Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8
SEMAR BANGUN KAHYANGAN
Pada malam yang kelam tanpa kehadiran bulan, langit hanya ditaburi sedikit bintang yang redup berpendar. Angin malam berembus pelan, seolah ikut menyimak kisah yang sedang dipentaskan. Dalam keheningan itu, Ki Ratmoyo tengah menggelar pertunjukan wayang kulit di pendapa rumah Sungkowo, Kepala Desa Wonosari, yang dikenal masih menjunjung tinggi adat dan seni warisan leluhur.
Layar pakeliran menyala temaram oleh cahaya blencong. Bayang-bayang tokoh wayang bergerak di atas kelir seperti roh masa lalu yang menari dalam irama gamelan. Tampak Punakawan Petruk sedang sowan, menghadap Prabu Darmakusuma — raja bijaksana dari negeri Amarta.
Petruk datang membawa titah dari bapaknya, Ki Lurah Semar. Ia diutus untuk memboyong kelima Pandawa serta meminjam pusaka Jamus Kalimasada, pusaka suci milik negeri Amarta. Pusaka itu diminta bukan untuk kepentingan perang, melainkan sebagai syarat utama dalam membangun kembali kahyangan — semacam laku ritual untuk membangkitkan kejayaan Amarta yang tengah tertimpa keterpurukan dan kekacauan.
"Ponakawan Petruk apa pada raharja sapraptamu, Ponakawan Petruk? (Ponakawan Petruk kabar baik dengan kedatanganmu, Ponakawan Petruk)" Tanya Ki Ratmoyo melalui tokoh wayang Prabu Darmakusuma.
Lalu ia jawab sendiri melalui tokoh wayang Petruk. "Amit, pasang Aliman tabik, mugi tinebihna ing iladuni myang tulak sarik. Dumawahna ing tawang towang. Sakderengepun kepareng kula ngaturaken sembah sumungkeme pangabekti kersa kula Paduka, Sinuwun Ngamarta, Prabu Darmakusuma." (Salam sejahtera, terpujilah kepada yang Maha kuasa. Semoga kita dijauhkan dari segala marabahaya, terlindungi oleh yang suci. Dan semoga dilancarkan segala urusannya di dunia. Sebelumnya, izinkan saya menghaturkan sembah bakti saya kepada Paduka Raja Ngamarta, Prabu Darmakusuma)
"Iya iya dak tampa Petruk. Ora liwat pangestuku tampanana. (Iya aku trima, Petruk. Tak lupa terimalah juga restu dariku." Melalui tokoh wayang Prabu Darmakusuma, Ki Ratmoyo membalas kata-kata Petruk.
"Kula pundi damel jimat paripih. Dayanana ing kasantosan. (Saya terima sebagai jimat kebahagiaan. Semoga bisa menjadi daya kekuatan saya dalam menjalankan kewajiban) Ki Ratmoyo kembali bersuara melalui tokoh wayang Petruk.
Di jawab lagi melalui tokoh wayang Darmakusuma. "Tekamu tanpa tinimbalan, ana wigati apa Petruk? Mara gage matura marang panjenganingsun. (Kedatanganmu tanpa di undang, ada perlu apa, Petruk? Ayo! cepat katakan kepadaku, apa maksud dari kedatanganmu?."
"Sejatosipun sowan kula boten saking kekarepan kula piyambak. Nanging kula dipun utus kalihan Bapak Semar. Kinen boyong cacahe Pandawa lima mundi pustaka Jamus Kalimasada damel mujudake gegayuhane bapak mbangun kahyangan. (Sesungguhnya kedatangan saya kemari bukan karena niat saya sendiri. Tapi saya diutus oleh bapak saya Semar. Disuruh memboyong kelima Pandawa beserta pusaka Jamus Kalimasada sebagai sarana mewujudkan harapan bapak yang ingin membangun kahyangan." Kata Ki Ratmoyo lagi melalui tokoh Petruk.
Begitulah singkatnya seni monolog dari Ki Ratmoyo. Tak perlu di ceritakan terlalu panjang. Menghabiskan kertas saja. Intinya Petruk ingin memboyong kelima Pandawa dan pusaka Jamus Kalimasada ke Karangkadempel. Namun usaha Petruk itu harus dihalangi oleh Prabu Baladewa. Karena ternyata disana juga sudah ada Prabu Kresna yang juga ingin meminjam pusaka Jamus Kalimasada untuk mengusir wabah penyakit yang sedang melanda negerinya, Dwarawati. Perselisihan pun tidak dapat di hindari. Perdebatan terjadi di istana Negri Amarta. Antara Petruk dan Baladewa.
*********
Pertunjukan malam itu berlangsung begitu meriah. Gamelan berdentang, wayang menari di layar pakeliran, dan penonton larut dalam suasana. Hingga tibalah saat yang dinanti-nanti: sesi limbukan — bagian yang kerap menjadi jeda, sekaligus hiburan tersendiri. Dalam sesi ini, para pesinden biasanya mempersembahkan tembang-tembang campursari yang membuai telinga dan menyejukkan hati.
