Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Aman
"Siapa nih, yang tadi kepanasan? Cemburu, ya?" Haidar menggoda Emily yang ternyata sampai ke rumah masih cemberut.Lebih tepatnya baru sampai tersa rumah dan sedang membuka sepatunya.
Emily memalingkan wajahnya dan fokus membuka sepatu, tidak ingin melihat Haidar.
Karena merasa gemas Haidar langsung memeluk Emily dan mengecup pipinya yang memerah.
"Mas, jangan begitu… nanti ada yang melihat," Emily langsung mendorong pelan dada Haidar. Pipinya semakin merona, apalagi dia tahu di rumah ada Rakha dan Indira. Seperrinya beberapa hari ini Rakha masih belum bekerja. Dia masih membuat keluarganya merasa aman terlebih dahulu.
Haidar terkekeh kecil. "Lagian kamu manis banget kalau cemburu. Aku jadi maunya godain terus. Apalagi tadi waktu di kelas."
"Siapa yang cemburu," elak Emily, menunduk sambil membereskan sepatunya di rak sepatu.
Haidar menunduk, mencoba menangkap tatapan istri bocilnya. "Bilang aja kalau kamu takut aku beneran sama Linda."
Emily terdiam sejenak, hatinya berdebar. "Aku… cuma nggak suka kamu terlalu baik sama dia. Dia jadi suka salah paham."
Haidar tersenyum lembut. Tangannya meraih dagu Emily, mengangkat wajahnya supaya mereka saling menatap. "Aku sudah bilang, kan? Yang aku sayang cuma kamu. Mau berapa pun cewek pamer di kelas, nggak akan ada yang bisa gantiin kamu."
Emily akhirnya tersenyum tipis, meski masih ada sisa kesal. "Ya udah, tapi jangan bikin aku malu lagi di depan teman-teman, ya."
"Siap, Sayang," jawab Haidar sambil mencubit gemas hidung Emily. "Tapi jangan marah lama-lama. Aku bisa nggak tahan kalau kamu pasang wajah cemberut kayak tadi."
Emily mendengus kecil, pura-pura merengut lagi. Namun, di dalam hati, perasaan hangat mengalir karena ia tahu Haidar berusaha meyakinkannya.
Sementara itu, Indira yang dari tadi duduk di ruang tamu pura-pura sibuk dengan laptopnya, sesekali melirik ke arah Emily dan Haidar. Ia melihat jelas perubahan di wajah putrinya—yang tadi pulang dengan wajah kusut, sekarang sudah bisa tersenyum lagi meski malu-malu.
Hatinya ikut lega. "Alhamdulillah… akhirnya Emily bisa tersenyum lagi. Semoga dia benar-benar menemukan ketenangan bersama Haidar," batin Indira sambil menghela napas panjang penuh rasa syukur.
"Lily, sini bantuin Bunda edit, yuk," panggil Indira lembut.
Emily menoleh, lalu berjalan ke arah ibunya dengan pipi masih merona. "Iya, Bun."
Haidar hanya tersenyum kecil, sengaja membiarkan Emily pergi agar tidak semakin digoda. Tapi sebelum istrinya benar-benar duduk di samping Indira, Haidar sempat berbisik pelan.
"Jangan kabur lama-lama, nanti aku kangen," ucapnya sambil tersenyum nakal. Haidar meninggalkan Emily untuk ke kamar.
Emily langsung mencubit lengannya pelan sebelum buru-buru berlalu. Indira melihat itu, dan diam-diam hatinya semakin tenang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa putrinya benar-benar menemukan tempat untuk bersandar.
***
Malam harinya setelah makan, Emily duduk di samping Indira. Wajahnya tampak sedikit lega dibanding hari-hari sebelumnya. Ia melihat ke arah televisi yang sedang menampilkan berita.
"Bun… beberapa hari ini Bang Rizal nggak muncul lagi. Aku agak tenang, walaupun masih suka was-was kalau keluar rumah," ucap Emily lirih sambil memainkan jarinya.
Bagaimana tidak, karena Rizal Emily menjadi ingin tinggal di rumah bundanya yang jauh dari sekolah. Padahal Soraya di rumahnya hanya bersama asisten rumah tangganya. Tapi Haidar dan Soraya memaklumi karena menurutnya di mana pun Emily tinggal yang pentung merasa aman. Mungkin kedepannya Emily akan kembali ke rumah Haidar.
Indira menepuk lembut tangan putrinya. "Syukurlah, Nak. Tenang saja, ya. Ayahmu sudah tahu semuanya. Bahkan tadi siang Ayah bilang kalau Andry sendiri sudah menegur Rizal dan memintanya jangan muncul lagi di depan kamu."
Emily menoleh cepat. "Maksud Bunda… Om Andry tahu juga soal ini?"
Indira mengangguk pelan. "Iya. Walaupun Ayah masih kecewa, setidaknya Andry mulai sadar kalau ulah anaknya sudah terlalu jauh. Jadi kamu nggak usah terlalu cemas. Ada Ayah, ada suamimu, ada Bunda juga. Kamu nggak sendiri, Sayang."
Emily menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil. "Iya, Bun. Makasih… aku jadi lebih lega dengarnya."
