NovelToon NovelToon
Skandal Tuan Playboy

Skandal Tuan Playboy

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / CEO / Playboy / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.

Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.

Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.

Rencana, Dusta, dan Hasrat

Pulang larut yang selama beberapa minggu terakhir jadi kebiasaan Bastian, kini sedikit berkurang. Ia mulai pulang lebih cepat, meski hanya selisih satu jam. Namun, setiap kali menjejakkan kaki di rumah, pemandangan yang ia temui nyaris sama. Sena baru saja pulang. Kadang masih di kamar mandi, kadang masih lengkap dengan riasan di wajahnya. Akhir-akhir ini, wajah Sena pun terlihat sangat lelah, seolah menyimpan sesuatu yang tak ia ceritakan.

Tentu saja Bastian tidak tinggal diam. Ia menginginkan jawaban.

“Kau baru pulang, Sena?” tanyanya, suaranya berat, matanya mengikuti langkah wanita yang baru keluar dari kamar mandi.

“I… iya.”

“Dari mana saja? Kenapa baru pulang? Kau sering pulang malam sekarang?”

“Aku… sering main ke rumah Clea. Aku bosan di rumah terus. Aku juga bantuin dia revisi skripsinya,” jawab Sena, mencoba terdengar tenang.

Dahi Bastian mengernyit, matanya menyipit, membaca setiap gestur kecil di wajah istrinya. “Lain kali suruh dia saja yang datang ke sini.”

“Oke, Bastian,” jawab Sena singkat.

Sesederhana itu. Percakapan mereka berakhir di sana. Sena kini jauh lebih lihai dalam berbohong. Entah sampai kapan ia mampu terus mempertahankan sandiwara ini tanpa ketahuan.

...****************...

Adiwangsa Group Tbk.

Arya mendatangi Bastian di ruang kerjanya. Mereka baru saja menuntaskan diskusi panjang tentang perluasan sektor bisnis yang mereka jalankan bersama.

Satu jam berlalu, kesepakatan telah dibuat, tapi Arya tak langsung pergi. Ia malah bersandar santai di sofa, matanya menatap Bastian dengan senyum tipis yang penuh maksud.

“Bagaimana kehidupan pernikahanmu, Bas?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya ringan namun sarat sindiran.

“Biasa saja,” sahut Bastian datar, menutup map yang sedari tadi ia baca. “Tak ada yang benar-benar berubah dari hidupku sebelumnya. Satu-satunya yang berbeda, sekarang selalu ada seorang wanita yang tidur di sampingku.”

Arya terkekeh pelan, menyandarkan lengannya di sandaran sofa. “Bukannya dari dulu juga selalu ada wanita yang tidur di sampingmu setiap malam?” ucapnya menyindir, mengingat reputasi playboy Bastian yang tak terbantahkan.

Bastian hanya memutar bola matanya malas. Tak ingin menanggapi.

“Jadi, kapan kau akan lepaskan Sena?” Arya kembali meluncurkan pertanyaan yang lebih menusuk.

“Setelah dia melahirkan bayi itu,” jawab Bastian santai, “Dan setelah bayi itu ada di tanganku.”

Arya menaikkan sebelah alisnya. “Jadi kau akan memisahkan anak dan ibunya?”

“Bukan memisahkan,” Bastian merapatkan jasnya, tenang. “Mereka tetap bisa bertemu. Kau tadi hanya bertanya kapan aku lepaskan wanita itu.”

Arya mencondongkan tubuhnya, senyum licik mengembang di wajahnya. “Jadi… aku bisa mendapatkan Sena setelah dia cerai darimu?”

“Kalau Sena mau,” Bastian mengangkat bahunya ringan. “Silahkan kau menikahinya juga.”

Arya tertawa kecil, matanya berkilat dengan rasa tak sabar. “Aku tidak sabar menunggu jandanya Sena.”

Senyum Arya penuh arti. Bahkan ia sendiri tak yakin Bastian akan benar-benar melepaskan Sena begitu saja. Tapi satu hal yang pasti, permainan ini belum selesai.

Nasib, mungkin, akan menentukan sendiri siapa yang benar-benar menang pada akhirnya.

...****************...

Sore itu, hujan turun deras, menyiram kaca-kaca tinggi Penthouse Bastian. Ia baru saja pulang lebih awal dari kantor, sesuatu yang jarang ia lakukan. Kepala pusing, hati tak tenang. Seperti ada yang memanggilnya pulang, meski tak tahu kenapa.

