Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perangkap Mitra Lokal
Setelah meninggalkan Training Center, Amara sudah berada di dalam taksi, bersiap menuju kursus selanjutnya: etika jamuan makan malam. Ia melirik ponsel keduanya—ponsel rahasia yang ia gunakan untuk menghubungi Bayu. Tidak ada balasan. Amara menghela napas, menyadari Bayu pasti membutuhkan waktu untuk mendapatkan informasi tentang Vanguard.
Sesampainya di sebuah restoran mewah yang disewa khusus untuk pelatihan, Amara turun dari taksi. Di kejauhan, suruhan Arya, Rama, masih mengawasinya. Rama melihat Amara masuk ke dalam ruang khusus yang telah disiapkan untuk kursus tersebut, memastikan ia tidak luput dari pandangan. Amara benar-benar tidak menyadari bahwa setiap gerak-geriknya, bahkan ponsel rahasianya, kini berada dalam radar suaminya.
Amara masuk ke dalam ruangan. Di sana, ia kembali fokus total pada perannya, belajar bagaimana cara menguasai meja makan malam sosial yang penuh dengan jebakan etika, sebuah keterampilan penting untuk sandiwara yang ia mainkan.
Di tempat lain, di markas intelijen pribadinya, Marco akhirnya berhasil mengidentifikasi siapa informan yang dihubungi Amara. Tim teknis Marco berhasil melacak nomor ponsel rahasia itu dan menemukan koneksi utama.
Marco segera menghubungi Arya di kantornya.
"Tuan Arya, kami sudah mengetahuinya," kata Marco tanpa basa-basi, suaranya dipenuhi kepastian.
"Siapa?" tanya Arya, menjauh dari meja kerjanya, fokus total.
"Bayu," jawab Marco.
Arya mengangguk perlahan. "Bayu... Cari alamatnya dan di mana dia berada saat ini," perintah Arya, suaranya rendah dan mengancam.
"Baik, Tuan," kata Marco.
Marco kemudian mengerahkan sumber dayanya untuk mencari tahu keberadaan Bayu. Beberapa jam kemudian, dia mendapatkan informasi terbaru: Bayu berada di sebuah kafe.
Marco segera memberitahukan lokasinya kepada Arya.
Arya, setelah mengetahui keberadaan Bayu, bergegas mengambil kunci mobilnya. Dia memutuskan tidak membuang waktu. Jika dia bisa memotong informan Amara sekarang juga, dia akan menghilangkan ancaman terbesarnya di ranah pribadi.
Arya mengemudi dengan cepat menuju kafe yang dituju: Metro Roast. Ia siap menghadapi pria yang berani membantu istrinya melanggar perjanjian mereka.
Sesampainya di Metro Roast, Arya langsung masuk. Suasana kafe itu ramai, tetapi Arya segera mencari keberadaan Bayu di antara pengunjung.
Telinganya yang tajam menangkap percakapan dari balik dinding pembatas area VIP. Sebuah nama yang sangat familiar—Vanguard—disebutkan, dan Arya langsung tahu ia berada di tempat yang tepat.
Arya berjalan mendekat, tetap bersembunyi di balik pilar besar, dan mendengarkan.
"Jadi kamu sedang mencari tahu tentang Vanguard?" kata suara seorang pria yang lebih tua.
"Iya, saya sudah mencari tahunya di internet, jaringan, dan informan lainnya tentang ini, tapi tidak ada yang mengetahuinya. Jaringannya tidak bisa di akses," kata suara pria yang lebih muda.
Itu dia, batin Arya.
"Bayu, Vanguard itu tidak segampang itu kamu bisa mengaksesnya. Dia bukan orang biasa dan bukan pebisnis biasa," kata pria yang lebih tua itu, terdengar memperingatkan.
Arya menyeringai dingin dari balik pilar. "Dia adalah Bayu," kata Arya pelan pada dirinya sendiri, kini memastikan targetnya. Ia memutuskan untuk tetap bersembunyi dan mendengarkan.