Saat itu, nama Asmarawati disebut. Ia diminta jumênêng, berdiri di hadapan para penonton, oleh Ki Ratmoyo — dalang malam itu, sekaligus bapaknya sendiri.
Dengan langkah pelan dan penuh rasa, Asmarawati bangkit dari tempat duduknya. Ia tampil anggun mengenakan kebaya Jawa berwarna hijau tua, dipadukan dengan jarik batik bermotif cakra palah berwarna cokelat tua yang dilapisi prada keemasan. Sebuah selendang kuning kunyit tersampir manis di bahu kanannya, menambah kesan keanggunan dan kelembutan laku.
Di bawah cahaya temaram dan iringan gamelan yang mulai mengalun pelan, Asmarawati pun bersiap membawakan satu tembang — suara hati yang akan segera dititipkan lewat nada dan syair-syair yang syahdu.
"Blitar kutha cilik sing kawentar
edipeni gunung kelud sing ngayomi
blitar jaman jepang nate gempar
peta brontak sing dipimpin supriyadi.
Blitar nyimpen awune sang nata
majapahit eneng candi penataran
blitar nyimpan layone bung Karno
proklamator lan presiden kang sepisan"
Suara Asmarawati mengalun, pelan namun dalam, menyayat hening malam dengan nada-nada mendayu. Tembang itu melayang lembut, mengisi setiap sudut ruang pakeliran dengan rasa haru yang tak terucap.
Sementara itu, di bawah panggung sebelah kanan — tepat di sisi para pesinden — tampak Wiji, Untung, dan Tejo duduk bersila beralaskan sandal mereka masing-masing. Mereka bertiga menyimak pertunjukan dalam diam, tanpa kelakar, tanpa ulah seperti biasanya.
Kali ini, tak ada aksi nyolong ayam ingkung seperti yang sering mereka lakukan diam-diam di hajatan-hajatan kampung. Karena kali ini Wiji menolak. Ia yang biasanya paling usil, justru memilih duduk tenang malam itu. Entah karena alasan apa, tapi wajahnya jelas menunjukkan satu hal: ia begitu larut menikmati penampilan Asmarawati.
Suara Asmarawati yang lembut dan penuh perasaan seolah menyihirnya. Ada sesuatu dalam nada-nadanya — mungkin kenangan, mungkin rasa — yang membuat Wiji hanya bisa memandang dan mendengar… tanpa ingin mengganggu sedikit pun.
"Ana crita jare patih Gajahmada
ingkang bis nyawijikne nuswantwara
lan uga bung Karno sing kondhang kaloka
eneng tlatah blitar lahir cilik mula"
Wiji terus memandangi Asmarawati. Tatapannya diam, namun penuh makna. Seolah setiap nada yang meluncur dari mulut gadis itu mengikatnya erat, membuatnya tak sanggup berpaling. Sementara itu, di sampingnya, Untung dan Tejo justru tenggelam dalam dunia mereka sendiri — bermain game di gawai-nya, bersandar santai di sisi panggung.
Sesekali, Untung ikut bersorak menirukan suara para senggak, suara-suara selingan yang biasanya muncul di tengah tembang.
“Hak’e, hak’e! Yo, yo! Hooeeee…” teriak Untung, suaranya lantang memecah suasana.
“Jaga mulutmu, Gorila! Nanti ditendang Pak Lurah baru tahu rasa!” tegur Tejo kesal.
Ia memang sering memanggil Untung dengan sebutan "Gorila" — bukan tanpa sebab. Badannya tambun, besar, dan kuat. Tapi yang paling kuat darinya adalah… nafsu makannya. Selama berada di rumah Pak Lurah malam itu, Untung sudah minta makan tiga kali.
Namun bukannya kekenyangan, Untung malah bikin ulah.
“Ea eo ea ea eo, lelo lelo!” serunya sambil tertawa geli menirukan lagu yang dinyanyikan oleh para presiden.
“Dasar mulut juglangan!” umpat Tejo sambil memalingkan wajah, enggan menanggapi lebih jauh.
Sementara itu, Wiji tetap diam. Ia bersandar tenang di pagar beton pinggir jalan, sedikit menjauh dari keramaian. Matanya melirik ke arah atas panggung, tempat Asmarawati duduk bersisian dengan para pesinden lain, mengenakan pakaian seragam berwarna senada. Sorot matanya tak bisa berbohong — ada rasa yang tumbuh diam-diam.
Di atas sana, Asmarawati pun sadar. Ia tahu, di bawah sana ada Wiji yang sedang mengamatinya.
Dan ia pun membalasnya... dengan senyuman-senyuman sederhana, sehalus gerakan angin yang menyibak ujung selendangnya.
Suasana malam itu begitu meriah. Lampu-lampu panggung menyala terang, gamelan mengalun mengiringi pentas wayang yang menjadi pusat perhatian warga. Di barisan paling depan, tampak Pak Lurah Sungkowo duduk anggun bersama jajaran perangkat desa. Kursi-kursi sofa ditata sejajar, menghadap langsung ke para wiyaga yang memainkan gamelan dengan penuh konsentrasi.