Begitu pintu penthouse terbuka, Ia melangkah pelan ke kamarnya, ketika ia ingin ke kamar mandi matanya menangkap sesuatu di meja kecil sebelah tempat tidur. Sebuah nota pembelian layer ungu.

Bastian mengambilnya.

“Pembayaran: Americano & Croissant — Cloéa Café”

Tapi bukan itu yang membuat Bastian membeku. Di bagian bawah nota itu, ada catatan kaki tambahan,

Terima kasih atas kunjungannya.

Kasir: Senara – 20.12.

Deg.

Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Otaknya menyatukan potongan yang selama ini tak pernah ia pikirkan serius. Alasan Sena pulang larut, kebohongan kecil soal kue yang dibelinya, alasan aneh soal pergi keluar malam.

Sena Bekerja.

Dalam keadaan hamil.

… … …

Langkah Bastian berat, cepat, penuh amarah. Penthouse seketika terasa sempit. Nafasnya naik-turun, dan sebelum ia sadar, suara pintu terbuka ketika Sena pulang dengan wajah lelah, membawa kantong plastik kecil berisi roti dan susu.

Bastian berdiri di tengah ruang tamu, tinggi, tegang, matanya tajam menembus tubuh Sena.

Sena terkejut. “Bastian? Kamu udah pulang?”

“Diam.”

Nada suaranya rendah. Bukan marah biasa ini marah yang lahir dari luka dan rasa bersalah yang tak mau diakui.

“Apa yang kau lakukan, Sena?”

Sena terdiam. Tangannya mencengkeram erat plastik belanjaannya. “Maksudmu?”

Bastian berjalan mendekat, satu langkah… dua langkah. Setiap langkahnya seperti menekan udara, menekan hati Sena.

“Kau bekerja?”

Pertanyaan itu jatuh seperti palu di ruang yang tiba-tiba terasa pengap.

Sena membuka mulut, menelan ludah. “Bastian, aku bisa jelaskan—”

“KAU BEKERJA?!” Suara Bastian meledak, membelah suara hujan di balik kaca.

Sena tersentak. Matanya membesar. Nafasnya tertahan.

“Apa kau tidak punya otak?!” bentak Bastian. “Kau sedang hamil, Sena! bukan satu, tapi dua nyawa kau bawa di tubuhmu! Dan kau malah sibuk jadi kasir murahan di kafe itu?”

Sena menunduk. Tubuhnya bergetar.

“Aku bekerja untuk diriku, untuk anak yang ku kandung Bastian,” ucapnya lirih, nyaris patah. “Aku hanya ingin… sedikit merasa mandiri. Aku tidak mau semua yang kupunya berasal dari belas kasih orang lain.”

Bastian tertawa kecil. Terdengar sinis dan getir. “Kau mengandung anakku! Apapun yang kau makan itu juga termasuk tanggung jawabku! suaranya tercekat sesaat, “kau bahkan tidak pernah minta satu pun dariku. Kau menanggung semuanya sendiri. Kau menyembunyikan semuanya. Kau pikir aku bangga, hah?!”

Sena menutup mulutnya, menahan isak. Air mata mulai jatuh meski ia berusaha kuat. Tidak tahu mengapa, menurutnya tatapan Bastian sekarang adalah tatapan yang paling menyeramkan. Dia takut.

“Aku tidak ingin merepotkanmu, Bas. Aku takut kamu akan marah jika aku meminta sesuatu yang aneh. Aku takut kamu bukan hanya marah kepadaku tapi juga kepada anakku.”

Itu adalah kalimat yang menampar Bastian paling keras.

Pria itu menunduk, rahangnya mengencang. Amarah dan rasa bersalah bercampur jadi satu. Ia mendekat, lalu mencengkeram lengan Sena kuat.

“Dengar baik-baik, Sena.” Suaranya kini berat, “Kau tidak merepotkan. Kau sekarang tanggung jawabku. Kau bawa anakku. Harusnya aku yang penuhi semua kebutuhanmu, bukan kau yang sembunyi-sembunyi kerja di belakangku.”

Sena menatap Bastian, matanya berkaca-kaca, bibirnya gemetar.

Bastian menarik napas dalam-dalam, lalu menundukkan kepalanya, suaranya turun lebih pelan tapi tetap tajam, “Mulai sekarang, aku tidak mau lihat kau kerja lagi. Tidak sekali pun.”

Sena ingin membantah, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Yang tersisa hanya hening panjang, berat, menekan dada keduanya.

