Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
[Slow Burn]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Under the same roof
Begitu pintu kosan tertutup, Selina bersandar di baliknya. Nafasnya keluar pelan, seperti berusaha menenangkan detak jantung yang masih belum stabil. Dari jendela kecil di samping pintu, dia masih bisa lihat mobil hitam itu belum bergerak juga.
Dia mengernyit pelan. Kenapa rasanya tiap kali di dekat dia, semuanya jadi campur aduk begini?
Selina melangkah ke sofa kecil, melempar tas ke lantai, lalu duduk. Tatapannya kosong sesaat. Kepalanya memutar lagi tiap detik yang barusan terjadi—tatapan Baskara.
Dia menarik lutut ke dada, bersandar.
“Leonhard,” gumamnya pelan. Nama itu masih terasa aneh di lidahnya, apalagi setelah reaksi aneh Baskara tadi.
Apa mungkin… karena mereka kembar? pikirnya.
Dan kenapa caranya menatapnya, bukan seperti dosen, bukan juga seperti orang yang cuma ‘khawatir’?
Selina menunduk, menatap tangannya sendiri.
Tiba-tiba semua sentuhan, semua momen kecil yang dia alami dengan Leonhard—tatapan, nada bicara, bahkan senyumnya—terbayang lagi, tapi tumpang tindih dengan wajah Baskara.
“Gila…” lirihnya sambil mengusap wajah. “Gua kenapa jadi kayak orang gila gini sih.”
Dia tertawa kecil, tapi ada getir di ujungnya.
Karena dalam hati, Selina tahu dua-duanya mulai mengacaukan pikirannya dalam cara yang nggak bisa dia pisahkan lagi.
*
*
Baru saja Leonhard mau memasukkan mobil ke dalam garasi, ponselnya berdering. Nama panggilan di layar tidak bisa dihiraukan—pamannya. Saat diangkat, ternyata pamannya ingin bertemu malam ini. Dengan nafas berat, akhirnya Leonhard menanjapkan gas mobilnya lagi.
Dalam perjalanan dia terus memikirkan: apakah sikapnya benar kepada Selina sebagai Baskara? akan kah menjadi lebih rumit dari yang sudah terjadi? Dia tidak bisa menemukan jawabannya. Leonhard sadar, sejak Selina muncul di kehidupannya, rasanya… dia lebih sering berhati-hati dan berpikir sebelum bertindak. Dia merasa pergerakan gegabahnya mungkin akan membahayakan dan menyakiti Selina nanyinya.
Tapi… kenapa dia harus khawatir? Dia bukan siapa-siapanya Selina.
Leonhard mengerang, mengacak rambutnya dan memukul kecil setir mobil.
“Gua udah salah langkah dari awal… harusnya gak ngebiarin Selina masuk ke bar itu,” gumamnya.
Nasi sudah menjadi bubur, sekarang dia hanya harus melakukan control damage.
Mobilnya memasuki sebuah perumahan mewah. Gerbang perumahan itu dijaga oleh beberapa security—gerbangnya otomatis, plat nomor kendaraan penghini sudah terdaftar, hanya perlu mendekatkan mobil gengan gerbang sudah ototmatis terbuka.
Perumahan itu cukup tertutup dan untuk menuju bangunan rumah juga masih harus berlajan beberapa meter dari gerbang.
Rumah pamannya bediri di ujung perumahan itu—rumah paling megah dan luas, lebih mirip benteng daripada tempat tinggal. Lampu di halaman menyala redup, menciptakan bayangan panjang di ata batu paving yang basah oleh embun malam.
Pagar garasi rumahnya sudah terbuka, dia bisa melihat mobil lain sudah terparkir. Leonhard mematikan mesin mobil dan menarik nafas panjang sebelum keluar. Pakaian Baskara masih melekat di tubuhnya—sebelum beranjak dari garasi, dia melepas kacamatanya dan melempar ke kursi mobil—dia bahkan mulai lupa, siapa di antara mereka yang sebenarnya nyata.
