’ Raffi yang masih terbaring lesu di atas sofa pun terkejut mendengar suara bel.
“Tumben banget ada yang mau bertamu.” Pikirnya. Kemudian ia melangkah menuju pintu dan perlahan membukanya. Wajah Vivi tersembul di balik pintu. Raffi terkejut.
“Vivi, ada yang ketinggalan?” tanyanya tanpa curiga.
“Ada.” Jawab Vivi singkat.
“Oh, silahkan masuk,” Raffi sedikit kecewa, ia mengira Vivi kembali untuk mengajaknya bersama. Ternyata Vivi hanya akan mengambil barangnya yang tertinggal. Vivi menarik tangan Raffi keluar apartemen, Raffi terkejut.
“Vi, bukannya kamu mau ambil barang yang ketinggalan?”
“Iya,”
“Terus,”
“Ini lagi ngambil.” Raffi bingung. Ia terdiam sambil berpikir.
“Maksudnya?”
“Jadi kamu gak mau aku ajak tinggal di rumah?”
“Hah?! Jadi maksudnya aku diterima lagi, nih?”
“Gak mau ya udah.” Vivi melangkah pergi. Tiba-tiba Raffi memeluknya dari belakang.
“Kok cepet banget sih berubah pikiran.” Langkah Vivi terhenti, ia membiarkan Raffi memeluknya. Setelah Raffi melepaskan pelukannya, ia pun tersenyum.
“Ya udah, ayok pulang.” Raffi mengangguk senang. Ia pun merasa lega karena Vivi sudah mau menerimanya kembali sebagai suaminya.
“Terimakasih, ya.” Vivi hanya tersenyum menjawab kata-kata Raffi.
“I’m sorry,” ucapnya.
“It’s ok.” Jawab Raffi sambil mengusap wajahnya. Mereka pun pulang bersama ke rumah Vivi dengan hati yang tenang tanpa ada beban sedikitpun.
....IHH JENGKEL KU
Maaf baru bisa mampir
udah aku like dan juga fav
Semangat
jangan lupa mampir dikaryaku
Asiyah Aqila