Di sisi kanan-kiri Pak Lurah, hadir pula Pak Carik, Pak Kaur, Pak Kamituwo, dan Pak Bayan/Kepetengan, turut menemani tamu-tamu undangan dari luar desa. Tampak Pak Kapolsek, Pak Camat, Wakil Bupati, serta sejumlah priyayi-priyayi dari instansi pemerintahan yang lain — semuanya hadir, menambah khidmat sekaligus kemewahan dalam suasana budaya yang hidup.
Sementara itu, di luar lokasi pertunjukan, suasana tak kalah ramai. Para pedagang kaki lima berjajar rapi di sepanjang jalan, membuka gerobak-gerobak mereka di sisi kanan dan kiri jalan, menjajakan makanan, minuman, hingga mainan anak-anak. Ada yang sudah menutup dagangannya karena larut malam, tapi sebagian masih bertahan, menyambut para pembeli yang lalu-lalang.
Penonton dari berbagai penjuru desa, termasuk para pemburu konten, turut memadati area. Suara obrolan, tawa, dan gelegak minyak dari wajan gorengan bercampur jadi satu, membentuk riuh rendah khas keramaian desa yang sedang punya hajat besar. Di ujung jalan, tampak beberapa hansip berjaga, memastikan semuanya tertib. Tak jauh dari sana, sekelompok lelaki berwajah garang sibuk mengatur parkir di halaman rumah-rumah warga, menyulap pelataran menjadi lahan parkir dadakan.
Pak Lurah Sungkowo memang penggemar berat wayang. Setiap kali punya hajatan — entah sunatan, mantu, atau sekadar syukuran desa — ia pasti nanggap wayang. Bahkan saat tak ada acara sekalipun, minimal setahun sekali, tepat pada malam satu Suro, ia tetap menggelar pertunjukan wayang sebagai wujud rasa syukur dan pelestarian budaya.
Bagi Pak Lurah, wayang bukan sekadar hiburan. Di balik kelir dan gamelan, ia melihat peluang besar untuk mendidik warganya, menanamkan nilai-nilai, serta menyampaikan berbagai informasi penting. Tak jarang, sebelum pertunjukan dimulai, ia berdiskusi lebih dulu dengan sang dalang. Mereka memilih lakon yang tepat, yang bisa memuat pesan-pesan penyuluhan, isu-isu sosial, hingga rencana pembangunan desa.
Lewat mulut para Punakawan atau wejangan para resi, pesan-pesan itu diselipkan halus ke dalam cerita. Tentang pengembangan Desa Wonosari, tentang pentingnya gotong royong, pelestarian budaya, hingga pemberantasan kemiskinan. Semua disampaikan dengan cara yang lembut, menghibur, tapi tetap membekas dalam benak warga desa Wonosari — desa yang mereka cintai bersama.
Di Desa Wonosari, seorang lurah dipilih secara demokratis — setidaknya secara lahiriah begitu. Namun di balik suara rakyat yang katanya bebas dan jujur, ada satu hukum tak tertulis yang sering berlaku: asal ada uang, pasti banyak yang memilih. Pemilihan lurah kadang tak ubahnya pasar malam, penuh keramaian, janji-janji, dan amplop-amplop yang dibungkus dalam kata "bantuan sukarela."
Masa jabatan lurah berlangsung enam tahun. Sungkowo mulai menjabat sejak tahun 2017. Saat itu, pemilihan berlangsung sengit, hanya diikuti dua calon: Sungkowo sendiri dan Kaji Mispan, bapaknya Wiji.
Persaingan berlangsung panas. Para timses saling sindir, saling mengompori warga, bahkan berlomba menyebarkan janji dan kabar-kabar buram. Tujuannya satu: mendapatkan biting — dukungan, suara, restu dari rakyat… atau lebih tepatnya, dari siapa pun yang bisa "dipanasi."
Malam Kamis Kliwon sebelum hari pencoblosan, suasana desa terasa berbeda. Tak seperti biasanya. Di balik keramaian yang semu, para calon justru menyepi. Mereka menjalani tirakat, masing-masing ditemani dukun kepercayaannya dan beberapa orang dalam lingkaran timses yang paling dekat.
Sungkowo memilih bertapa di atas bukit — tempat yang tinggi, sunyi, dan dekat dengan langit.
Mispan, sebaliknya, menyendiri di dasar jurang yang gelap dan dalam, jauh dari suara manusia.
Mereka berdua menunggu… dalam diam… hingga fajar menjelang.
Kata orang-orang tua Wonosari, tirakat itu adalah laku untuk menunggu datangnya pulung — semacam cahaya gaib yang turun dari langit, melesat seperti kilat namun bersinar sejuk dan terang. Konon, siapa pun yang kejatuhan pulung, maka ia akan terpilih menjadi kepala desa. Pulung dianggap sebagai tanda restu para leluhur, atau dalam kepercayaan sebagian warga, restu dari para dewa dan bahkan Nyi Roro Kidul.
Pagi harinya, mereka berdua langsung menuju Balai Desa, menyatu kembali dengan dunia nyata untuk mengikuti jalannya pemilihan. Tapi di hati mereka, masing-masing telah yakin… bahwa malam tadi, langit telah memberi isyarat.
