Kehidupan Amori tidak akan pernah sama lagi setelah bertemu dengan Lucas, si pemain basket yang datang ke Indonesia hanya untuk memulihkan namanya. Kejadian satu malam membuat keduanya terikat, dan salah satunya enggan melepas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Giant Rosemary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu
Sejak hari dimana Amori menyetujui tawarannya, Lucas benar-benar membuktikan kalau dirinya tidak main-main. Sisi manisnya bertambah dua kali lipat, sampai-sampai Dani lebih sering mengurung diri di kamar karena risih melihat sikap Lucas yang terlalu ‘menempel’ pada Amori. Baginya, sikap Lucas yang seperti itu terlalu asing, dan bahkan membuatnya merinding.
Sedangkan bagi Amori sendiri, sikap Lucas perlahan meluluhkan ketakutannya. Semakin hari, Lucas berhasil meyakinkannya kalau membuka diri pada pria itu adalah hal yang aman. Amori sudah tidak lagi tegang setiap Lucas menyentuh atau menunjukkan perhatiannya. Hanya saja, soal kehamilan dan beberapa hal pribadi lain, Amori masih keras menyembunyikan.
Entah apa yang akan terjadi setelah waktu tiga bulan itu berakhir. Toh Amori pikir, sebelum misi Lucas selesai pun, ia sudah harus bersiap pergi karena cepat atau lambat kehamilannya akan semakin terlihat.
“Amor, dimana?” ada sebuah kebiasaan baru yang sudah tiga hari ini Lucas lakukan setiap pria itu baru pulang dari manapun. Lucas akan langsung mencari Amori, memberikan kecupan hangat di pipi dan kening Amori dan memberikan bingkisan yang selalu berbeda setiap harinya. Hari ini ia membawakan Amori beberapa macam crackers asin karena gadis itu semalam bilang ingin memakannya.
“Kamu buat apa?” Amori tersenyum, belum menatap Lucas yang memeluknya dari samping.
“Hwachae, tadi saya lihat orang buat ini di sosmed, terus jadi pengen.” ya, Amori sepertinya sudah memasuki fase ngidam di usia kandungannya yang sudah memasuki empat bulan. Ia jadi gampang sekali tergoda untuk membuat atau mencicipi sesuatu yang ia lihat di sosial medianya.
“Sini, saya bantu bawa. Kita makan di kamar, ya?” Amori hanya mengangguk tak membantah. Sebelum menyusul Lucas, Amori sempat mengetuk kamar Dani dan mengatakan kalau ia menyisakan satu porsi Hwachae untuknya.
“Sini, duduk disini.” kata Lucas sambil menepuk sisi kanannya. Di atas sebuah karpet bulu yang baru saja datang kemarin sore.
Sejak sering dijadikan tempat menghabiskan waktu bersama Amori, kamar Lucas tak lagi gelap gulita. Gorden yang biasanya hanya dibuka setiap 3 kali seminggu untuk dibersihkan, kini dibuka setiap hari, dari pagi sampai sore. Sebuah meja kecil juga Lucas sediakan karena mereka sering makan di kamar sambil menonton film atau sekedar mengobrol sambil makan cemilan.
Di siang yang terik itu, mereka menikmati Hwachae buatan Amori dan juga crackers yang Lucas bawa sambil mengobrol santai. Amori dan Lucas banyak tertawa lepas sejak hubungan mereka jelas terang benderang tujuannya. Lucas mengerang keras setelah meneguk kuah Hwachae yang segar dan manis. Membuat Amori terkekeh sambil mengusap dagu Lucas yang basah saking semangatnya.
“Pelan-pelan, Lucas.”
“Tapi ini enak banget. Nggak tau deh, ini karena bahan-bahannya atau karena yang bikin kamu. Tapi serius, enak banget. Seger.” Amori terkekeh untuk yang kesekian kali.
“Kamu berlebihan. Ya pasti enak lah, kan isinya soda, susu sama buah.” Lucas menyandarkan tubuh ke kursi kecil di belakangnya, lalu mencondongkan wajahnya ke arah Amori.
“Justru karena isinya sesimpel itu, saya yakin ini enak pasti karena kamu yang buat.” Amori memukul pundak Lucas main-main setelah pipinya dikecup lembab. Ia masih sering tersipu, tapi perasaannya lebih ringan setiap menanggapi pujian dan gombalan Lucas. Mungkin karena ia sudah membiarkan hatinya terbuka dan tidak lagi mencoba untuk menepis perasaan Lucas.
Setelah satu wadah besar Hwachae tandas, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menonton tayangan ringan tentang berkebun. Amori berbaring di atas dada Lucas, yang tangannya melingkar di seputar perutnya.
“Amor.” panggil Lucas sambil mengusap sisi tubuh Amori naik turun. “Terima kasih, karena udah kasih saya kesempatan.” Amori tak menjawab apapun. Ia hanya semakin meringkuk mendekat pada Lucas. Perutnya selalu tergelitik setiap berdekatan dengan tubuh hangat pria itu.
“Ini mungkin aneh kalau saya yang ngomong, tapi saya ngerasa, saya jadi orang yang berbeda setiap saya ada di dekat kamu. Saya jadi orang yang selalu—” Amori mendongak. Menunggu Lucas melanjutkan ucapannya. “---tenang.”
