“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.26
Keesokan harinya, Ivana perlahan membuka mata. Kesadarannya mulai pulih, dan pandangannya langsung mengenali ruangan itu—rumah ibunya.
“Sudah bangun?” tanya Amora, datang dengan segelas teh hangat dan sepiring makanan kesukaan Ivana.
“Ma… kenapa aku di sini?” Ivana justru balik bertanya.
“Semalam, kamu diantar pulang oleh seseorang. Jelaskan, Ivana. Apa yang sebenarnya terjadi?” Nada suara Amora tegas, matanya tajam menatap Ivana.
Ivana tercekat. Untuk pertama kalinya, ia melihat ibunya begitu marah.
“A-aku… aku menemui Damian, Ma. Aku mencintai dia. Dan semalam, aku hampir mendapatkannya. Tapi Daisy datang, dia mengacaukan segalanya.” Ivana menjelaskan dengan emosi.
“Kamu ingin jadi pelakor, Ivana?” seru Amora keras.
Ivana terdiam.
“Kamu tahu bagaimana pelakor menghancurkan hidup kita? Kamu membuat anak kehilangan ayahnya—seperti yang wanita itu lakukan padamu dulu!” Amora membentak, napasnya memburu.
“Ma, aku…”
“Mama nggak mau tahu. Hentikan semua itu, Ivana. Atau Mama akan benar-benar membencimu!” ucap Amora, sebelum meninggalkan ruang tamu dengan air mata yang sudah menggenang.
“Ma… tapi aku mencintai Damian,” bisik Ivana lirih.
Di dapur, Amora bersandar lemas. Tangannya mencengkeram erat pinggiran tempat cuci piring, air mata jatuh tanpa bisa dibendung.
“Ya Tuhan… Ivana…” isaknya, merasa gagal sebagai seorang ibu.
*
*
Sementara itu di Bali, Damian mulai mengerjapkan mata. Cahaya matahari masuk lewat celah gorden, menyilaukan pandangan. Ia melirik ke kanan, tubuh Daisy yang polos masih terlelap di sampingnya.
“Sayang…” bisik Damian pelan. Tapi Daisy tak bergeming, tubuhnya masih sedikit panas, nafasnya teratur tapi berat.
Damian mengerutkan kening. Kepalanya berdenyut, tubuhnya lemas, seperti sisa obat masih mengalir dalam darahnya. Ia mencoba mengingat kejadian semalam, tapi pikirannya kacau. Yang terlintas hanyalah momen di kafe—seseorang memberinya minuman gratis. Setelah itu tubuhnya panas, kesadarannya buram, lalu… gelap.
“Astaga… apa yang terjadi?” gumam Damian. Matanya kembali melirik Daisy, lalu menyapu kamar hotel yang berantakan.
“Vio?” seru Damian panik. “Astaga, Vio di mana dia?”
Ia buru-buru mandi untuk menyegarkan diri, berharap pusing di kepalanya hilang. Namun setelah beberapa menit, rasa lemah itu tetap ada. Meski begitu, Damian sudah berpakaian rapi dan kembali duduk di sisi ranjang.
Daisy perlahan membuka mata, merasakan usapan lembut di pipinya.
“Sudah bangun?” tanya Daisy, suaranya serak.
“Ya. Kamu kelelahan, sayang?”
“Iya… semalam kamu semangat sekali,” goda Daisy dengan senyum lemah, meski tubuhnya masih sakit.
“Maaf, aku pasti kasar ya?” rasa bersalah menyergap hati Damian.
“Enggak, aku nggak papa kok. Tolong bawa Vio ke sini ya, dia semalam sama Mommy.” Daisy menatap Damian sambil berusaha menenangkan dirinya.
Damian mengangguk, lalu mengecup kening istrinya sebelum keluar kamar.
Begitu pintu tertutup, Daisy mengembuskan napas lega.
Sepertinya… Damian benar-benar tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi semalam.
Tak lama, Damian pun sampai di depan kamar mertuanya. Ia langsung menekan bel, tak lama Niklas muncul dengan Vio di gendongannya. Bayi mungil itu tampak berkaca-kaca, matanya sembab karena lama menangis.
“Akhirnya kamu datang. Kemana saja? Mana Daisy?” tanya Niklas heran.
“Dia masih tidur, Dad,” jawab Damian singkat, tak sanggup menjelaskan lebih banyak.
“Ya sudah. Ini Vio, sejak tadi menangis terus dan baru tenang. Sepertinya dia haus. Semalam dia anteng, nggak bangun.” Niklas menyerahkan Vio ke pelukan Damian.
Damian menerimanya dengan hati-hati. “Terima kasih, Dad. Maaf sudah merepotkan Daddy dan Mommy.”
“Tidak apa-apa,” balas Niklas lembut. Ia sebenarnya ingin bertanya lebih jauh, namun menahan diri. Dari kabar asistennya semalam, ia sudah tahu ada sesuatu yang besar terjadi pada Daisy dan Damian.
Damian pun pamit kembali ke kamar. Ia menyusuri koridor sambil menimang Vio, hatinya terasa berat. Sesampainya di kamar, ia berganti pakaian, lalu menyiapkan baju bersih untuk Daisy yang masih terlelap di atas ranjang.
Sementara itu…
Di kota lain, Andreas duduk termenung di meja kantornya. Ia jadi lebih banyak diam akhir-akhir ini, sampai sahabatnya, Bagas, heran.
“Lo kenapa sih, Dre? Ngeri gue lihat lo, kayak orang kesurupan,” celetuk Bagas.
“Sialan lo. Gue baik-baik aja. Hanya saja…” Andreas menggantung kalimatnya.
“Daisy lagi?” potong Bagas cepat.
Andreas menghela napas berat.
“Dre, saran gue ya. Move on. Lama-lama lo bisa gila kalau terus begini,” kata Bagas serius.
“Lo sih enak bilang begitu. Nyatanya gue makin sulit ngelupain Daisy,” lirih Andreas.
“Ya Tuhan, Dre! Lo tahu kan Daisy udah bahagia sama keluarga kecilnya? Lebih baik lo buka hati buat Mia. Dia cewek baik, setia sama lo. Cuma lo aja yang kebanyakan manjain dia pake kemewahan.”
Andreas terdiam. Kata-kata Bagas itu menohok. Benar, dengan Mia ia selalu memberi apa pun tanpa peduli, sementara dengan Daisy dulu… ia justru sering menuntut ini-itu.
“Hhh, sudahlah. Gue pergi dulu,” gumam Andreas, bangkit dari kursi.
“Ehh! Dibilangin malah ngeloyor. Dasar sahabat semprul,” seru Bagas, menggeleng tak habis pikir.
Andreas melangkah keluar. Entah kenapa, mobilnya membawanya ke tempat di mana ia dulu bertemu seorang gadis yang tak asing di benaknya. Dan benar saja, keberuntungan seperti berpihak padanya.
Ia melihat Bella berjalan sambil menuntun sepedanya. Wajahnya kecokelatan karena matahari, lelah tapi tetap manis.
“Astaga, bisa-bisanya kamu bocor sih,” omel Bella pada sepedanya.
Andreas tersenyum samar. “Loh, kamu? Ngapain di sini? Mau bundir lagi?” seloroh Bella saat menyadari kehadirannya.
“Jangan sembarang ngomong. Aku cuma… ingin ketemu kamu. Nama aku Andreas,” ujar Andreas, mengulurkan tangan.
Bella menatapnya bingung. “Serius? Seorang seperti Anda mau kenalan sama gadis desa kayak saya?”
“Iya. Kenapa nggak boleh?” Andreas justru balik bertanya.
Bella akhirnya menjabat tangannya singkat. “Bella. Udah ya. Awas, aku mau ke bengkel.”
“Biar aku antar,” tawar Andreas.
“Tidak perlu,” balas Bella cepat.
Ia pun berjalan pergi, tapi Andreas malah mengikuti dari belakang. Berbeda dengan Mia, ada sesuatu pada Bella yang membuatnya sulit melepaskan pandangan dari gadis tersebut.
Bella yang merasa diikuti cukup kesal, namun dia diam saja tidak ingin cari ribut. Beberapa menit kemudian, dia sudah sampai di bengkel dan meminta orang bengkel membenarkan sepedanya.
"Lama gak?" tanya Bella.
"Lumayan, soalnya ini sampai dalam. Harus diganti," kata tukang bengkel.
"Aduh gimana dong ya? Aku mau ke pasar, beli bumbu." Gumam Bella sambil menghela napas.
"Biar aku antar, sepeda mu taruh saja di bengkel nanti pulangnya kita bawa lagi." Usul Andreas tiba-tiba muncul di belakang Bella membuat gadis tersebut terkejut.
"Bikin kaget saja," omelnya sambil melotot sebentar.
"Maaf, niatnya baik kok," jawab Andreas, tersenyum kecil.
"Ya sudahlah, saya titip dulu yah pak! Kerjakan yang benar, itu sepeda kesayangan saya."
"Iyaa, Mbak tenang saja," sahut tukang bengkel.
Bella pun pergi dari bengkel tersebut, diikuti oleh Andreas. Tanpa banyak kata, Andreas membukakan pintu depan mobilnya. Bella sempat ragu sejenak, lalu akhirnya masuk.
Begitu duduk, ia spontan bersuara, "Sejuk." Bisiknya saat udara dingin dari AC menyapa kulitnya. Namun hatinya masih terasa kikuk, belum terbiasa berada di dalam mobil semewah itu bersama pria asing.
Bersambung ....