Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Maksudnya?" tanyaku memastikan.
Jika dia juga sudah mengetahui perjodohan itu, kuharap dia duluan yang mulai membahasnya jangan aku.
"Orang tua kita pernah berencana untuk menjodohkan kita, Ibu belum tahu?"
Aku tersentak untuk yang kedua kalinya.
Aku menundukkan kepala. Berani sekali dia bertanya seperti itu. Membuatku salah tingkah dan tak tahu harus apa.
"Bapak tahu dari mana?" Aku melontarkan pertanyaan bodoh.
"Tentu dari orang tuaku," sahutnya.
Dia lalu berdiri, sekilas, kuintip dirinya yang mulai mondar mandir dan terkadang membelakangiku. Penampilannya benar-benar syar'i beda sekali dengan Jasson. Pak Rahman ini sering kali menggunakan jubah atau baju koko.
Sekilas memang dia adalah imam idaman muslimah, tetapi sifatnya yang terlalu dingin dan terkadang kaku tentu menjadi pertimbangan lain bagi wanita mana pun yang dekat dengannya.
"Pernikahan adalah hal yang sakral. Zaman sekarang ini sudah tidak etis lagi jika masih menjodoh-jodohkan," ucapnya kemudian. "Menikah itu tentu dari hati, bukan sekedar dua orang bersahabat dekat lalu berniat menjodohkan anaknya. Bukankah begitu, Bu?" tanyanya.
"Iya, Pak. Benar!" sahutku semangat.
Sepertinya Pak Rahman juga tidak suka dengan perjodohan ini.
"Saya sendiri belum berniat untuk menikah. Memang, menikah itu adalah sunnah. Tetapi dengan catatan sudah harus siap lahir dan batin. Dan saya belum siap untuk itu." Dia kembali duduk di kursinya. Sementara aku masih mematung seperti sebelumnya.
"Saya setuju, Pak. Lalu sebaiknya apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
"Satu-satunya cara, Ibu terima untuk menjadi pembina asrama. Setidaknya tiga menjadi pembina asrama. Setidaknya tiga tahun ke depan kita masih aman dari perjodohan ini. Terlepas dari kita memang berjodoh ataupun tidak. Karna memang jodoh itu rahasia Allah," paparnya.
"Baik, saya akan coba untuk bicara dengan orang tua saya lagi," ucapku.
Dia benar. Menjadi pembina asrama adalah satu-satunya cara. Seperti yang pernah kupikirkan sebelumnya. Cara ini bukan hanya untuk menghindari atau mengundur perjodohan ini. Tetapi juga untuk menunggu kedatangan Jasson bagiku.
***
Akhirnya permohonanku dikabulkan umi dan abi. Tetapi dengan syarat silaturahmi dulu dengan keluarga Pak Yahya. Hari ini mereka akan datang ke sini untuk bersilaturrahmi.
Kata umi dan abi, jika setelah acara silaturrahmi ini, jika aku masih mantap untuk mengambil job menjadi pembina asraama itu nggak apa-apa.
Beberapa saat setelah selesai memasak, tamu yang di tunggu-tunggu datang. Aisyah juga turut hadir di rumah ini. Aku yang sudah sangat dekat dengannya langsung duduk bersebelahan.
"Nak Rahman mana?" tanya umi nggak sabaran ingin bertemu.
"Masih di mobil," sahut Ustaz Yahya.
Aku dan umi serentak menengok ke arah mobil. Gila! Dia benar-benar berbeda. Ternyata Ustaz dingin seperti kulkas itu juga bisa bergaya. Aku cepat-cepat menundukkan pandangan takut ketahuan abi jika aku memperhatikannya.
"Ayo, masuk," ajak umi.
Aku izin pada Aisyah untuk meninggalkannya sebentar. Aku langsung kebelakang untuk menyiapkan minuman dan cemilan yang akan disuguhkan. Kehebohan terdengar dari depan sama, yang paling dominan adalah suara Abi dan Ustaz Yahya.
"Silahkan, Pak, Bu." Aku mempersilahkan mereka untuk mencicipi hidangan. Setelah itu aku duduk lagi di samping Aisyah. "Aku nggak nyangka loh kamu akan dijodohkan sama kakakku," bisiknya.
"Aku juga nggak tahu dengan perjodohan ini, Aisyah," bisikku juga.
Kami lalu ikut serta dalam obrolan hangat para orang tua itu. Sama sekali aku nggak berani lagi melihat ke arah Pak Rahman.
"Nak Nayla umurnya berapa sekarang?"
tanya uminya Pak Rahman.
"24 tahun, Bu," sahutku.
"Wah seumuran dengan Aisyah, ya," ucap wanita anggun itu.