"Memangnya untuk apa kamu mencari tentang Vanguard?" tanya pria yang lebih tua itu. Arya menunggu jawaban Bayu, yakin inilah kepingan informasi yang ia butuhkan untuk menjebak Amara.
"Ada seorang klienku ingin aku mencari tahu," jawab Bayu, suaranya terdengar hati-hati, berusaha menyembunyikan identitas klien tersebut.
Arya di balik pilar semakin memicingkan mata. Klien? Tentu saja. Klien itu adalah Amara.
Pria yang lebih tua itu mendengus. "Klien yang sangat berisiko. Siapa pun yang meminta informasi tentang Vanguard berarti sedang berhadapan dengan bahaya besar. Mereka adalah hiu di lautan gelap, Bayu."
"Saya tahu, Pak Wisnu. Tapi ini penting," balas Bayu.
"Penting atau tidak, jika kamu tidak bisa melacak Vanguard, mungkin ada alasan kuat di baliknya. Lebih baik kamu menyarankan klienmu untuk mundur, atau mereka akan hancur," nasihat Pak Wisnu.
Arya sudah mendengar cukup. Ia kini memiliki bukti: Bayu adalah informan Amara, dan Amara sedang mencoba mengendus kelemahan Vanguard, yang secara tidak langsung berarti mengganggu proyek kerja sama Aldridge-Wijaya. Arya tidak bisa membiarkan Bayu terus bekerja untuk Amara.
Arya keluar dari persembunyiannya dan berjalan langsung menuju meja Bayu.
Bayu dan Pak Wisnu terkejut melihat Arya Aldridge berdiri tegak di samping meja mereka.
"Aku rasa, klienmu tidak akan senang mendengar bahwa informannya menyarankan untuk mundur," kata Arya, suaranya tenang, tetapi dipenuhi ancaman.
Bayu pucat pasi. Ia menyadari bahwa rahasia Amara, dan rahasianya sendiri, baru saja terbongkar.
"Bayu, kamu Bayu? Bisa kita bicara sebentar? Ikuti saya," kata Arya, nadanya dingin dan tidak menerima penolakan.
Bayu terkejut, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia melirik Pak Wisnu, mencari petunjuk.
Pak Wisnu mengangguk pelan, menyiratkan agar Bayu mengikuti kemauan Arya.
Arya berjalan lebih dulu menuju sudut kafe yang lebih tenang, di mana ada sofa dan meja kecil. Bayu dengan enggan mengikuti di belakang.
Di tempat sepi itu, mereka berdua duduk berhadapan. Suasana tegang menyelimuti mereka.
Tepat saat mereka duduk, ponsel Bayu berdering nyaring. Layar ponsel menunjukkan nama Amara.
"Angkat saja, silakan," kata Arya, dengan senyum tipis dan mematikan.
"Maaf, saya permisi sebentar," kata Bayu, berusaha bangkit untuk menjauh dan menjawab panggilan itu secara pribadi.
"Tetap di sini. Saya tidak masalah, dan saya tidak akan menyebarkannya," kata Arya, matanya tertuju pada Bayu, memerintahkan tanpa suara.
"Eh..." Bayu tercekat. Ia tahu Arya sudah memergokinya. Ponselnya terus berdering, menyoroti perselingkuhannya. Bayu terpaksa mendiamkan panggilan itu, meletakkan ponselnya kembali di meja. Itu adalah konfirmasi diam-diam kepada Arya bahwa ia bekerja untuk Amara.
Arya bersandar di sofa. "Jadi, Bayu. Kita bicara tentang klienmu yang ingin mencari tahu tentang Vanguard."
"Siapa tahu saya bisa membuatnya mencari informasi," kata Arya, suaranya mengandung janji sekaligus ancaman.
