Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26•
...Bayi di Bawah Pohon Beringin...
Panas Pekanbaru siang itu menyengat, bahkan menembus lapisan kain kaus yang kupakai. Debu jalanan beterbangan setiap kali truk-truk tua melintas, meninggalkan jejak kelabu di udara. Aku menyeka keringat di dahi, memaksakan senyum kepada Pak RT yang sedari tadi tak henti mengomel soal jadwal ronda. Sejak pindah ke rumah peninggalan kakek di pinggir kota ini, hidupku yang tadinya serba cepat di Jakarta jadi melambat, diwarnai obrolan ringan dengan tetangga, dan sesekali, hal-hal aneh yang tak masuk akal.
Rumah kakek memang nyaman, dengan halaman luas dan pohon mangga yang rindang. Tapi yang paling mencolok, dan entah kenapa paling menarik perhatianku, adalah pohon beringin raksasa di ujung jalan, tepat di seberang rumahku. Akarnya menjalar ke mana-mana, batangnya besar, dan daunnya lebat sampai-sampai menutup cahaya matahari di bawahnya. Warga sini bilang, pohon itu sudah ada sejak zaman Belanda, dan banyak cerita mistis yang menyelimutinya. Aku sih awalnya tak percaya, apalagi aku anak kota yang lumayan skeptis.
Keanehan itu dimulai sekitar dua minggu setelah aku pindah. Setiap malam, terutama saat dini hari, sayup-sayup terdengar suara tangisan bayi. Bukan tangisan keras atau histeris, melainkan tangisan lirih, seolah tertahan, namun cukup jelas untuk membangunkan tidurku. Aku beberapa kali mencoba mencari sumber suara, mengira ada kucing yang terjebak atau anak tetangga yang rewel. Tapi nihil. Suara itu selalu muncul dari arah jalanan, menuju ke pohon beringin itu.
Aku sempat menceritakan hal ini kepada Bu Diah, tetangga sebelah yang ramah dan suka menanam bunga. Bu Diah hanya tersenyum tipis, sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa kumengerti.
"Itu… suara dari sana, Nak Wisnu," katanya sambil menunjuk ke arah beringin. "Sudah biasa. Tak usah terlalu dipikirkan, nanti malah kebawa mimpi."
Jawaban Bu Diah bukannya menenangkan, malah membuatku makin penasaran. Biasa? Biasa bagaimana? Apa ada yang membuang bayi di sana setiap malam? Logikaku berteriak protes.
Malam berikutnya, tangisan itu kembali. Kali ini lebih jelas, lebih mendesak. Aku tak tahan lagi. Dengan senter di tangan dan jantung berdebar kencang, aku keluar rumah. Udara malam dingin menusuk kulit. Jalanan sepi, hanya diterangi rembulan yang bersembunyi di balik awan tipis. Aku melangkah pelan, mengikuti suara tangisan yang kini terdengar lebih dekat, seolah-olah ada di bawah pohon beringin itu.
Semakin mendekat, hawa dingin semakin menusuk. Aroma bunga melati yang kuat tiba-tiba tercium, padahal tak ada bunga melati di sekitar sana. Bulu kudukku meremang. Aku mengarahkan senter ke bawah pohon. Batang-batang akar yang melilit seperti ular raksasa, dan di celah-celah akarnya…
Mataku membelalak. Di sana, di antara akar-akar yang menonjol dari tanah, ada sebuah kain putih lusuh. Dan dari dalam kain itu, tangisan bayi terdengar jelas.
Aku menelan ludah, ragu. Ini nyata. Ada bayi sungguhan di sini. Siapa yang tega membuang bayi di tempat seperti ini? Dengan gemetar, aku mendekat, berjongkok. Kutarik perlahan kain lusuh itu.
Isinya… benar-benar bayi. Kecil, mungil, terbungkus kain bersih, namun dengan wajah yang terlihat pucat. Bayi itu membuka mata sedikit, menatapku dengan mata hitam yang jernih, lalu kembali menangis pelan.
"Ya Tuhan," bisikku. "Apa-apaan ini?"
Aku langsung menggendongnya, merasakan kehangatan tubuh mungilnya. Tangisan bayi itu perlahan mereda. Aku segera membawanya pulang, hatiku campur aduk antara kaget, marah, dan iba.
Sesampainya di rumah, aku langsung menelpon Sari, sahabatku di Jakarta. Sari ini dulunya mahasiswa hukum, jadi dia pasti tahu langkah apa yang harus kuambil.
"Sar, gawat! Aku nemu bayi di bawah pohon beringin!" kataku setengah berteriak.
"Apa?! Bayi? Beneran bayi, Nu? Astaga! Kamu udah lapor polisi?" suara Sari langsung panik.
"Belum, ini baru aja nyampe rumah. Aku bingung harus gimana," jawabku sambil mengusap kepala bayi itu. Bayi itu tampak tenang dalam gendonganku.
Sari memintaku untuk tetap tenang, memotret bayi itu sebagai bukti, dan segera menghubungi polisi serta dinas sosial. Aku mengangguk, lalu bergegas menyiapkan botol susu dan selimut untuk bayi mungil ini. Saat aku sibuk menyiapkan segala sesuatu, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Bayi ini… sangat tenang. Terlalu tenang, setelah pengalaman yang mengerikan ditemukan di sana. Tidak menangis lagi sama sekali. Aku merasa ada yang aneh. Lalu, aku memperhatikan detailnya.