"Iya, Bu," sahutku lagi.
"Harusnya dia juga udah di cariin jodoh nih, Bi," canda abangnya.
Tumben? Tumben sekali dia bisa bercanda. Kupikir kesehariannya nggak pernah tertawa. Kali ini tak tertahan lagi pandanganku ke arahnya. Dia benar-benar berbeda dengan apa yang kulihat di sekolah.
Pantas saja umi dan abi menjadikan silaturrahmi ini sebagai syarat untuk menerima permintaanku untuk tetap menjabat sebagai pembina asrama itu.
"Aku 'kan pembina asrama, jadi, tiga tahun ke depan masih aman," sahut Aisyah yang rupanya juga masih belum berkeinginan untuk menikah.
"Jangan percaya Nayla, Aisyah menjadi pembina yayasan itu tanpa kontrak. Dia di sana hanya sampai ada seseorang yang bisa bapak percaya untuk mengelola asrama itu. Sebentar lagi dia juga akan di jodohkan," papar Ustaz Yahya sepertinya bercanda.
Aku hanya tersipu malu-malu. 'Tahaan, tahan Nayla, jangan sampe luluh. Kamu harus menunggu Jassonmu,' gumamku dalam hati. 'Ya! Aku akan tetap menunggunya. Memulai sesuatu tanpa perasaan itu susah.
Pertemuan pertamaku dengan Jasson waktu itu berbeda. Di pertemuan itu aku langsung deg-degan nggak karuan. Berbeda dengan Pak Rahman ini. Walaupun mereka sama-sama tampan tetapi hatiku punya rasa yang berbeda. Tetapi Nayla berniat untuk di asrama itu, Bi. Kita tetap harus suport niat baiknya." Pak Rahman pasang badan.
Seperti yang dikatakannya kemaren.
Bahwa dia juga belum ingin menikah. Atau bisa jadi juga tidak ingin menikah denganku.
"Ya nggak apa-apa. Nanti bisa kita selesaikan dengan kekeluargaan kontraknya jika memang Nayla ingin mengambil job itu."
Ustaz Yahya memberikan solusi.
Hal itu disambut baik oleh umi dan abi.
Mungkin itu yang terbaik untuk saat ini.
karena kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Mana tahu nanti Jassonku datang. Atau bagaimana jika memang ternyata Pak Rahmanlah jodohku? Gimana kalau setelah melewati banyak hari di pesantren bersamanya memang timbul rasa
suka. Kita semua tak pernah tahu.
Kali ini waktu berlalu begitu cepat.
Keseruan dua keluarga yang sudah seperti besan itu benar-benar seru. Setelah puas mengobrol, pertemuan ini di tutup dengan makan siang dan salat perjamaah yang di imami oleh Pak Rahman.
Usai kepergian mereka, umi langsung mewawancaraiku.
"Nay, benar-benar tampan ternyata anaknya Pak Yahya, ya. Soleh, benar-benar imam yang baik, Nak. Jika kamu melewati kesempatan ini, mungkin kamu nggak akan dapat orang sebaik dia," papar umi.
"Maaf, ya, Mi. Nayla nggak tertarik," ucapku berbohong. Padahal ada sedikit celah yang kini terbuka untuknya.
Aku membenarkan apa yang dikatakan umi di dalam hati. Andai Pak Rahman mau denganku, memang rugi rasanya untuk menolaknya. Tetapi hati nggak bisa bohong jika nama Jasson memang masih ada di dalam hatiku hingga detik ini.
"Jadi kamu tetap akan mengambil job untuk di asrama itu?" tanya umi lesu.
"Iya, Mi." Sahutku mantap.
Kulihat umi dan abi saling pandang dalam kecewa. Bahkan abi nggak bisa mengeluarkan kata-kata apapun lagi.
***
Sampai di sekolah, aku sudah nggak sabar untuk menandatangani surat kontrak itu. Aku juga sudah tidak sabar lagi menjadi pembina asrama bersama Aisyah. Sudah berbulan-bulan rasanya aku terkurung di rumah sejak kembalinya aku ke kota ini. Kini aku sedikit terbabas rasanya walaupun nanti sama-sama berasa dipenjara. Tetapi kali ini aku punya teman.
"Assalamualaikum," sapaku ketika masuk ke kantor yayasan yang di dalamnya terdapat ruangan kepala sekolah.
"Waalaikumsalam," sahut Pak Yahya dan Pak Rahman serentak.
Mereka berdua sama-sama tersenyum ramah padaku. Ada apa ini? Makan apa Pak Rahman ini semalam sampai dia bisa tersenyum semanis itu padaku?
"Pak, aku sudah siap untuk menandatangani surat kontrak itu," ucapku pada Pak Rahman.