1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.
Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.
Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.
Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.
Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Kesempatan
Dengan tangan gemetar, Pariyem mengambil kain lap, mengelap wajahnya yang masih basah. Lalu membuka laci kecil di meja rias.
Di dalam laci itu ada pisau kecil, pisau tajam yang biasa dia gunakan untuk mengerik anak rambut di dahi atau alis yang tumbuh tidak cantik. Pisau dengan gagang kayu yang sudah dia pakai bertahun-tahun.
Pariyem menatap pisau itu sejenak. Lalu dengan gerakan cepat, dia mengambilnya, menyelipkan di balik kendit, di samping kantong uang. Tersembunyi rapi tapi mudah dijangkau kalau dibutuhkan.
Ia menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan jantung yang berdetak kencang.
Lalu dia keluar, melangkah ke ruang tamu dengan wajah yang dibuat tenang. Tangan kanan ada di dekat tempat dia menyimpan pisau kecil, siap mengambilnya kapan saja.
"Mbakyu," sapanya sopan sambil mengangguk ramah. Lalu duduk di kursi berukir di seberang Juniah.
Tapi tubuhnya tegang. Punggungnya tegak. Tidak bersandar ke kursi. Posisi siaga.
Bisikan-bisikan tentang perempuan-perempuan yang menghilang setelah berseteru dengan Raden Ayu bergema di kepalanya.
Perempuan yang tiba-tiba tidak terlihat lagi. Yang kabarnya "digarong di jalan" dan mati dengan tragis.
Juniah tersenyum, senyum yang kaku. "Minumlah tehnya dulu, Yem. Masih hangat. Enak."
Dagunya menunjuk cangkir di depan Pariyem.
Pariyem melirik cangkir itu. Teh dalam wadah keramik putih. Mengepul tipis. Warnanya … sedikit lebih gelap.
Jauh lebih gelap dari teh di cangkir Juniah yang sudah setengah habis.
Teh Juniah berwarna cokelat muda, warna teh biasa. Tapi teh di cangkir Pariyem berwarna cokelat tua, hampir kehitaman. Seperti ada sesuatu yang dicampur di dalamnya.
Pariyem menatap cangkir itu lebih lama. "Maaf, Mbakyu," ucapnya akhirnya dengan senyum dipaksakan. "Saya baru saja dari kamar kecil. Perut saya tidak enak. Kalau minum sekarang takut mual."
Juniah menatapnya tajam. Senyum di wajahnya memudar sedikit. "Teh ini bagus untuk perut yang tidak enak. Hangat menenangkan."
"Nanti saja, Mbakyu. Nanti kalau perut sudah lebih baik."
Juniah meletakkan cangkirnya dengan gerakan yang sedikit keras. Bunyi tatakan keramik cangkir bertemu kayu terdengar cukup nyaring.
Kesabaran mulai habis. Dia menatap Pariyem dengan tatapan yang berubah, dari ramah menjadi dingin. Tangannya bergerak ke balik lipatan kendit di pinggangnya sendiri, mengeluarkan sesuatu. Kantong kain cokelat.
Dengan gerakan tiba-tiba, dia melemparkan kantong itu. Jatuh tepat di pangkuan Pariyem. Berat. Berisi uang, dari bunyinya yang berdenting, jelas ada banyak koin di dalamnya.
"Pergilah," ucap Juniah dengan suara datar, tanpa emosi. "Pergi dari kehidupan Gusti Bupati. Mulai hidup baru di tempat lain. Jauh dari sini."
Pariyem menatap kantong di pangkuannya. Lalu mengangkat wajah, menatap Juniah dengan tatapan tegas.
"Saya akan pergi, kalau yang menyuruh adalah Gusti Bupati sendiri. Bukan orang lain."
Hening.
Juniah menatapnya dengan mata yang menyipit. Lalu wajahnya berubah. Kehilangan semua keramahan yang dipaksakan tadi. Sekarang hanya tersisa wajah dingin, keras, berbahaya.
"Kau berani melawan perintah Ndoro Ayu?" Suaranya turun menjadi bisikan yang mengancam.
"Saya tidak melawan. Saya hanya—"
"Menyingkirkanmu adalah hal kecil, Yem." Juniah bersandar ke kursi dengan santai. "Kau bukan siapa-siapa. Rakyat jelata. Anak abdi dalem yang tidak punya nama."
Dia tersenyum, senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. "Tergeletak mati di jalan pun polisi tidak akan repot-repot mencari tahu apa penyebab kematianmu. Kalau nasib mujur, mungkin ada warga yang mau memakamkan. Kalau tidak," dia mengedikkan bahu, "paling kau hanya akan digulingkan ke dalam semak. Dibiarkan untuk makanan anjing liar."