"Be... Benarkah?" tanya Bayu, matanya penuh harap sekaligus ketakutan. Jika ia bekerja untuk Arya, mungkin ia bisa selamat dari masalah ini.
"Ya," kata Arya.
"Tapi siapa Anda?" tanya Bayu, berusaha mencari tahu identitas resmi Arya.
"Kamu tidak perlu tahu siapa saya, dan pastinya Anda pasti sudah mengetahuinya," kata Arya, merujuk pada kekayaan dan nama besar keluarga Aldridge.
Bayu menelan ludahnya. Habis sudah, batinnya.
"Saya langsung ke intinya," kata Arya. Ia kemudian memberikan kartu hitam—sebuah kartu nama bisnis eksklusif Aldridge yang menyiratkan kekuatan uang—kepada Bayu.
"Saya akan memberikan ini kepada Anda, asalkan Anda bekerja sama dengan saya dan mengatakan siapa klien Anda," kata Arya, menuntut pengkhianatan.
"Maaf, itu rahasia. Saya tidak bisa memberitahukannya," kata Bayu, berusaha mempertahankan integritasnya, meskipun ia sudah dalam posisi terjepit.
"Heh," kata Arya. Ia kemudian dengan cepat mengambil ponsel Bayu dari meja.
"Eh! Tuan, Anda tidak bisa melakukan ini!" Bayu terkejut dan mencoba meraih ponselnya kembali.
"Sst..." kata Arya.
Arya mengabaikan protes Bayu. Ia mencari panggilan masuk yang terakhir—nama Amara—dan menekan tombol panggil ulang.
Di koridor tempat kursus, Amara mendengar ponselnya berdering dan mengangkatnya.
"Halo Bayu, bagaimana?" tanya Amara, suaranya penuh antisipasi.
Arya yang mendengar suara Amara tersenyum penuh kemenangan. Arya kemudian memberikan ponsel itu ke telinga Bayu, sambil berbisik tajam, "Bicara. Katakan kamu sudah mencari tahu."
Bayu mengangguk pasrah, wajahnya pucat. Dengan suara bergetar yang berusaha ia kendalikan agar terdengar normal bagi Amara, Bayu berbohong.
"Aku sudah mencari tahunya," kata Bayu.
"Benarkah? Apa?" tanya Amara, antusias.
Arya mendekatkan mulutnya ke telinga Bayu, suaranya berbisik tetapi mengancam, "Katakan padanya, Vanguard adalah konsorsium lama Eropa, tidak punya kelemahan apa pun yang bisa diakses di Asia. Dan satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka adalah dengan mencari tahu mitra lokal yang mereka gunakan di sini—tapi kamu belum menemukannya."
Bayu menelan ludah lagi. Itu adalah kebohongan yang cerdik, memberi Amara tugas yang mustahil (melacak mitra rahasia) sambil membuatnya berpikir ia sudah selangkah lebih maju.
Dengan suara bergetar yang terdengar sedikit tertahan di telinga Amara, Bayu mengulangi, "Aku sudah mencari tahunya, Amara. Vanguard adalah konsorsium lama Eropa. Mereka... mereka tidak punya kelemahan apa pun yang bisa diakses dari Asia. Dan satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka adalah dengan mencari tahu mitra lokal rahasia yang mereka gunakan di sini, di Asia. Tapi aku... aku belum menemukannya. Jaringannya terlalu kuat."
Di ujung telepon, Amara sedikit kecewa, tetapi juga mendapatkan arahan baru. "Mitra lokal, ya? Baiklah. Terus cari tahu, Bayu. Aku akan mencarinya dari sini. Hubungi aku kalau ada perkembangan."
"Baik, Vanya. Hati-hati," kata Bayu, kata 'hati-hati' itu tulus, sebuah peringatan tersembunyi.
Arya menarik ponsel itu dari Bayu sebelum ia bisa mengatakan hal lain. Arya memutuskan panggilan itu, lalu mematikan ponsel Bayu sepenuhnya.