“Aku tidak akan memberi tahu hal ini kepada Ravian. Sampai ku tahu kau pergi bekerja lagi, aku akan memberi tahu kelakuanmu ini pada Ravian. Jangan bermain di belakangku Sena” ucap Bastian sebelum dia meninggalkan Sena sendiri disana.

Setelah kemarahan Bastian kepada Sena, Bastian dengan segera mengganti kemeja formalnya dengan kaos hitam dan celana pendek santai. Ia mengambil kunci mobil, melangkah keluar kamar, dan melewati ruang tamu.

Di ruang tamu, Sena duduk di depan televisi, wajahnya sayu, matanya sesekali melirik ke arah pintu. Bastian berjalan melewatinya begitu saja. Tidak ada sapa, tidak ada pandang, hanya jarak yang terasa seperti jurang.

Sena hendak memanggilnya. Bibirnya sudah terbuka. Tapi ketika matanya menangkap sorot Bastian yang tak sekalipun mau melihatnya, niat itu luruh begitu saja.

...****************...

Sekarang, di sinilah Bastian.

Sebuah klub malam ternama, tempat para pengunjung VIP datang untuk melupakan dunia, tidak hanya para pengunjungnya yang berasal dari kelas atas, bahkan wanita-wanita pemuas nafsu disini juga levelnya lebih tinggi dibanding wanita di klub-klub lain.

“Aku ingin ditemani wanita yang berwajah polos tapi liar” ucap Bastian datar kepada salah satu kepala yang mengatur wanita-wanita itu.

“Siap, Tuan. Saya tahu siapa yang cocok untuk Anda.”

Bastian langsung diarahkan ke ruangan VIP. Sebuah ruang gelap dengan cahaya lembut, musik bass berat bergetar samar melalui dindingnya. Botol-botol alkohol mahal berderet di meja, pantulan cahaya membuatnya seperti permata cair.

Tak lama, pintu berderit terbuka. Masuklah seorang wanita berambut hitam panjang, kulitnya pucat seperti porselen, wajahnya manis, polos seperti gadis desa, namun tatapan matanya sangat menggoda.

Persis seperti yang ia minta.

“Hai Tuan,” suaranya lembut, nyaris berbisik. “Boleh aku temani?”

Bastian mengangguk malas, matanya menelusuri tubuh wanita itu tanpa rasa sungkan. “Tuangkan minuman itu,” ujarnya, menunjuk botol di meja.

Wanita itu bergerak lihai, menuang, dan menyodorkan gelas pada Bastian, lalu ikut meminumnya. Gerakannya menggoda tanpa paksaan, halus, dan penuh siasat. Setiap sentuhan kecil di bahu Bastian, setiap lirikan matanya, terasa seperti undangan yang terselubung dan itu membuat darah Bastian mendidih.

Hasratnya sudah mendesak. Bastian tidak bisa menyentuh Sena, karena tubuh wanita itu sedang hamil muda, dan rapuh. Tapi dirinya? Dirinya terbakar, frustasi, ingin melepaskan semua kemarahan dan rasa bersalah dalam satu cara yang paling rendah dan paling manusiawi.

Dengan segera Bastian menarik wanita itu ke arahnya, mencium bibirnya dengan ganas. Di luar dugaan wanita itu membalas dengan lebih liar, lebih basah, dan lebih panas.

Ciuman itu berubah jadi pertarungan penuh gairah. Air liur mereka bercampur, menetes di sudut bibir, jatuh ke sofa empuk yang mereka duduki.

Wanita itu memanjat ke pangkuan Bastian, melingkarkan tangannya di leher pria itu, tubuh mereka saling menekan tanpa jeda.

Malam itu berubah menjadi badai di balik pintu VIP.

Pakaian terlepas satu per satu. Sentuhan, rabaan, gigitan, desahan. Semuanya bercampur jadi satu, liar, panas, memabukkan.

Dan akhirnya, di balik dinding kedap suara klub itu, dua tubuh melepaskan gairahnya masing-masing.

Mereka bertukar cairan di bawah sana.

...----------------...

^^^Cheers, ^^^

^^^Gadis Rona^^^

1
Rizky Muhammad
Aku merasa terkesima sampai lupa waktu ketika membaca karyamu, thor. Jangan berhenti ya! 🌟
Gadis Rona: Hai terima kasih sudah baca karya pertamaku bikin aku makin semangat nulis🥰
total 1 replies
elayn owo
Penuh empati. 🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!