Begitu membuka pintu rumah, aroma bourbon whiskey dan cerutu langsung menyergap. Dari ruang utama, suara pamannya terdengar pelan dan berwibawa.
“Leonhard,” sapa pria itu tanpa menoleh. Victor, pamannya, memang bisa mendeteksi langkah seseorang tanpa melihat—hal yang tidak bisa Leonhard dan Nikko hindari.
Nikko sudah lebih dulu di sana, duduk malas di salah satu sofa dengan kaki disilangkan. Tangannya mengangkat gelas whiskey yang tinggal satu tegukan. Tatapannya naik sedikit, menatap Leonhard seolah-olah hiburan yang ditunggu telah datang.
Leonhard melangkah pelan mendekat. “Paman.” Dia mengambil tempat kosong di seberang Nikko, kembali mentapnha datar agar tidak bisa dibaca.
Victor menatap keponakannya satu-satu, lalu tersenyum tipis. “Kalian ini… mentang-mentang sudah besar, jadi jarang pulang ke rumah ini.”
Nikko terkekeh kecil, menurunkan kakinya. “Rumah ini masih belum berubah, Paman. Masih dingin… penuh rahasia,” ujarnya bercanda. Keluarga ini kalau bercanda memang sedikit berbeda dengan keluarga biasa—memang backgroud keluarganya juga bukan pembisnis biasa.
Victor ikut tertawa kecil sambil memutar-mutar cincin di jarinya. “Kalau dingin, kamu bisa matikan AC-nya Nikko,” jawab pamannya.
Leonhard masih belum membuka mulutnya, dia sebenarnya tahu pasti pamannya ingin membicarakan tentang sesuatu yang dia tidak suka.
Victor menyesap whiskey-nya sambil menatap keduanya bergantian. “Jadi… gimana bar-mu itu Leon? Vault 33? Paman dengan bar-nya semakin ramai. Investor dari Seattle itu—kamu lanjut kerja sama dengan mereka?”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi matanya tajam, seperti sedang menilai reaksi keponakannya.
Leonhard menegakkan bahu, menjawab singkat, “Masih berjalan.”
Hening sebentar. Suara detak jam dinding terdengar jelas di ruang tamu yang terlalu besar itu.
“Bagus,” gumam Victor pelan, mengangguk sambil menatap cincin di jarinya seolah sedang berpikir keras. “Kamu memang selalu tahu cara memutar keadaan jadi peluang.”
Lalu pandangannya bergeser ke Nikko. “Dan kamu anak muda… gimana dengan bisnis modifikasimu? Sudah nyaman… atau masih nunggu hotel jatuh ke tanganmu?” tanya Victor, nadanya terdengar ringan tapi seperti mengejek.
Pamannya tidak menikah dan memilih mengambil hak asuh Leonhard dan Nikko ketika ayah mereka memutuskan tinggal di Las Vegas bersama ibunya Nikko—bisnis hotel di sini yang mengurus pamannya dan akan diwariskan ke salah satu dari mereka. Leonhard tidak pernah tertarik dengan warisan itu, tapi Nikko… dia memang sangat menginginkan hotel itu.
Nikko menyengir, mencoba mencairkan suasana. “Kalau bukan karena orang-orang yang suka kejar-kejaran di jalanan malam, bengkelku udah tutup dari dulu, Paman.”
Victor tertawa, tapi tawa itu tak sampai ke matanya. “Ya, dunia malam memang… menguntungkan, kalau tau di mana harus berdiri.”
Kalimat terakhir itu menggantung di udara, membuat ruangan terasa sedikit lebih sesak dari sebelumnya. Leonhard tahu arah pembicaraan mulai bergeser ke tempat yang dia benci—dan pamannya tahu dia menyadarinya.
Victor melipat tangannya, tubuhnya condong sedikit ke depan. Nada suaranya berubah lebih rendah. “Aku dengar, bar juga mulai sering dikunjungi orang-orang dari luar kota. Beberapa nama… menarik.”