Bayu menatap Arya dengan tatapan putus asa dan penuh pengkhianatan. "Sekarang, klienmu sudah mendapatkan informasi yang ia 'butuhkan'," kata Arya dingin. "Dan sekarang giliranmu."
Arya meletakkan kartu hitam di hadapan Bayu, sebuah tawaran untuk bekerja pada pihak yang menang.
"Mulai sekarang, kamu bekerja untukku, Bayu. Semua informasi yang datang dari 'klien' lamamu, harus datang ke telingaku dulu. Dan sebagai gantinya, semua pekerjaan pencarian informasimu akan dibayar ganda oleh Aldridge. Pilihan ada di tanganmu," ujar Arya, menyeringai penuh kemenangan.
Bayu tidak punya pilihan. Ia telah tertangkap basah, dan ia tidak mau berhadapan dengan murka Arya Aldridge.
"Anggap kartu itu adalah bayaranmu," kata Arya, menunjuk kartu hitam yang tergeletak di meja di hadapan Bayu. Ia kemudian bangkit dan meninggalkan Bayu, tidak memberikan kesempatan untuk bernegosiasi atau menolak.
Setelah kepergian Arya, Bayu terkulai lemas di sofa. Ia menatap kartu hitam itu dengan campuran rasa ngeri dan jijik. Ia baru saja mengkhianati kliennya, Amara, demi menyelamatkan dirinya sendiri.
"Kacau, kacau sudah. Maaf, Vanya," kata Bayu lirih, merasa bersalah saat melihat kartu yang kini menjadi simbol pengkhianatannya. Ia tahu, mulai sekarang, ia harus menjadi mata-mata untuk Arya.
Setelah pertempuran nya dengan Bayu, Arya melajukan mobilnya dengan cepat. Hatinya dipenuhi kepuasan karena telah mematahkan perlawanan Amara. Setelah berhasil mengamankan dirinya di ranah pribadi, ia kini menuju ke apartemen Olivia, siap untuk melepaskan ketegangan dari hari yang penuh intrik.
...***...
Di tempat kursus, Amara telah selesai. Ia keluar dari restoran mewah itu, berjalan cepat menuju taksinya. Rama, suruhan Arya, terus memantau Amara. Ia melihat Amara sudah menaiki taksinya, memastikan Amara tidak melakukan kontak rahasia lain.
Di dalam taksi, Amara memijat keningnya, tidak lagi merasa buntu, tetapi kini memegang sebuah misi baru. Ia mengingat dengan jelas kata-kata Bayu yang terdengar hati-hati: "...tidak punya kelemahan apa pun yang bisa diakses dari Asia. Dan satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka adalah dengan mencari tahu mitra lokal rahasia yang mereka gunakan di sini..."
Amara yakin Bayu telah melakukan yang terbaik. Bayu adalah informan yang andal, dan jika ia mengatakan Vanguard terlalu kuat untuk dilacak secara langsung, maka itu pasti benar.
Aku percaya Bayu. Dia tidak akan memberiku jalan buntu, pikir Amara.
Kepercayaan Amara pada Bayu sama fatalnya dengan jebakan yang dipasang Arya. Ia tidak tahu bahwa informannya telah mengkhianatinya di bawah ancaman. Amara kini sepenuhnya percaya bahwa solusi untuk mengalahkan Arya—dan menyelamatkan ayahnya—terletak pada identitas mitra lokal rahasia Vanguard.
"Jadi, tugasnya adalah mencari tahu siapa mitra lokal itu," gumam Amara, matanya dipenuhi tekad baru. "Mitra lokal itu pasti terhubung dengan seseorang di Aldridge atau Wijaya. Itu satu-satunya cara Vanguard bisa masuk secepat ini."