Indira tersenyum, lalu mengusap rambut putrinya dengan penuh kasih sayang. "Kamu harus kuat, Sayang. Jangan kasih kesempatan rasa takutmu menguasai dirimu. Kamu sudah melewati banyak hal, insyaAllah ini pun bisa kamu hadapi."
Emily menunduk, matanya berkaca-kaca tapi kali ini karena rasa haru.
Sementara Emily dan Indira masih berbincang di ruang keluarga, Rakha dan Haidar memilih duduk di teras rumah. Udara malam yang sejuk membuat obrolan mereka terasa lebih tenang, meski hati keduanya tetap penuh kewaspadaan.
"Ayah…" Haidar membuka suara. "Emily memang kelihatan agak tenang, tapi aku bisa lihat dia masih ketakutan. Tatapan matanya itu… belum bisa lepas dari rasa was-was."
Rakha mengangguk berat. "Iya, Nak. Makanya Ayah nggak mau sampai Rizal seenaknya muncul lagi. Apalagi sampai bikin Emily trauma. Dia sudah cukup terluka waktu kecil dulu. Ayah nggak mau itu terulang."
Haidar menggenggam tangannya erat, seolah menahan emosi. "Aku juga nggak akan tinggal diam, Yah. Selama aku di sini, aku bakal jaga Emily sebaik mungkin. Walaupun aku tahu, dia mungkin belum bisa sepenuhnya menganggap aku suami di depan banyak orang."
Rakha menepuk bahu Haidar. "Kamu sudah berbuat lebih dari cukup, Nak. Ayah tahu kamu tulus. Jangan pernah berhenti jaga Emily, meskipun dia belum bisa tunjukkan perasaannya. Justru di saat seperti ini, Emily butuh orang yang sabar mendampinginya."
Haidar menatap Rakha penuh keyakinan. "InsyaAllah, Yah. Aku nggak akan pernah biarkan dia sendiri lagi."
Rakha menarik napas panjang, lalu memandang langit malam. "Ayah juga sudah berpikir, mungkin kita perlu pasang batas lebih tegas. Kalau perlu, kita bisa minta perlindungan resmi. Biar Rizal tahu, Emily bukan gadis kecil yang bisa dia ganggu lagi."
Haidar mengangguk mantap. "Kalau begitu, biar aku yang urus, Yah. Aku akan temani Ayah kapan pun perlu."
Rakha tersenyum samar. "Terima kasih, Nak. Semoga dengan begini, Emily bisa benar-benar merasa aman di rumahnya sendiri."
***
Malam makin larut. Emily dan Haidar sudah berada di kamar mereka, Emily berbaring di tempat tidurnya sambil memeluk guling. Lampu kamar hanya menyisakan cahaya redup, membuat suasana jadi hangat.
Tidak lama, Haidar naik ke atas ranjang dengan pelan. “Aku ganggu nggak?” tanyanya dengan suara rendah.
Emily menoleh sekilas lalu cepat-cepat membalikkan badan menghadap dinding. “Terserah.” jawabnya singkat, meski pipinya bersemu merah.
Haidar terkekeh pelan, lalu ikut berbaring di sebelahnya. “Hm… jadi beneran cemburu tadi, ya?” bisiknya sambil mendekat.
Emily makin menarik selimutnya. “Aku nggak cemburu!” bantahnya cepat, tapi suaranya jelas bergetar. Ia terlentang, menatap langit-langit.
“Yakin?” Haidar mencondongkan tubuh, menatap wajah Emily dari jarak sangat dekat. “Kalau nggak cemburu, kenapa mukanya merah begini?”
Emily berusaha keras menahan senyum. “Kepanasan.” jawabnya pendek.
Haidar pura-pura berpikir. “Oh gitu ya… kalau kepanasan, berarti aku harus bantu dinginkan.”
Sebelum Emily sempat protes, Haidar sudah mengecup keningnya lembut. Emily terdiam, jantungnya berdegup semakin kencang.
“Tenang aja, Sayang,” Haidar berbisik, suaranya hangat dan menenangkan. “Aku di sini, nggak akan ada yang bisa ganggu kamu lagi. Aku janji, aku bakal jaga kamu terus.”
Emily menunduk, tak berani menatap langsung, tapi bibirnya tersungging senyum tipis. “Makasih… aku jadi merasa aman.”
"Ya. Tapi jantung aku gak aman," ucap Haidar.
Emily mengangkat kepalanya, menatap Haidar. "Kenapa?"
Haidar meraih tangannya dan menggenggam erat. Lalu menempelkan ke dadanya. Ia tersenyum.
Emily menundukkan wajahnya, tapi dengan cepat tangan Haidar mengangkat dagu Emily supaya menatap ke arahnya.
"I love you..."
"Hmm..." Emily hanya berdehem.
Cup!
Merasa gemas, Haidar mengecup pipi Emily dan berlanjut ke bibirnya. Sejenak Emily terdiam, tapi kemudian ia pun membalasnya.
"Semakin candu..." ucap Haidar sambil mengecup kening Emily. Kemudian ia mendekap Emily, membiarkan ia berada di pelukannya. "Tidurlah... Aku akan menjagamu."
Haidar tidak tidur sebelum Emily tidur lebih dulu. Dia tidak ingin membuat Emily merasa kecewa kepadanya.
***
"Jadi papa lebih memilih keluarga besar dari pada aku?"
Bersambung