Pagi-pagi sekali, setelah malam tirakat yang sunyi dan sakral — entah di tengah hutan, di puncak bukit, atau di dasar jurang — para dukun pendamping segera memberi perintah. Kepada para tim sukses yang mengiringi, mereka menyuruh menyebar ke segala penjuru Desa Wonosari, dari dusun ke dusun, dari rumah ke rumah.
Isu pun mulai ditebar: pulung telah jatuh, dan tentu saja… jatuhnya ke pangkuan jago mereka. Sebuah cahaya gaib, simbol restu langit, dikabarkan telah memilih calon mereka sebagai pemimpin yang sah.
Isu itu cepat menyebar, seperti angin pagi yang membawa kabut. Sebagian warga percaya, sebagian lainnya bimbang, dan sebagian lagi—asal diberi sedikit uang rokok atau sebungkus sembako—ikut mengamini saja.
Para tim sukses kepala desa bukan orang sembarangan. Mereka bukan hanya pendukung fanatik, tapi juga botoh-botoh ulung — penjudi politik desa. Di balik baju seragam dan jargon kampanye, mereka bertaruh: puluhan hingga ratusan juta rupiah. Ada yang bertaruh sapi, sepeda motor, bahkan sebidang tanah sekalipun. Dan semua itu atas nama: jago mereka.
Taruhan ini bukan sekadar permainan. Mereka bersaing ketat dengan botoh lawan, saling mengintai dan menyusun strategi. Karena jika jagonya menang, mereka menang ganda: dapat uang dari si calon, dan dapat pula hasil dari taruhan.
Namun sebaliknya… jika jagonya kalah, aib pun menanti. Tak jarang botoh yang kalah memilih mengurung diri seminggu penuh, tak keluar rumah, tak sudi menatap mata tetangga. Malu, dan tentu saja—rugi besar.
Dan kini, tahun 2023 telah tiba. Seharusnya masa jabatan Sungkowo sudah berakhir. Namun karena alasan pemulihan ekonomi pasca pandemi dan persiapan Pemilu Serentak, jadwal pemilihan kepala desa Wonosari ditunda. Kabarnya, pemilihan baru akan digelar antara tahun 2026 hingga 2027.
Sementara itu, Sungkowo masih duduk di kursi kekuasaan. Ia masih menerima gaji dan tunjangan dari negara, sebagaimana lurah-lurah lainnya. Tapi bukan itu saja. Ia juga mendapat jaminan dari desa berupa tanah bengkok:
sawah seluas lima hektare, dan ladang seluas tiga hektare — semua menjadi haknya selama masa jabatannya berlangsung.
"Ora mokal blitar dadi kembang lambe
ora mokal akeh sing pada nyatakne
yen ta geni ngurupake semangate
yen ta banyu nukulake patriote"
Seusai Asmarawati bernyanyi. Dan gamelan Ngudi Laras berhenti di tabuh. Adegan limbukan masih berlanjut. Melalui dua tokoh wayang Limbuk dan Cangik. Ki Ratmoyo terus bermonolog dengan terus memuji-muji Lurah Sungkowo dan para penggedhe serta sejumlah priyayi-priyayi yang hadir.
Dulu Ki Ratmoyo juga merupakan ketua juru kampanyenya Sungkowo. Kala itu kampanyenya Sungkowo mengusung tema kebudayaan. Dengan slogan masyarakat adiluhung dan edipeni. Ia menjanjikan akan menjadikan Wonosari sebagai desa yang Kaeka adi dasa purwa. Desa yang gemah ripah loh jinawi, panjang-punjung pasir awukir, murah sandang sarwa tinunku, murah pangan sarwa tinandur.
Sedangkan lawannya Kaji Mispan mengusung tema yang Islami slogannya adalah masyarakat madani, menjanjikan akan menjadikan Wonosari sebagai desa yang Badlatun toyibatun wa robun ghofur. Mereka saling beradu intrik di tengah-tengah masyarakat. Para botoh mereka masing-masing keliling desa Wonosari menyebarkan kabar tentang pamer jago mereka masing-masing. Beberapa ada yang membawa amplop yang berisi uang. Kemudian amplop-amplop itu di bagi-bagikan kepada warga. Lalu nama-nama orang yang mereka beri amplop di catat di atas lembaran buku.
Demikian pula halnya dengan Ki Ratmoyo. Lewat kesenian wayangnya, ia tak hanya menghibur — tapi juga mengabarkan, menyampaikan, bahkan mengkampanyekan nama Sungkowo dalam setiap pentasnya di pelosok-pelosok Desa Wonosari.
Ia melakukannya bukan semata karena dukungan, tapi juga karena rasa waswas yang disimpannya dalam hati. Sebab yang menjadi lawan Sungkowo dalam pemilihan kala itu bukan orang asing baginya, melainkan Kaji Mispan — seorang yang dikenal sangat membenci dirinya.
Ratmoyo khawatir. Ia takut, andai Mispan yang terpilih menjadi lurah, maka jalan keseniannya akan diganggu, bahkan mungkin dibungkam. Ia tahu betul bahwa Mispan adalah orang yang keras kepala, pendendam, dan bisa saja memanfaatkan kekuasaan untuk menyudutkannya — termasuk membubarkan grup campursari Ngudi Laras, yang selama ini ia rawat dengan penuh cinta.
