Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Tunggu!"
Suara berat dan penuh wibawa yang muncul dari depan menyita perhatian semua orang. Seketika suasana menjadi menegangkan, hawa dingin terasa menusuk, padahal matahari berada tepat di puncaknya.
"Juragan!" Ki Barjah berdiri menyambut kedatangan orang nomor satu di desa Munding itu.
"Ju-juragan?" Lidah Asep kelu, peluh semakin banyak bercucuran di wajahnya.
Patma meringis hingga air mata yang berbaur dengan keringat pun tak terasa di kulitnya. Terlebih Sari, yang bergetar ketakutan hanya dengan mendengar suaranya saja.
Wulan tertegun, meneguk saliva kepayahan. Di sisi kanan juragan ada Kang Sumar, dan sisi kirinya adalah sosok pengawal bayangan, Panji yang menutupi wajahnya dengan topeng.
"Juragan, silahkan!" Ki Barjah mempersilahkan juragan untuk duduk di kursi samping dia duduk. Berhadapan langsung dengan Wulan, yang terlihat kikuk.
"Bi, kenapa Juragan datang ke sini? Bukannya Juragan sibuk dengan pekerjaan?" bisik Wulan kepada Bi Sumi.
"Saya tidak tahu, Nyai. Mungkin saja ketika mau pergi bekerja melihat kegaduhan dan kebetulan lewat di sini," ujar Bi Sumi yang juga tak menduga dengan kedatangan juragan.
"Saya dengar barang-barang istri saya dicuri di sini. Ada banyak barang berharga yang hilang, juga uang yang tidak sedikit. Apa benar, Ki?" tanya juragan Nata dengan suara yang khas dan mampu menggetarkan hati semua orang.
"Benar, Juragan. Barang-barang yang di tangan Bi Sumi adalah buktinya. Barang itu baru saja diambil dari Patma dan Sari. Hanya saja, uangnya sudah berkurang lumayan banyak," jawab Ki Barjah menunjukkan barang-barang di hadapan Bi Sumi yang baru saja dikembalikan oleh Patma dan Sari.
"Ibu!" Sari melirih, menangis nyaris tanpa suara.
"Oh!" Juragan Nata menatap dengan mata memicing, di antara barang-barang itu ada benda paling berharga miliknya. Yaitu, gelang peninggalan sang ibu.
"Berani sekali mencuri milik istri saya. Hukuman adat saja saya rasa tidaklah cukup. Saya ingin tangan si pencuri ini dipotong sebagai hukuman karena mengambil hak orang, dan agar diingat oleh semua penduduk seandainya ada yang berniat mencuri lagi," ujar Juragan seraya berpaling menatap Patma dan Sari yang sudah berkeringat dingin.
"Ampun, Juragan! Ampun! Kami bersedia diasingkan, tapi tolong jangan potong tangan kami, Juragan. Terlebih Sari, dia belum menikah. Ampuni kami, Juragan!" ratap Asep dengan dada yang sesak dan air mata berjatuhan deras.
Juragan melengos, menghindari tatapan memelas Asep. Berpaling laki-laki tak berdaya itu kepada Wulan, meminta bekas kasihan anaknya.
"Wulan, tolong bilang pada Juragan jangan memotong tangan Sari. Bagaimanapun dia adalah adikmu dan belum menikah. Jangan hancurkan masa depannya, Wulan! Bapak mohon padamu!" mohon Asep diiringi suara batuk.
Wulan melirik juragan yang juga tengah menatapnya. Ia akan menerima semua keputusan Wulan mengingat Asep adalah bapak kandung istri kecilnya itu.
"Kalau Bapak kasihan terhadap Sari, maka Bapak bisa menggantikannya," ujar Wulan tanpa menatap Asep yang meratap di lantai.
Hatinya sakit mengingat Asep sangat menyayangi dan memanjakan Sari. Sementara ia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Asep selalu menatapnya sinis, memperlakukannya dengan tidak adil.
"Wulan! Ini bapakmu!" Asep menekan kata-katanya. Mengingatkan Wulan bahwa adalah bapaknya.
"Ya. Tidak perlu diingatkan saya juga tahu. Kamu adalah bapak saya, bapak yang tidak pernah menyayangi saya. Bapak yang selalu berlaku tidak adil terhadap saya. Bapak dengan tangan yang seharusnya merangkul tubuh ini, dia justru membuangnya ke gunung yang dipenuhi binatang buas. Jika bukan karena nasib saya yang baik, mungkin saya sudah mati di gunung itu!" ucap Wulan dengan mata merah menyala, dan air menggenang di kedua sudutnya.
Kurang ajar kamu, Asep. Kamu buat Wulan menderita seperti itu. Lihat saja apa yang akan saya lakukan terhadapmu!
Juragan mengancam, tangannya mengepal erat. Menyimpan amarah dalam setiap buku jari yang terlipat.
"Saya setuju. Biarkan Asep dan Patma menanggung kesalahan anaknya itu!" ujar juragan menegaskan keputusan Wulan.
Matanya menatap tajam pada istri kecil yang menunduk mengusap air matanya. Asep dan Patma membelalak, keputusan akhir Juragan adalah tidak bisa diganggu gugat.
Juragan bangkit diikuti oleh Ki Barjah dan anak buahnya.
"Ayo, Nyai! Pulang bersama saya," katanya mengajak Wulan untuk pulang.
Wulan beranjak, menyambut uluran tangan juragan dan pergi tanpa menoleh ke belakang.
"Wulan! Kamu tega, Wulan!" jerit Asep tak berdaya.
"Kalian semua mendengarnya? Laksanakan perintah juragan!" ucap Ki Barjah.
"Siap, Ki!"
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa