Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 – Kehangatan yang Bertumbuh
Usia Celin sudah menginjak empat tahun. Waktu berjalan begitu cepat, seolah baru kemarin ia menatap rumah besar keluarga Bagaskara dengan rasa kagum sambil menyebutnya "istana". Kini, ia sudah hafal setiap sudut rumah, setiap aroma bunga di taman, bahkan suara-suara langkah pelayan yang berlalu-lalang.
Boneka kelinci lusuhnya masih jadi teman tidur, tapi kini ia tak lagi kesepian. Di sekitarnya, ada banyak orang yang menyayanginya. Oma Ratna yang selalu menyiapkan susu hangat sebelum tidur, Opa Pranoto yang diam-diam membelikan buku bergambar karena tahu Celin suka membaca, juga para tante dan sepupu yang sering menemaninya bermain.
Namun yang paling membuat Celin merasa lengkap adalah Arini dan Bagas. "Mama" dan "Papa" — dua kata yang dulu terasa asing, kini sudah melekat kuat di hatinya.
----
Sejak awal, Arini menyadari ada hal berbeda dari Celin. Anak itu punya ingatan tajam dan rasa ingin tahu tinggi. Di usia empat tahun, ia sudah bisa menyusun kalimat dengan baik, bahkan kadang bertanya hal-hal yang membuat orang dewasa terdiam.
Suatu pagi, saat mereka sarapan, Celin menatap Bagas yang sedang membaca koran.
“Papa, kenapa orang di kertas itu marah?” tanyanya sambil menunjuk foto seorang pejabat dengan wajah serius.
Bagas terkejut, lalu terkekeh. “Itu bukan marah, sayang. Dia lagi serius kerja.”
“Kalau kerja harus marah, Pa?” tanyanya lagi polos.
Arini yang duduk di sampingnya langsung tertawa kecil. “Nggak, Celin. Kerja itu serius, tapi bukan berarti marah. Jadi kalau Celin belajar nanti, jangan marah ya, cukup serius.”
Celin mengangguk pelan, lalu menirukan wajah serius sambil menatap piringnya. Semua orang di meja makan tertawa melihat tingkahnya.
Selain kepintarannya, Celin juga punya kepekaan tinggi. Ia bisa merasakan kalau Arini sedang lelah, atau Bagas sedang banyak pikiran. Dalam diam, ia akan duduk di samping, menggenggam tangan mereka.
---
Suatu malam, ketika Arini pulang larut karena tugas rumah sakit, Celin menungguinya di ruang tamu sambil memeluk boneka kelinci. Begitu Arini masuk dengan wajah letih, Celin langsung menghampiri.
“Mama capek ya?” tanyanya lirih.
Arini tertegun. Ia mengangguk sambil tersenyum. “Iya, sayang. Kok Celin tahu?”
“Karena mata Mama sedih.” jawab Celin
Hati Arini langsung meleleh. Ia mengangkat Celin ke pangkuannya, memeluk erat. “Anak Mama pintar banget.”
Meski bahagia dengan kehadiran Celin, jauh di lubuk hati Arini masih menyimpan satu kerinduan: memiliki anak kandung sendiri. Bukan karena membedakan, tapi karena ia dan Bagas sudah lama menanti.
Doa demi doa mereka panjatkan, meski keduanya tak pernah menunjukkan rasa kecewa jika hasil selalu nihil. Mereka sudah merasa cukup dengan Celin. Namun Tuhan rupanya punya rencana lain.
Suatu pagi, Arini merasa tubuhnya mudah lelah. Ia sering mual, bahkan pusing berhari-hari. Bagas khawatir, mengira istrinya sakit.
Mereka pergi memeriksakan diri ke dokter. Setelah serangkaian tes, kabar itu datang.
“Selamat, Bu Arini. Anda hamil,” ucap sang dokter dengan senyum hangat.
Arini membeku di kursinya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Bagas langsung meraih tangannya, ikut terharu. Empat tahun penantian, doa mereka akhirnya dijawab.
Di perjalanan pulang, Bagas tak henti-hentinya mengusap punggung istrinya. “Arin… kita bakal jadi orang tua lagi.”
Arini tersenyum, matanya berbinar. “Iya, Mas. Tapi aku juga takut… jangan sampai Celin merasa tersisih.”
Bagas menggeleng mantap. “Celin itu anugerah pertama kita. Nggak ada yang bisa gantiin dia. Kita bakal pastiin dia tetap jadi cahaya kecil kita.”