Dalam diam, Ratmoyo meyakini: Mispan belum lupa luka lama. Dan dendam, bagi orang yang terluka dalam diam, bisa menjadi racun yang bekerja lambat namun pasti. Karena itulah, ia tidak tinggal diam.
Ki Ratmoyo pun turun gunung. Ia bergabung menjadi botoh, menjadi timses sekaligus juru kampanye bagi Sungkowo. Dalam lakon-lakon yang ia pentaskan, ia sisipkan pesan-pesan halus yang menggiring hati penonton, menyentuh batin warga agar tak memilih calon yang “berhati panas.”
Dengan suara dalangnya yang penuh wibawa, ia sulap cerita pewayangan menjadi medan perjuangan politik yang terselubung. Petruk bisa saja mengingatkan soal pentingnya memilih pemimpin bijak. Semar mungkin berkhotbah soal lurah yang harus bisa ngayomi, bukan ngamuki.
Dan dari layar kelir itu, nama Sungkowo pun perlahan menguat.
Lewat aksi-aksi wayangnya di layar pakeliran, Ki Ratmoyo melakukan segala upaya demi mengangkat nama Sungkowo sebagai calon lurah Wonosari. Ia menyelipkan pesan-pesan politik dalam lakon-lakon yang dibawakannya. Kadang lewat tokoh Semar, kadang lewat wejangan Prabu Kresna, kadang lewat sindiran halus Gareng, Petruk dan Bagong. Semua ia kemas dalam bentuk seni — lembut, namun menghunjam.
Ratmoyo tak hanya bersuara di balik kelir. Ia juga turun langsung dalam berbagai acara kampanye. Bahkan, ketika Sungkowo mengadakan kampanye akbar di Pasar Legi, Ratmoyo bersedia mentas tanpa dibayar sepeser pun. Ia menganggap itu sebagai bagian dari perjuangan — atau mungkin juga taruhan — demi menjaga arah nasib desa, sekaligus nasib keseniannya sendiri.
Dan rupanya, usaha itu tak sia-sia. Setelah Sungkowo resmi dilantik menjadi lurah Wonosari, Ratmoyo pun kebagian kursi kekuasaan. Ia diangkat langsung menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) — sebuah jabatan strategis di tingkat desa.
Bagi sebagian orang, itu semacam hadiah. Bagi Ratmoyo sendiri, mungkin itu dianggap imbalan atas kesetiaan dan pengorbanan. Sebab dalam dunia politik, bukan hanya suara yang dihitung, tapi juga siapa yang bersedia pasang badan di awal — dan Ratmoyo termasuk salah satu di antaranya.
********
“Parkirnya lima ribu, Pak!” kata seorang laki-laki berwajah seram sambil berdiri menantang di tepi jalan. Ia menghadang seorang bapak-bapak yang hendak mengambil sepeda motornya karena sudah selesai menonton pertunjukan.
“Lho, saya parkir sendiri, Mas. Di pinggir jalan, tidak ada yang jaga juga.” jawab si bapak dengan nada heran. Ia merasa tak pernah ada kesepakatan apa pun soal biaya parkir. Motornya tadi diparkir begitu saja — tak ada yang menyambut, tak ada yang menata.
“Iya, Pak. Tapi tetap wajib bayar!” lelaki itu menjawab dengan gaya kemaki, seolah-olah aturan desa sudah ia genggam penuh di tangannya.
Bapak itu hanya menghela napas panjang. “Kalau tahu begini, saya tadi ndak usah nonton.” katanya pelan, kecewa. Namun ia tetap mengulurkan uang lima ribu rupiah, menyerah pada situasi. Setelah itu, ia segera naik motor dan meninggalkan lokasi dalam diam.
Entah siapa sebenarnya gerombolan laki-laki menyeramkan itu. Wajah-wajah mereka asing bagi sebagian warga Wonosari. Tapi tiap kali ada hiburan rakyat, entah wayang, dangdutan, atau pasar malam, mereka selalu muncul — seolah-olah menjadi penguasa parkiran.
Mereka bertindak semau mereka. Kadang muncul di Pasar Legi, tiba-tiba meminta uang parkir kepada siapa saja yang sedang belanja. Tak ada karcis, tak ada aturan. Hanya tatapan tajam dan badan besar mereka yang seakan jadi bukti sah kekuasaan.
Kata warga, mereka adalah orang-orang dekengan Lurah Sungkowo. Orang dalam. Pendukung keras yang diberi ruang liar untuk bertindak semena-mena. Tak satu pun warga Wonosari yang berani melawan. Bahkan untuk sekadar menegur pun, orang-orang lebih memilih menunduk dan diam. Wajah-wajah mereka saja sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri.
Terkecuali tiga begundal ini. Mereka berbeda. Tak takut, tak tunduk, dan kadang justru balik mengejek. Siapa tiga begundal itu?
Itulah Wiji, Untung, dan Tejo — trio nyeleneh, bengal, tapi paling tak kenal takut terhadap siapa pun, bahkan terhadap wajah-wajah garang sekalipun.