“Setiap kali saya sama kamu, semua keresahan saya hilang. Bakter, cedera, bahkan masalah yang udah setahun ini ngikutin hidup saya—semua ngga berarti apa-apa kalau kamu ada di samping saya.” Lucas memejamkan mata, meresapi ketenangan yang hadir ketika Amori menepuk-nepuk lembut dadanya. Seolah memberikan pengertian kalau ia menyimak, walau ia terlalu malu untuk memberikan respon balasan.
Lucas masih memejamkan mata, seolah ingin mengabadikan detik-detik tenang, dimana ia jauh dari kata resah. Amori yang biasanya selalu resah ketika berada di dekatnya, kini benar-benar berbaring nyaman di dalam dekapannya. Dengan sukarela, bukan karena sedang menangis karena habis ditampar mantan kekasihnya seperti terakhir kali.
“Saya harap kamu nggak akan menjauh lagi, Amor. Saya nyaman banget, ngehabisin waktu sama kamu.” Lucas tak mengharapkan jawaban dari Amori. Ia sadar bahwa Amori butuh banyak waktu untuk menyesuaikan dirinya. Tapi tak disangka, gadis itu memberikannya respon yang tidak pernah Lucas bayangkan.
“Hmm, saya juga.” bisik Amori, yang masih bisa didengar jelas oleh Lucas yang tidak bisa menahan diri untuk terkekeh puas dan mendekap Amori semakin erat. Tapi tawa mereka tak bertahan lama karena pintu kamar Lucas tiba-tiba saja terbuka dan wajah Dani yang canggung muncul di sela pintu.
“Jangan marah, gue udah ngetuk dua kali tapi nggak ada yang jawab. Makanya gue nekat buka.” Lucas berdecak. Ia dan Amori bergerak kompak bangun dari pembaringan mereka. Dani yang masih salah tingkah melihat sikap langka Lucas, mengalihak tatapan ke sesisi kamar yang tiba-tiba banyak sekali barang. “Lo mau gue beliin tenda nggak, Luke? Bisa-bisanya lo punya set kompor listrik.”
Amori melihat ke arah yang Dani tunjuk dan matanya melebar. Ia tidak sadar ada kotak berukuran lumayan besar berisi kompor portable yang biasa dibawa oleh orang-orang yang suka beraktifitas di alam. “Ada apa?” tanya Lucas tak peduli dengan celotehan Dani.
“Gue mau keluar, buat bahas kontrak sama brand parfum yang waktu itu lo janjiin.” alis Dani naik turun, mengingatkan Lucas tentang janji yang dibuat sebagai bayaran agar Dani mau mencari informasi lengkap tentang Amori lewat Nora. “Lo, beneran oke kan? Nggak akan berubah pikiran, kan?”
“Ck, yaudah sana.” Dani memekik kecil dengan senyum lebarnya. “Yaudah, gue jalan. Mor, jangan lupa mulai nanti malam jam 9 Lucas harus puasa.”
“Oh iya, untuk kamu ngingetin aku Dan. Aku harus catet lagi, biar ngga lupa. Handphone ku mana ya?” Amori turun dari ranjang Lucas, menoleh kesana-sini dan ketika tidak menemukan ponselnya dimanapun, ia keluar dari sana dengan membawa wadah bekas cemilan siangnya dengan Lucas.
“Ganggu terus lo.” Dani terkekeh melihat wajah jengkel Lucas yang juga keluar dari kamar, tentu saja untuk mengikuti Amori.
“Idih, manja banget maunya ngetek terus.”
“Ngetek?” tanya Lucas dengan kening yang berkerut. Membuat Dani tertawa dan semakin menggodanya. Pria itu pun berlalu ketika Lucas semakin jengkel. Meninggalkan Lucas yang kembali mencari Amori tanpa penjelasan.
Lucas menemukan Amori di dapur, sedang menatap ponselnya yang berdering karena panggilan masuk. “Siapa?”
“Ibu. Sebentar ya.” kata Amori sambil berjalan agak menjauh dari Lucas yang duduk di kursi pantry.
“Halo, Bu?” mendengar dengan siapa Amori bicara, Lucas langsung menajamkan telinganya. Setiap gerak-gerik dan gerakan mulut Amori ia perhatikan dengan lekat. Gadis itu terlihat berbicara dengan sangat hati-hati. Nada suaranya bahkan terdengar sangat lembut dan patuh.
Lucas jadi menerka, apakah ibu dari gadis yang berhasil menyita perhatiannya itu adalah sosok yang mengintimidasi? Ataukah hubungan antara ibu dan putri itu memang setegang itu?
Lalu ekspresi Amori yang berubah membuat Lucas bangun dari duduknya. Amori yang melihat gerakannya pun menghentikan Lucas yang akan berjalan mendekatinya lewat tatapan. “Ah, iya Bu. Nanti aku atur.” katanya sebelum mereka berpamitan dan panggilan diakhiri.
“Kenapa?” tanya Lucas pada Amori yang masih berdiri tegang di tempatnya.
“Aku, kayaknya harus cuti.” cicit Amori. Membuat dada Lucas menciut tak tenang.
***
Bersambung....