Leonhard menatap pamannya tanpa ekspresi. “Mereka cuma datang untuk minum.”
“Ya, tentu.” Victor tersenyum tipis, tapi sorot matanya menusuk. “Tapi kita sama-sama tahu tidak semua orang datang ke bar hanya untuk minum, kan?”
Nikko melirik Leonhard, tahu betul ke arah mana percakapan ini mengarah. Leonhard menarik napas pelan sebelum menjawab, “Aku jaga urusanku tetap bersih. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Victor diam sejenak. Lalu ia menegakkan tubuhnya lagi, mengangguk pelan. “Paman hanya memastikan. Dunia ini makin sempit, Leon. Kadang yang tampak tenang di permukaan… dalamnya sudah penuh lumpur.”
Nikko terkekeh kaku, mencoba memecah ketegangan. “Paman, kalau terus ngomong begini, aku bakal mulai curiga kita lagi diinterogasi.”
Victor menatapnya sekilas, tersenyum samar. “Kalau kalian tidak punya apa-apa untuk disembunyikan, kenapa harus gugup?”
Leonhard menatap lurus ke arah pamannya, tatapannya datar, tapi suaranya dingin. “Kita semua di ruangan ini punya sesuatu untuk disembunyikan, Paman. Bedanya, aku tidak suka membicarakannya di ruang tamu keluarga.”
“Leonhard… kamu mirip banget sama ayahmu. Gak perlu serius gitu… Paman cuma basa-basi—sudah lama gak ngumpul bareng kalian,” ujar Victor sambil ketawa kecil.
Leonhard memutar kedua matanya—sangat tidak suka dimiripkan dengan ayahnya. Dia bisa mendengar Nikko ikut tertawa.
Leonhard mengangkat gelasnya tanpa ekspresi, meneguk isinya perlahan. “Kalau cuma buat nostalgia, Paman, mungkin lain kali aja. Aku gak terlalu suka bahas masa lalu.”
Victor masih tersenyum, tapi matanya jelas mengamati perubahan kecil di wajah Leonhard. “Tentu, tentu. Tapi kadang masa lalu itu berguna, Leon. Dia ngasih kita pelajaran… siapa yang bisa dipercaya, siapa yang nggak.”
Nikko mengetuk jari di meja, ikut menyeringai. “Dan siapa yang paling cepat menusuk dari belakang.”
Leonhard menurunkan gelasnya. Pandangannya beralih ke Nikko, tenang tapi tajam. “Kamu ngomong dari pengalaman pribadi, Nikko?”
Nikko hanya mengangkat bahu, santai seperti biasa. “Mungkin. Atau mungkin cuma tebakan.”
Leonhard dan Nikko saling pandang. Leonhard menatap dengan tajam sambil menahan emosinya, sedangkan Nikko menatap seperti menantang.
Dalam benaknya, dia sangat ingin langsung membahas tentang anak suruhannya yang menguntit Selina dan memata-matai bar-nya.
Tapi Leonhard menahan diri. Belum waktunya. Dia tidak bisa bergerak tanpa tahu sejauh apa Nikko bermain.
Dia menggeser pandangannya, menegakkan posisi duduk, lalu berkata datar, “Kalau kamu suka main tebakan, Nikko, hati-hati. Kadang tebakan bisa bikin orang hilang tanpa jejak.”
Nikko tertawa pelan, nada tawanya seperti ejekan. “Santai aja, Leonhard. Aku cuma ngobrol. Masa ngomong dikit langsung dianggap ancaman?”
“Kalau dari kamu, semuanya terdengar seperti ancaman,” balas Leonhard pelan tapi tajam.
Victor menatap keduanya, menepuk meja sekali—tidak keras, tapi cukup untuk menarik perhatian. “Sudah. Kalian ini bukan bocah lagi.” Suaranya tetap tenang, tapi nadanya tegas. “Aku gak mau ada perang dingin di antara kalian. Dunia luar udah cukup kotor tanpa kalian saling serang di sini.”