Teriakan lantang itu meluncur dari kejauhan, tepat saat Wiji, Untung, dan Tejo hendak mengambil motor mereka masing-masing. Suaranya datang dari seorang laki-laki berwajah garang, tubuhnya besar, jaket kulit hitam melambai-lambai tertiup angin malam.
Untung spontan berdiri tegap di tengah jalan, menatap langsung ke arah sumber suara sambil menunjuk dengan jari telunjuknya. “Siapa kamu?” tanyanya dengan suara keras.
“Kami juru parkir di sini!” sahut lelaki lain, tak kalah sangar. Rambutnya gondrong, kumisnya lebat seperti sapu ijuk. Badannya pun sama besar dan padat seimbang dengan si Untung. Tapi bukan Untung namanya kalau gentar menghadapi orang seperti itu.
“Siapa yang nyuruh kalian jadi tukang parkir di sini?” tanya Untung, kini dengan wajah serius. Tatapannya tajam, seperti pendekar yang tak terima wilayah kekuasaannya disentuh.
“Kami sudah dapat izin dari Pak Lurah!” jawab si lelaki gondrong, masih dengan gaya kemaki yang menjengkelkan.
“Kenapa Pak Lurah nggak izin dulu ke aku? Aku ini warga sini! Aku yang milih dan bayar dia jadi lurah!”
Untung masih ngeyel, nada suaranya mulai meninggi. Sosok besar dan tinggi itu tampak seperti gunung yang hendak meletus. Ia memang dikenal sebagai jagoan kampung — tak pernah takut, tak pernah gentar.
“Itu bukan urusan kami!” sergah salah satu dari mereka, menyulut api yang mulai membara.
Ketegangan pun meningkat. Mereka mulai berdebat di tengah jalan, saling melempar kata dan tatapan panas. Wiji dan Tejo yang dari tadi diam, mulai menggenggam tangan mereka — siap kapan saja melayangkan bogem.
Namun sebelum situasi benar-benar meledak, datanglah beberapa hansip berusaha melerai. Salah satunya adalah seorang pria dengan seragam lusuh dan nama “Ponari” tertera di atas saku bajunya. Ia buru-buru berdiri di antara Untung dan para lelaki seram itu, menghadang tubuh besar Untung yang siap menghantam.
“Sudah, sudah… kasih saja, Tung,” katanya menenangkan.
“Aku nggak punya uang buat mereka! Aku cuma punya kepalan tangan!” jawab Untung, matanya menyala penuh amarah. “Mereka pikir aku takut? Mereka pikir mereka siapa di desa ini?”
“Ini demi keamanan dan ketertiban, Mas…” lelaki gondrong mencoba berdalih.
Untung langsung menyambar kalimat itu dengan nada geram, “Apa kamu bilang? Keamanan? Desa ini sudah aman, Bro! Justru yang bikin nggak aman itu ya kalian ini! Kalian!”
Hansip Ponari berusaha menurunkan ketegangan. “Sudahlah. Kalau begitu, pulang saja, Tung. Mas-masnya juga, lepaskan anak muda ini. Nggak usah diperpanjang.”
Akhirnya, para lelaki seram itu pun mundur. Entah karena sadar atau karena malas berurusan dengan amarah Untung yang membara.
Namun saat mereka berbalik dan hendak pergi, Untung masih berteriak, “Heh! Mau ke mana kalian?!”
Ia hendak mengejar, tetapi Wiji dan Tejo sudah lebih dulu menahannya. Tejo memegang lengan, sementara Wiji merangkul bahunya yang besar seperti tiang listrik.
“Sudah, cukup. Kita cabut dulu.” ujar Wiji, tenang tapi mantap.
“Lain kali kalau ketemu mereka lagi... kita beri pelajaran yang sebenarnya.”
Untung mendengus, tapi akhirnya diam. Mereka bertiga pun melangkah pergi — tak tunduk, tak kalah, hanya menunda... untuk kemenangan yang lebih tepat.
Pagi itu akhirnya mereka pulang.
Satu per satu menuju rumah masing-masing, setelah semalam penuh diisi tawa, tembang, dan sedikit keributan. Langit mulai terang, embun masih melekat di ujung daun, dan ayam-ayam jantan belum sepenuhnya berhenti berkokok.
Di sepanjang jalan, Untung tak henti-hentinya misuh-misuh. Mulutnya komat-kamit penuh gerutu, kadang menyebut nama orang, kadang hanya gumaman kasar yang entah ditujukan pada siapa.
“Ndak masuk akal, Ji! Orang nggak ngapa-ngapain, cuma parkir di pinggir jalan, eh tahu-tahu dimintai uang!”
Untung menggerutu sambil sesekali blayer motornya. “Itu namanya bukan tukang parkir, tapi tukang palak!”
“Sudah to, Tung. Namanya juga orang gak punya kerjaan.” sahut Tejo, malas menanggapi tapi tetap menjaga kendali motornya agar tak terlalu jauh dari Untung.
“Kalau bukan karena kamu narik pundakku, Ji, udah aku pelintir itu orang satu-satu. Kumisnya itu lho, kayak sikat WC!”