Pariyem mencengkeram ujung kursi dengan kuat. Jantungnya berdetak begitu kencang. Tapi dia tidak menunjukkan ketakutan di wajah. Tidak boleh.
"Tapi aku masih berbaik hati," lanjut Juniah dengan nada yang dibuat lembut. "Berbicara baik-baik. Padahal tugas yang diberikan Ndoro Ayu adalah ... langsung melenyapkanmu. Sekarang. Di sini. Tanpa jejak."
Dia menunjuk kantong uang di pangkuan Pariyem. "Tapi aku memberimu kesempatan untuk pergi. Pergi yang jauh. Jangan kembali lagi. Sayangi nyawamu, Yem. Perhiasan dan uang yang selama Ndoro Gusti Bupati berikan sudah cukup untukmu memulai hidup baru. Di Semarang. Atau Surabaya. Atau bahkan Batavia. Terserah. Yang penting jauh dari sini."
Matanya menatap cangkir teh di depan Pariyem. "Atau …," dia tersenyum tipis, "kau bisa minum teh itu. Lalu tertidur dengan damai. Tidak akan terasa apa-apa. Hanya tertidur. Tidak bangun lagi. Tidak ada penderitaan."
Pariyem membeku.
Jadi memang benar. Teh itu beracun.
"Pilihannya ada dua," ucap Juniah sambil bangkit dari kursi. "Pergi dengan uang ini. Atau mati di sini dengan tubuh yang akan dibuang entah kemana."
Pariyem menatap kantong uang di pangkuannya. Otaknya bekerja dengan sangat cepat. Menimbang-nimbang. Menghitung kemungkinan.
Kalau dia tidak pergi, dia mati. Di sini. Malam ini. Mayatnya akan dibuang entah kemana. Tidak ada yang akan mencarinya. Tidak ada yang akan peduli. Dia tak punya orang dekat selain Soedarsono.
Kalau dia pergi ... setidaknya masih ada kesempatan. Masih ada harapan untuk bertahan hidup. Untuk melihat Pramudya lagi suatu hari nanti.
Ya. Tujuannya sekarang adalah menyambung nyawa dulu. Bertahan hidup. Sisanya bisa dipikirkan kemudian.
Pariyem mengangkat wajah, menatap Juniah dengan tatapan yang dibuat pasrah. "Saya ... saya akan pergi."
Tangannya meraih kantong uang itu, menggenggamnya erat. "Saya akan pergi sekarang juga. Jauh dari sini."
Juniah langsung tersenyum, senyum lebar yang penuh kemenangan. "Bagus. Aku tahu kau pintar, Yem. Dan licik tentunya. Kalau tidak, tidak mungkin kau bisa sampai ke ranjang Gusti Bupati dan bertahan sejauh ini. Perempuan sepertimu memang tahu cara bertahan hidup."
Pariyem hanya diam, tidak membalas. Hanya menatap lantai dengan wajah yang dibuat menyerah.
"Nasihatku. Jauhi kadipaten ini. Sejauh mungkin. Pergi ke Semarang. Atau Batavia. Atau bahkan ke Surabaya. Kau semakin cantik sekarang. Kau masih muda. Kau bisa jadi gundik kompeni. Orang Belanda suka perempuan sepertimu.."
Dia bangkit, merapikan kebayanya. "Jangan menjadi selir ningrat lagi. Kehidupan mereka lebih berbahaya dan penuh intrik. Kau sudah merasakan sendiri, kan? Lebih baik jadi gundik kompeni. Mereka bayar lebih mahal."
Pariyem mengangguk pelan. Masih dengan wajah yang pasrah. Meski di dalam dadanya, ia tak terima kata-kata merendahkan itu. Ia sudah rendah, dan tak akan merendahkan diri sebagai gundik Belanda yang tak dinikahi.
"Kau akan diantar Wiro," lanjut Juniah. "Kusir tua itu. Dia akan mengantarmu ke stasiun kereta api. Dari sana kau naik kereta ke manapun yang kau mau."
Matanya menyipit, tatapannya berubah menjadi sangat dingin. "Ingat, Yem. Jangan sampai menunjukkan wajah lagi di kadipaten ini. Jangan sampai kembali. Kalau itu terjadi …," dia menyeret jari di lehernya dengan gerakan memotong, "sudah pasti kau tidak akan melihat matahari besok. Aku tidak akan berbaik hati lagi. Mengerti?"
lengserke mertuamu