Ketika aku memotretnya, flash kameraku memantul aneh di matanya. Matanya yang tadi terlihat hitam jernih, kini terlihat… kosong. Tidak ada pantulan cahaya, seolah itu adalah dua lubang gelap. Aku bergidik.
Malam itu, setelah polisi datang dan membawa bayi itu ke rumah sakit untuk pemeriksaan, aku tidak bisa tidur. Kejadian itu terus terngiang. Aku menceritakan semua detailnya kepada polisi, termasuk soal suara tangisan dan aroma melati. Polisi hanya mencatat dengan ekspresi datar, seolah sudah terbiasa dengan cerita-cerita aneh di daerah itu.
Keesokan harinya, Bu Diah datang ke rumahku membawa makanan. Wajahnya tampak sedikit khawatir.
"Bagaimana, Nak Wisnu? Bayinya sudah ditangani?" tanyanya lembut.
Aku mengangguk, lalu kuceritakan detail penemuan bayi itu, dan keanehan pada mata bayi itu. Bu Diah menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan.
"Nak Wisnu, apa kau yakin itu bayi manusia?" tanyanya, suaranya pelan sekali.
Aku terdiam. "Maksud Ibu?"
Bu Diah menarik napas panjang. "Pohon beringin itu… dulu ada seorang ibu yang meninggal karena melahirkan di sana. Bayinya juga ikut meninggal. Konon, arwah sang ibu sering mencari bayinya, dan terkadang, arwah bayi itu juga menampakkan diri."
Aku menggeleng. "Tapi ini benar-benar bayi, Bu. Kulitnya, jari-jarinya… persis bayi manusia."
Bu Diah mendekat, menatapku lekat-lekat. "Di dunia ini, ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, Nak Wisnu. Terkadang, sesuatu yang terlihat nyata belum tentu demikian."
Aku merenung. Perkataan Bu Diah terus terngiang di benakku. Lalu, ponselku berdering. Nomor tak dikenal. Aku ragu mengangkatnya, tapi akhirnya kupencet tombol hijau.
"Halo?"
"Dengan Bapak Wisnu?" suara seorang pria, formal dan berat.
"Iya, saya Wisnu."
"Kami dari kepolisian. Ada perkembangan mengenai bayi yang Bapak temukan semalam."
Jantungku berdebar. "Oh, ya? Bagaimana keadaannya?"
"Begini, Pak. Ada kejanggalan dalam kasus ini. Bayi itu… setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter forensik menemukan sesuatu yang sangat aneh."
Aku menahan napas. "Aneh bagaimana?"
"Bayi itu… bukan terbuat dari daging dan tulang, Pak. Melainkan… terbuat dari daun-daunan kering yang dirangkai sedemikian rupa, menyerupai bentuk bayi manusia."
Duniaku terasa berputar. Nafasku tercekat. Aku menjatuhkan ponsel. Suara Bu Diah yang terkejut samar-samar terdengar. Daun kering? Bagaimana bisa? Aku menggendongnya, merasakan kehangatan tubuhnya…
Tiba-tiba, aku teringat kembali detail wajah bayi itu. Kulit pucat, mata kosong tanpa pantulan. Itu bukan mata manusia. Itu adalah ilusi, sebuah jebakan yang dimainkan oleh sesuatu yang ada di balik pohon beringin itu. Tangisan lirih itu, aroma melati, semua adalah bagian dari jebakan.
"Tak mungkin," bisikku, tak percaya.
Bu Diah mendekatiku, wajahnya pucat pasi. "Sudah kubilang, Nak Wisnu… pohon itu tidak sesederhana kelihatannya. Ia menginginkan sesuatu."
Aku terduduk lemas di sofa. Otakku berusaha keras mencerna semua ini. Jadi, yang semalam kugendong, yang kutimang, yang kuanggap bayi manusia malang… adalah sebuah ilusi mengerikan? Sebuah boneka dari daun kering yang diberi kehidupan oleh entitas tak terlihat?
Lalu, apa yang diinginkan entitas itu? Dan kenapa aku yang dipilih?
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ketika kubuka kembali, pandanganku jatuh pada vas bunga di meja. Vas itu berisi bunga melati segar. Dan aku ingat, aku tidak pernah membeli bunga melati. Aroma manis yang menusuk hidung ini… sama persis dengan aroma yang tercium di bawah pohon beringin semalam.
Sebuah bayangan samar melintas di sudut mataku. Di kaca jendela, pantulan diriku tampak samar. Namun di belakang pantulanku, terlihat jelas siluet seorang wanita dengan rambut panjang terurai, tersenyum dingin.
Wanita itu perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke arahku. Aku menoleh ke belakang, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Wanita itu menunjuk lagi, kali ini ke dadaku.
"Dia bukan bayi," bisik suara serak, seolah keluar dari balik dinding. "Dia adalah persembahan."
Aku membeku. Selama ini, aku hanya fokus pada si bayi. Tapi wanita itu, arwah ibu yang meninggal, mungkin bukan satu-satunya entitas yang ada. Ada sesuatu yang lain, yang jauh lebih kuno dan kuat, yang bersembunyi di balik pohon beringin itu, dan ia menggunakan ilusi bayi untuk menarik perhatian.
Persembahan? Apa yang dimaksud persembahan?
Aku menatap bunga melati di vas itu lagi. Aroma manisnya kini terasa memuakkan. Aku tahu sekarang. Malam itu, bukan hanya bayi daun itu yang kuambil. Aku telah membawa masuk sesuatu yang lain ke dalam rumah ini. Sesuatu yang telah lama menunggu, dan kini, telah menemukan pintu masuknya.
Dan pintu masuk itu, adalah diriku.