Leonhard menahan tatapan ke Nikko, lalu mengalihkan pandang ke pamannya. Nikko menyandarkan tubuh ke kursinya lagi, masih dengan senyum kecil yang entah apa maksudnya.
“Bener kata paman. Kita semua keluarga.”
Tapi dalam benak Leonhard, kalimat itu terdengar seperti peringatan. Bukan “keluarga” yang saling menjaga—tapi keluarga yang siap menikam kalau waktunya tepat.
“Berapa umurmu tahun ini, Leon? Paman rasa kamu sudah siap untuk menikah.”
Itu dia. Topik yang paling Leonhard hindari daripada tentang bisnisnya. Menikah. Sudah beberapa bulan ini pamannya selalu menanyakan hal yang sama. Bahkan… ayahnya saja tidak peduli dengan kehidupannya yang sekarang.
“Oh paman… udah tau belum? Katanya dia lagi dekat dengan seseorang,” ujar Nikko memprovokasi. Leonhard langsung menoleh ke arahnya.
Wajah pamannya berbinar mendengar berita itu. “Bagus. Berarti… setidaknya kamu sudah maju satu langkah,” jawab Victor senyum sumringah. “Siapa? Kenapa belum kenalin ke paman?”
Leonhard menghembuskan nafas berat. “Jangan dengarkan dia, Paman.”
“Loh kenapa? Kamu takut? Atau… malu?” Nikko menaikkan satu alisnya, lalu pandangannya pindah ke Victor. “Paman. Dia lagi dekat dengan seorang mahasiswi.”
Victor membulatkan matanya—bukan kaget, tapi penasaran.
“Mahasiswi?” ulang Victor, suaranya pelan tapi sarat makna. Pandangannya berpindah ke Leonhard, meneliti perubahan kecil di wajah keponakannya. “Kamu serius, Leonhard?”
Leonhard bersandar ke kursinya, rahangnya mengencang. Dia tidak mau nama Selina terbawa dalam keluarga ini.
“Aku gak tau darimana Nikko dapat gosip murahan itu.”
Nikko tertawa kecil, nada suaranya ringan tapi menusuk. “Oh, bukan gosip. Aku cuma bilang apa yang aku lihat.” Ia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Leonhard seperti sedang menikmati setiap detik ketegangan itu. “Kamu kelihatan sangat protektif sama gadis itu. Bahkan nyuruh anak buahmu jagain dia, kan?”
Dari pernyataan Nikko, Leonhard tersenyum miring. Secara tidak langsung, Nikko mengaku kalau dia memang menguntit Selina—membuat Leonhard semakin ingin menjaga Selina dari campur gangan adiknya itu.
Victor menyipitkan mata. “Siapa gadis itu?”
Leonhard menatap Nikko tajam, nada suaranya dingin. “Jangan asal ngomong, Nikko.”
“Kamu terlalu defensif untuk sesuatu yang ‘gak penting,’” balas Nikko santai, menyeringai seperti predator kecil yang baru menemukan titik lemah mangsanya.
Suasana di ruang makan berubah dingin. Bahkan suara jam dinding terasa terlalu keras di antara jeda panjang mereka.
Victor akhirnya bersuara, nada bicaranya tenang tapi berisi tekanan halus. “Kalau memang benar, Leonhard, kamu tahu aturan keluarga kita. Hubungan dengan orang luar… selalu ada risikonya.”
Leonhard memijat pelipisnya. Justru dia tahu, keluarganya tidak aman untuk Selina—dia tidak ada niatan membawa Selina ke keluarganya demi keselamatannya. Dan sekarang… Nikko malah mengungkit hal ini.
“Paman gak usah khawatir. Aku sudah tau.”
Nikko bersandar santai lagi, masih menyunggingkan senyum puas. “Ya, semoga aja mahasiswi itu gak terseret hal-hal yang dia gak ngerti.”