Amara merencanakan untuk menggunakan jadwal resminya sebagai Nyonya Aldridge—kursus, jamuan makan malam, dan acara charity—untuk diam-diam mencari petunjuk tentang jaringan internal yang mungkin terkait dengan Vanguard. Ia akan berpura-pura bersosialisasi, padahal ia sedang memburu tikus.
Di tempat lain, Arya tiba di apartemen Olivia. Ia langsung masuk ke dalam, karena ia memiliki kuncinya, dan mencari Olivia. Apartemen itu sepi. Ia kemudian berjalan menuju kamar tidur Olivia.
"Olivia, Olivia," kata Arya, suaranya sedikit mendesak.
"Ya," kata Olivia. Ia muncul dengan handuk yang melilit tubuhnya, baru keluar dari kamar mandi.
"Ada apa, kamu baru datang?" tanya Olivia, matanya bersinar karena senang.
"Ya, kamu..." Kata Arya terhenti. Ia menatap Olivia yang hanya mengenakan handuk dan memperlihatkan lekuk tubuhnya. Semua ketegangan, frustrasi, dan tekanan dari hari yang penuh intrik dan kebohongan—pertemuan dengan Zayn, konfrontasi dengan Bayu, dan kepatuhan Amara—kini mencari pelampiasan.
Ia mendekat dan memeluk Olivia dengan erat. Ia menciumnya dengan desakan yang tak tertahankan, lalu berbisik.
"Aku menginginkannya," kata Arya, napasnya berat.
"Apa?" kata Olivia, sedikit terkejut dengan intensitasnya.
"Kamu," kata Arya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia menggendong Olivia dan membawanya ke tempat tidur. Ia membutuhkan pelarian mutlak dari kenyataan pahit pernikahannya.
Jauh dari Amara, di apartemen Olivia, Arya telah menemukan pelariannya. Semua kerumitan, ketegangan, dan kecurigaan yang ia rasakan terhadap Amara sirna.
Sambil memeluk Olivia, Arya merasa kembali memegang kendali. Ia telah mengisolasi Amara, memutus kontak rahasianya, dan yang terpenting, ia telah memberi Amara informasi palsu untuk membuang waktunya.
Arya tersenyum puas. Amara akan sibuk mengejar hantu "mitra lokal" yang mungkin tidak ada, sementara Arya akan fokus sepenuhnya pada proyek Aldridge-Wijaya, mengamankan posisinya dari Kakek Umar, dan membangun kehidupannya yang bebas di samping Olivia.
Arya tidak menyadari bahwa kepuasan di atas pengkhianatan ini adalah awal dari kekejaman karakter yang akan membawa Tears of Marriage ini mencapai klimaks yang paling menyakitkan bagi Amara.
...***...
Di saat yang sama, Amara baru saja tiba di apartemen nya ia turun dari taksi tepat di depan apartemennya. Ia berjalan lurus, pikirannya sepenuhnya terserap pada misi yang diberikan oleh kebohongan Bayu: mitra lokal Vanguard.
"Mitra lokal," bisik Amara, sambil membuka pintu apartemen. "Mereka pasti akan hadir di acara-acara sosial Aldridge. Mama bilang aku harus bertemu dengan banyak orang di yayasan charity dan jamuan makan malam. Aku akan menggunakan jadwal yang mereka buat untuk mencari kelemahan mereka sendiri."
Amara berjalan menuju kamar utama. Ia tidak repot-repot mengecek keberadaan Arya, ia tahu suaminya tidak ada di sana. Ruangan itu terasa dingin dan sunyi, mencerminkan keadaan hatinya.
Ia mengeluarkan jadwal barunya dan mulai menganalisis daftar tamu atau petinggi yayasan yang akan ia temui. Amara tidak lagi melihat acara-acara itu sebagai kewajiban sosial, tetapi sebagai operasi intelijen. Setiap jabatan, setiap nama, akan ia selidiki, mencari koneksi tersembunyi dengan Vanguard.