Suara Untung meninggi, sambil memperagakan gerakan tangan kirinya seperti sedang menjambak seseorang.
Wiji tertawa ringan. “Kalau kamu pelintir mereka, besok yang jemput kamu ya hansip, tapi bukan buat ditraktir kopi, tapi digiring ke balai desa.”
Untung mendengus, “Aku ndak takut! Desa ini bukan milik Pak Lurah, bukan milik gerombolan itu. Ini desa kita semua! Aku ini pembayar pajak!”
“Iya, iya... Pejuang rakyat. Tapi sekarang pulang dulu. Biar ibumu ndak panik kamu pulang pagi.”
Tejo menepuk bahu Untung sambil nyengir.Dan begitu mereka berpisah di pertigaan jalan masing-masing ke arah rumah sendiri-sendiri —
Adzan Subuh belum juga berkumandang.
Langit masih kelam, dan udara pagi menyelimuti desa dengan dingin yang diam-diam menggigit. Tapi Wiji sudah sampai rumahnya. Rumah itu masih sunyi, lampu-lampu padam, tanda bahwa seluruh penghuninya masih lelap dalam tidur.
Seratus meter sebelum sampai, Wiji mematikan mesin motornya. Ia tak ingin menimbulkan suara. Dengan hati-hati, ia mulai mendorong motornya pelan-pelan di jalanan yang remang, ditemani cahaya lampu dan langit yang redup.
Sampai di depan rumah, ia menoleh kanan kiri.
Tak ada suara, tak ada gerak. Hanya suara jangkrik bersahutan dari kebun belakang. Dengan langkah waspada, ia terus mendorong motornya ke samping rumah, sesekali melirik ke jendela kamar ibunya, khawatir ada mata yang tiba-tiba mengintip.
Namun, justru ketika ia merasa aman dan santai sejenak—
“Bruakkk!”
Motor yang ia dorong tiba-tiba tergelincir.
Seketika ia ikut jatuh tersungkur, mencium tanah. Rupanya, seekor anjing sedang tidur terlentang di samping rumahnya — dan tubuh binatang itu jadi penyebab kecelakaan kecil itu.
Anjing itu menjerit histeris, lari tunggang-langgang sambil melolong, seolah baru bertemu makhluk halus.
“Jianc...”
Mulut Wiji refleks hendak memaki, tapi cepat-cepat ditahan. Ia menggertakkan gigi, menahan emosi dan rasa perih.
Ia bangkit, mengangkat motornya yang terguling. Matanya menyapu sekeliling. Masih sunyi. Tak ada lampu yang menyala. Tak ada kepala yang muncul dari balik jendela.
Ia lega. Langsung saja motornya ia sandarkan di tembok samping rumah. Dengan gerakan seperti maling profesional, ia masuk lewat jendela, merangkak perlahan agar tak menimbulkan suara.
Begitu sampai di dalam kamar, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Menghela napas panjang. Sekaligus kesal, sekaligus lega. Tangannya meraih HP, membuka layar—dan senyum tipis mengembang di bibirnya.
“Sudah pulang, Mas?”
Sebuah pesan tiba-tiba muncul di layar HP Wiji, tepat saat ia baru saja merebahkan tubuhnya.
Asmarawati. Nama itu langsung membuat matanya yang semula berat kembali terbuka. Ia tersentak kecil, lalu buru-buru mengetik balasan.
“Aku sudah sampai rumah, Dek. Kamu sudah pulang?”
Tak lama kemudian, balasan datang disertai emoji wajah letih. “Belum, Mas. Sebentar lagi.”
Wiji langsung membalas, “Acaranya belum selesai, ya?”
“Sudah, Mas. Ini masih beres-beres barang bawaan.”
Lagi-lagi Asmarawati menyertakan emoji menunduk lelah di akhir kalimatnya. Sederhana, tapi cukup membuat Wiji merasa ingin segera datang dan membantunya.
Obrolan mereka pun berlanjut. Ringan, sederhana, tapi terasa hangat.
Di layar ponsel yang redup oleh cahaya dini hari, mereka terus bertukar pesan, menepis lelah dan sisa kantuk. Hingga cahaya pagi mulai menyusup dari balik jendela.
Dan akhirnya, sebuah pesan muncul — pesan yang membuat hati Wiji kembali bergetar:
“Nanti sore kalau harinya cerah, temani aku lagi di tanggul, ya Mas!”
Wiji tersenyum. Matanya yang semula merah karena begadang, mendadak berbinar.
“Baiklah, aku nanti pasti ke sana.”
Begitu tulisnya, dengan semangat yang tak ia tuliskan, tapi terasa dari setiap ketikannya.
Setelah itu, ia meletakkan HP-nya di samping bantal. Menghela napas lega.
Dan tanpa terasa, ia pun tertidur pulas.
Membawa mimpi yang mungkin akan berakhir di tanggul — tempat biasa mereka duduk berdua, menatap senja, menata rasa.
Sekitar dua jam setelah tertidur, Wiji tiba-tiba terbangun oleh suara bising yang menyiksa telinga.
