Impian memiliki rumah tangga harmonis ternyata harus berakhir di usia pernikahan yang ke 24 tahun. Handi sosok suami yang di harapkan bisa melindungi dan membahagiakannya, ternyata malah ikut menyakiti mental dan menghabiskan semua harta mereka sampai tak tersisa. Sampai pada akhirnya semua rahasia terungkap di hadapan keluarga besar ayah dan ibu Erina juga kedua anak mereka yang beranjak dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Enigma Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Nekat
"Terima kasih Radi...sekarang rumah kita sudah sangat bagus", Ibu menangis bahagia sambil memeluk Radi
Radi dan ibu berdiri di depan teras sambil memandangi rumah milik kami yang sudah di renovasi. Seperti mimpi tapi ini nyata.
"Sama-sama bu. Aku yang harusnya bilang terima kasih ke ibu. Karena ibu sudah mengandung, melahirkan, mengurus, membesarkan dan sampai detik ini ibu masih tetap mendoakanku," Radi membalas pelukan ibunya dengan rasa bahagia.
Ibu menangis terharu. Di antara ke lima anaknya hanya Radi anak ke tiga nya yang punya tekad dan niat untuk maju. Tidak seperti ke dua kakaknya yang hanya mengandalkan pemberian mertua dan sudah tidak mau perduli lagi pada dirinya dan bapaknya.
"Sekarang rumah kita sudah lebih baik ya bu. Tapi masih banyak yang kurang. Nanti Radi kumpulkan uang lagi untuk renovasi yang masih kurang" janji Radi pada ibunya.
"Sudah Di, sudah cukup kamu keluarkan biaya. Ini sudah Alhamdulillah lebih dari cukup. Dindingnya sudah pakai batu bata sampai ke atas, genteng sudah di ganti semua, bawahnya sudah di ubin, ibu dan adik-adikmu sudah di belikan kasur empuk. Seneng banget ibu nak," senyum tulus ibu terlihat di wajahnya terlihat lelah.
"Alhamdulillah kalau ibu senang. Lihat itu bu, bapak gak ada capeknya bantu-bantu tukang yang kerja," Radi menunjuk ke arah bapaknya yang sedang merapihkan perkakas milik pak Kardi.
"Pak, sudah to pak. Mbok ya istirahat. Dari pagi bapak kan sudah wara wiri bantu bawa pasir," Yono mengingatkan bapak dari samping rumah.
Bapak tidak menggubrisnya dan tetap melanjutkan membereskan peralatan dan menyapu bersih halaman depan yang masih ada sisa-sisa adukan semen dan pasir
"Bapakmu itu memang yang paling repot. Sibuk mondar mandir ke toko material pakai sepeda mbok Giyem. Ibu capek ngeliatnya." ucap ibu sambil tersenyum.
Radi merasa bahagia melihat senyum di wajah ibunya. Wanita yang sangat dia hormati dan sayangi. Karena ibunya dia bisa seperti sekarang, bisa menjadi seorang pegawai negeri dan bisa mengumpulkan uang untuk keluarganya.
"Pak..bu.. Alhamdulillah sekarang rumah kita sudah selesai di perbaiki, semoga membawa berkah buat ke depannya."
"Aamiin... Bapak mengucapkan terima kasih banyak. Kamu sudah mau benerin rumah kita. Sekarang rumah kita sudah sama kayak rumah orang lain, sudah bagus," suara parau bapak membuat ibu menahan tangis.
"Jangan terima kasih ke Radi pak. Terima kasih ke Tuhan karena sudah kasih rejeki lewat Radi. Pak, nanti kalau aku ada rejeki aku kirim uang untuk beli sepeda ya. Jangan pinjem sepeda mbok Giyem terus pak. Malu."
"Iya Di, terserah kamu saja. Aamiin.. Semoga di lancarkan rejeki buat kamu," doa bapak.
"Dek Tina, besok ikut mas ke bank ya. Kita buka rekening baru pakai namamu. Biar nanti kalau mas ada rejeki bisa langsung transfer ke rekening keluarga sendiri, jangan lewat Surti lagi."
Ibu, bapak, Yono dan Tina menganggukkan kepala. Malam itu setelah selesai renovasi mereka berkumpul di ruang tengah. Menikmati suasana baru yang mereka impikan.
"Pak, bu.. Radi mau bicara sesuatu. Masalah pribadi. Dek Yono dan dek Tina tetap di sini saja. Mas butuh pendapat kalian." pinta Radi
"Ada apa Di? Ibu jadi deg-deg an."
"Sebelum kembali ke Jakarta aku mau melamar Darti bu." jawab Radi.
"Apa! Kamu mau melamar Darti?" bapak terkejut mendengar tujuanku. "Apa kamu berani menghadapi keluarga besarnya? Ingat Radi, siapa kita dan siapa mereka,"
"Radi sudah siap pak. Sangat siap. Toh kita ke sana hanya menyampaikan maksud dan tujuan kita. Kalau di terima dan berlanjut ke pelaminan pastinya tidak dalam waktu dekat. Aku ada waktu buat mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan nantinya." dengan sabar Radi menjelaskan ke bapaknya yang sedang emosi
"Wah, mas nekat banget. Mba Darti kan dari keluarga terpandang di desa kita mas. Kalau lamaran mas di tolak gimana?" tanya Yono
"Ya tinggal balik badan tapi tetap coba lagi," jawab Radi sambil tersenyum.
"Kapan kamu mau melamar Darti? Kamu selama ini sering ketemuan atau bagaimana. Bapak gak ngerti ceritamu sampai tiba-tiba kamu mau melamar dia. Apa gak ada calon lain? Mbok ya jangan Darti. Bapak takut kamu kecewa," cegah bapak.
"Aku gak pernah ketemuan sama Darti selama ini. Aku pernah bertemu dengannya hanya sekali. Waktu aku masih sekolah dulu. itupun sepintas dan kami hanya saling senyum. Tapi diam-diam aku sering perhatikan dia pak. Dulu setiap pagi aku duduk di seberang jalan depan rumahnya. Aku sudah hapal kebiasaanya, bahkan aku berteman dengan mas nya. Mas Sugito."
Bapak terdiam, sambil mencerna ucapanku. Usia bapak yang sudah 75 tahun membuatnya agak lama untuk memahami perkataan lawan bicara. Itu sebabnya bapak lebih banyak diam.
"Pak, aku ini lelaki. Gak takut kecewa apalagi patah hati. Bapak jangan khawatir ya. Doakan saja biar lamaranku di terima keluarganya," pinta Radi di hadapan bapak dan ibunya.