...----------------...
Sore itu, Arini duduk di ruang keluarga dengan Celin di pangkuannya. Anak kecil itu tengah menggambar kelinci di atas kertas.
“Celin sayang,” ucap Arini pelan.
“Hmm?” Celin menoleh dengan mata polosnya.
“Mama punya kabar. Nanti, Celin bakal punya adik bayi.” ujar Arini
Celin terdiam. Pensil warna di tangannya jatuh ke karpet. Matanya melebar. “Adik? Di mana, Ma?”
Arini tertawa kecil sambil mengusap perutnya. “Di sini. Lagi tidur di perut Mama. Nanti kalau sudah besar, adik akan keluar.”
Celin menunduk, lalu menempelkan telinganya ke perut Arini. “Halo, adik…” bisiknya.
Arini menahan tangis. Bagas yang melihat dari pintu ikut tersenyum haru.
“Adik bisa dengar aku, Ma?” tanya Celin penuh penasaran.
“Bisa,” jawab Arini. “Kalau Celin sering ajak ngobrol, adik akan kenal suara Celin nanti.”
Mata Celin berbinar. “Aku janji jagain adik. Aku kakak, kan?”
Arini mengangguk. “Iya, sayang. Kamu kakak sekarang.”
---
Hari-hari berlalu dengan suasana berbeda. Setiap pagi, Celin selalu mengingatkan Arini untuk minum susu. Ia juga sering mengambilkan bantal tambahan untuk sang mama.
“Biar adik nyaman, Ma,” katanya sambil menyusun bantal di sofa.
Kadang ia ikut menemani Arini kontrol ke dokter. Dengan penuh rasa ingin tahu, Celin menatap layar USG, melihat titik-titik kecil bergerak.
“Itu… adik?” bisiknya.
Dokter tersenyum. “Iya, itu adik Celin. Sehat sekali.”
Celin menepuk tangannya pelan, seolah memberi semangat. “Ayo, adik… cepat keluar. Aku mau main bareng.”
Seluruh ruangan tertawa melihat tingkah polosnya.
Namun tak jarang Celin juga merasa cemas. Suatu malam, ketika Arini mengeluh pegal, Celin menatap dengan wajah panik.
“Mama sakit? Adik nakal?” tanyanya polos.
Arini buru-buru mengusap pipinya. “Nggak, sayang. Mama nggak sakit. Adik cuma lagi tumbuh. Itu wajar.”
Celin mengangguk, lalu membelai perut Arini. “Jangan nakal ya, adik. Bikin Mama sakit nanti aku marah.”
Dan dalam sekejap sang adik diam tidak bergerak kuat, mereka seakan mengerti dengan ucapan Celin
-----
Kabar kehamilan Arini membuat seluruh keluarga Bagaskara bersukacita. Oma Ratna langsung menyiapkan makanan sehat khusus. Opa Pranoto bahkan membelikan kursi goyang agar Arini bisa beristirahat dengan nyaman.
Namun yang paling antusias justru Celin. Ia sering menceritakan pada semua orang bahwa ia akan jadi kakak.
“Adikku ada dua,” katanya suatu hari dengan bangga di depan sepupu-sepupunya.
“Dua?” tanya sepupunya bingung.
“Iya. Aku sama kelinci, terus nanti adik bayi. Jadi tiga deh!” jawabnya polos.
Semua orang tertawa.
Arini dan Bagas merasa bersyukur. Mereka tahu, dengan dukungan keluarga besar, Celin tak akan pernah merasa tersisih meski nanti ada bayi baru.
Bulan demi bulan berlalu. Perut Arini semakin membesar. Celin semakin rajin menemani. Ia sering duduk di kamar sambil membacakan dongeng dari buku bergambar, katanya untuk adiknya.
Suatu malam, saat hujan turun deras, Celin menolak tidur di kamarnya sendiri. Ia memilih tidur di samping Arini, dengan tangan mungilnya menempel di perut sang mama.
“Aku jagain Mama sama adik,” bisiknya sebelum tertidur.
Arini menatapnya lama, lalu mengecup dahinya. Air mata haru jatuh membasahi pipinya.
Di hatinya, ia yakin: Celin bukan hanya cahaya kecil yang datang menyembuhkan luka masa lalu. Ia adalah alasan Tuhan mempercayakan kebahagiaan baru untuk keluarga Bagaskara.
Bersambung…
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