Suara itu seperti merobek-robek keheningan rumahnya, menghantam kepala yang masih berat oleh kantuk. Bukan ayam berkokok, bukan pula suara ibu menanak nasi.
Tapi... suara sound horeg — yang meraung tak beraturan seperti kawanan jin sedang konser dangdut di tengah hutan.
Ternyata suara itu berasal dari kakak iparnya, Muhammad Arifin. Sound system miliknya sedang diujicoba untuk persiapan pawai di pusat kecamatan, dalam rangka perayaan ulang tahun pesantren Bahrul Hayat — pesantren tempat Arifin pernah mondok dan tumbuh jadi santri berdasi.
“Cuk. Ganggu orang tidur saja,” gumam Wiji pelan dengan wajah kusut.
Sebuah kalimat yang terdengar seperti mantra kutukan campur doa pagi, khas anak muda yang tidur larut tapi harus bangun di luar kehendak.
Ia bangkit dari tempat tidurnya dengan langkah sempoyongan. Kepalanya masih berat, tubuhnya masih setengah roh. Setelah membasuh wajah di kran air belakang rumah, ia berkeliling sebentar di dalam rumah, tapi mendapati rumah kosong melompong. Tak ada suara ibu, tak ada bau gorengan. Sepi.
Lalu ia keluar. Di depan rumah, tampak kakak iparnya bersama tiga orang anak buahnya sibuk mengutak-atik mixer audio. Di tepi jalan, terparkir satu truk besar dengan box-box speaker triplek yang menjulang — menembakkan suara dentuman keras yang tak karuan.
Gelegarnya mengalahkan letusan Gunung Kelud sembilan tahun lalu. Setidaknya begitu menurut Wiji, yang waktu itu nyaris dikira korban karena tak pulang dua hari.
Namun pagi itu, Wiji memilih diam. Ia lewat di samping mereka tanpa sepatah kata pun. Tak menegur, tak mengeluh. Hanya menatap sekilas, lalu melipir ke belakang rumah, tempat motor CB kesayangannya diparkir seperti kuda perang yang setia.
Tanpa basa-basi, ia men-starter motornya. Sekali genjot, mesin meraung. Dan dalam sekejap, Wiji pun pergi. Tak ada yang tahu ke mana dia pagi itu —
Mungkin mencari kopi. Mungkin mencari sunyi.
Ternyata ia melajukan motornya menuju bengkel milik Darsono — tempat di mana Tejo dan Untung biasa meracik suara mesin dengan peluh dan percik api las. Tapi siang itu bengkel tampak tertutup, gerbangnya tergembok sunyi, tak ada denting alat, tak ada suara obrolan. Barangkali mereka sedang libur. Atau sedang libur dari hidup yang penat.
Ia pun mengarahkan motor ke rumah si cungkring Tejo. Di sana, hanya kesunyian yang menyambut. Tejo belum juga bangun dari tidurnya.
Yang ia temui hanyalah Sukarmin — lelaki yang tekun menyungging wayang di serambi. Cahaya matahari menyelusup lewat celah-celah genting, menyinari tangannya yang cekatan memberi rupa pada tokoh Gatotkaca. Ia mendekat, menyapa pelan.
"Sendirian, Cak Min?"
Sukarmin tak langsung menjawab. Matanya masih sibuk meniti garis pada wajah Gatotkaca. Lalu sambil tersenyum kecil, ia menjawab:
"Heh, kowe. Tejo isih turu. Biasa. Dek'e ora iso tangi yen ora di guyang banyu."
(Heh, kamu. Tejo masih tidur, seperti biasa. Tak bisa bangun kalau belum disiram air.)
Ia tertawa kecil, lalu duduk di bangku panjang dari kayu jati, berderit pelan saat diduduki. Angin siang mengelus lembut wajahnya.
"Padahal aku mau minta tolong ngurus motor. Mogok di jembatan tadi." Sukarmin menoleh sebentar, matanya teduh namun tajam.
"Lagi apes to Cak Min?."
"Ya, mungkin begitu."
Ia menarik napas panjang.
"Akhir-akhir ini rasane urip kaya ora duwe arah."
Sukarmin berhenti menyungging. Ia meletakkan kuasnya, menatap lurus ke depan.
"Urip kuwi pancen koyo wayang. Saben wong duwe peran, tapi ora kabeh ngerti dalane lakon. Yen wis buntu, yo turu wae sek. Ngimpi iku kadang luwih nyenengno ati, naliko sadar anane mung kahanan sing nglarani."
Tanpa disadari, mata si pemuda mulai mengantuk. Ia pun rebah setengah tubuhnya di bangku jati itu. Pelan-pelan, kantuk menjemput, dan ia pun terlelap.
Selama berjam-jam ia mendengkur di bangku itu, dalam tidur yang tak tenang. Sesekali ia mbangkong — setengah sadar, menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Bibirnya gremang-gremeng, seperti tengah berdialog dengan sosok tak kasat mata. Mungkin mimpi. Mungkin kenangan. Atau mungkin luka-luka kecil yang tak sempat diseka.
Sukarmin hanya menoleh sekilas, tersenyum simpul. Lalu kembali menyungging Gatotkaca dengan sabar. Seolah ia sedang menyulam dunia.