Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dina Memulai Misinya
Di depan cermin kamarnya yang sempit, Dina menatap pantulan dirinya. Ia mengenakan blus putih sederhana dan rok span hitam selutut pakaian yang ia pilih dengan hati-hati, berusaha menampilkan kesan yang sopan namun tetap menarik perhatian. Ia mencoba tersenyum, tetapi yang muncul hanyalah seringai yang kaku dan tidak meyakinkan.
"Kamu bisa, Din. Ini untuk Tante Dinda. Ini untuk Dea," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menyemangati dirinya. Namun, kata-kata itu terasa hambar di mulutnya. Beban tugas yang ada di pundaknya terasa semakin berat.
Sejak percakapannya dengan Tante Dinda, Dina merasa seperti terbelah dua. Satu bagian dirinya ingin menuruti permintaan tantenya, membalaskan dendam Dea, dan membuktikan kesetiaannya. Bagian lain dirinya berteriak, menolak untuk mempermainkan perasaan orang lain, menolak untuk menjadi alat balas dendam. Ia merindukan masa-masa ketika hidupnya sederhana dan tanpa beban.
Hari ini, Dina akan memulai misinya. Ia akan mendekati Eri, pria yang bertanggung jawab atas kematian Dea, pria yang harus ia buat percaya padanya. Ia tahu bahwa ini adalah tugas yang sulit, bahkan mungkin mustahil. Ia tidak pernah berbohong atau berpura-pura sebelumnya. Ia selalu jujur dan apa adanya. Terlebih lagi, membayangkan harus berinteraksi dengan orang yang telah menyebabkan penderitaan besar bagi keluarganya membuatnya mual.
Dengan langkah ragu, Dina meninggalkan kamarnya dan menuju ke kafe tempat Eri biasa menghabiskan waktu setelah kuliah. Ia sudah mencari tahu tentang Eri dari teman-temannya di kampus. Ia tahu bahwa Eri adalah mahasiswa yang populer, cerdas, dan tampan. Ia juga tahu bahwa Eri tinggal bersama ibunya, Henny, seorang wanita yang sangat protektif terhadap putranya. Informasi ini membuatnya semakin gugup, karena ia tahu bahwa Henny akan menjadi penghalang potensial dalam rencananya.
Sesampainya di kafe, Dina melihat Eri duduk sendirian di pojok ruangan, membaca buku. Jantung Dina berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.
"Maaf, apa kursi ini kosong?" tanya Dina, berusaha terdengar setenang mungkin.
Eri mendongak, menatap Dina dengan tatapan bingung. "Kosong. Silakan duduk," jawabnya singkat, lalu kembali fokus pada bukunya. Ia tampak tidak tertarik dengan kehadiran Dina.
Dina duduk di kursi di depan Eri. Ia merasa gugup dan tidak tahu harus berkata apa. Ia memperhatikan Eri dengan seksama. Eri memang tampan, seperti yang dikatakan teman-temannya. Tetapi, ada sesuatu yang membuat Dina tidak nyaman. Mungkin karena ia tahu apa yang telah Eri lakukan, atau mungkin karena ia merasa bersalah karena telah berbohong.
"Saya Dina," kata Dina, mengulurkan tangannya.
Eri mengangkat alisnya, lalu menjabat tangan Dina. "Eri," jawabnya singkat.
"Saya sering melihat kamu di kampus. Kamu sepertinya sangat pintar," kata Dina, mencoba memulai percakapan. Ia berharap Eri akan merespons dengan lebih antusias.
Eri tersenyum tipis. "Lumayan," jawabnya.
Percakapan mereka berlangsung dengan kaku dan canggung. Dina mencoba berbagai topik, tetapi Eri hanya menjawab dengan singkat dan tidak tertarik. Dina mulai merasa putus asa. Apakah ia akan gagal dalam misinya? Apakah Eri akan menyadari bahwa ia sedang mendekatinya dengan maksud tersembunyi?
Tiba-tiba, telepon Eri berdering. Eri mengangkat teleponnya dan berbicara dengan seseorang. Dina tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tetapi ia bisa melihat bahwa Eri tampak kesal.
"Maaf, saya harus pergi. Ada urusan mendadak," kata Eri setelah menutup teleponnya. Ia bangkit dari kursinya dan tampak terburu-buru. "Senang bertemu denganmu, Dina."
Dina hanya bisa mengangguk dan tersenyum tipis. Ia merasa lega sekaligus kecewa. Ia lega karena tidak harus melanjutkan percakapan yang canggung itu. Tetapi, ia juga kecewa karena gagal mendekati Eri.
Saat Eri berjalan pergi, Dina menatap punggungnya dengan tatapan kosong. Ia bertanya-tanya, apakah ia sanggup melakukan semua ini? Apakah ia sanggup menghancurkan hidup seseorang? Apakah ia sanggup mengkhianati hati nuraninya sendiri?
Di tengah keramaian kafe, Dina merasa sendirian dan tersesat. Ia tahu bahwa ia telah memasuki jalan yang berbahaya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang ia tahu, ia harus terus maju, meskipun ia tidak yakin apakah ia akan sampai ke tujuan yang benar, atau apakah tujuan itu benar-benar pantas untuk diperjuangkan.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*