Kunci dari strategi ini adalah kesempurnaan. Amara harus menjadi Nyonya Aldridge yang begitu sempurna, sehingga tidak ada yang akan mencurigai bahwa di balik senyumannya, ia sedang memburu rahasia terbesar keluarga tersebut. Kehancurannya yang sudah diramalkan oleh genre Air Mata Pernikahan telah dimulai, bukan oleh kesedihan, melainkan oleh kepercayaan yang salah dan tekad yang membutakan.
Malam itu, Arya tidak kembali ke apartemen. Amara makan malam sendirian di meja makan besar yang dingin. Ia menggunakan waktu itu untuk mempelajari profil-profil perusahaan dan individu yang mungkin menjadi target penyelidikannya.
Ketika ia berbaring sendirian di ranjang besar itu, Amara tahu ia telah melewati batas emosi. Rasa sakit akibat pengabaian Arya sudah berubah menjadi mati rasa. Fokusnya kini hanya pada tujuan: mendapatkan informasi tentang mitra lokal itu untuk menyelamatkan Ayahnya.
Amara yakin ia sedang bergerak maju, sementara kenyataannya, ia baru saja melangkah jauh ke dalam perangkap yang Arya atur dengan sempurna.
...***...
Pagi harinya, Arya terbangun di tempat tidur Olivia. Ia meraih ponselnya; jam menunjukkan pukul 08:00 pagi. Ia terkejut karena sudah melewatkan waktu bangunnya. Ia segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Saat Arya sedang mandi, Olivia terbangun. Ia meraba kasur yang ditempati Arya dan menyadari pria itu sudah meninggalkannya.
"Arya," kata Olivia. Ia mendengar suara air mengalir dari dalam kamar mandi dan berjalan masuk.
"Arya," panggil Olivia.
"Ya," jawab Arya dari balik tirai kaca.
"Kamu akan pulang?" tanya Olivia, nadanya sedikit cemas.
"Ya, aku harus tahu apa yang akan dilakukannya dan memastikannya," kata Arya, merujuk pada Amara dan jebakan yang telah ia pasang. Ia harus mengawasi langkah Amara selanjutnya untuk memastikan rencana mitra lokal itu bekerja.
"Oke, baiklah," kata Olivia, tetapi ia tidak segera pergi.
Ia berjalan masuk ke dalam, membuka tirai kaca, dan memeluk Arya dari belakang.
"Ayo kita mandi bersama," kata Olivia, suaranya menggoda.
Arya berbalik dan mencium Olivia di bawah air shower yang mengalir. Ciuman itu intens dan dalam. Desahan demi desahan terdengar. Olivia mencium leher Arya.
"Jangan meninggalkan bekas," kata Arya, memperingatkan, mengingat ia harus menjaga sandiwara pernikahan yang sempurna.
"Ya, oke," kata Olivia, lalu mereka pun melakukannya lagi, terlepas dari waktu dan kewajiban Arya.
Beberapa jam kemudian, Arya mematikan shower. Mereka terengah-engah, air menetes dari rambut mereka.
"Aku harus kembali," kata Arya, menyadari ia sudah sangat terlambat untuk pertemuan apa pun.
"Ya, cepatlah, sebelum aku menghentikanmu," kata Olivia, mencoba menahan senyum.
Arya mengeringkan diri dengan cepat, mengambil pakaian kerjanya yang tersisa di kursi, dan bersiap meninggalkan Olivia. Meskipun ia membenci pernikahan palsunya, ia tidak bisa mengabaikan ancaman Kakek Umar atau potensi keuntungan dari proyek Aldridge-Wijaya. Ia harus kembali untuk mengawasi boneka yang ia kendalikan.
Arya mencium kening Olivia, lalu bergegas keluar dari apartemen, kembali menuju apartemennya, siap menghadapi istri palsunya dan memanen hasil dari pengkhianatan Bayu.
Bersambung......