NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 25: Hari Terakhir

Hari ini adalah hari terakhir Michelle, Tahsya, serta Meilani magang di kantorku. Mungkin dalam beberapa hari ke depan kami berempat akan semakin jarang bertemu lagi. Karena itu, sebagai hadiah perpisahan, aku memutuskan untuk bangun lebih awal dan beres-beres di kantor agar ketiga anak magang itu tak perlu melakukannya lagi saat mereka datang.

Aku nggak bakal ngasih mereka semacam kado atau hal-hal lain yang memerlukan uang. Soalnya, aku sudah sering mentraktir mereka makan selama empat bulan ke belakang ini. Bahkan, ketiga anak magang itu sering sekali mencari mangga muda di kebun belakang untuk diolah menjadi rujak yang akan disantap bersama-sama.

Maka dari itu, membiarkan mereka tidak membantuku membereskan berkas-berkas sialan ini adalah sebuah hadiah perpisahan yang sempurna untuk ketiga anak magangku.

Setelah sarapan dan minum obat pagi, aku langsung mandi dan mempersiapkan diri untuk memulai hari jum’at yang cerah ini. Saat penampilanku sudah rapi dan bersih, aku langsung pergi ke ruang kerja untuk mengambil stopmap yang berisi penilaian terhadap Michelle, Tahsya, dan Meilani.

*Brakkk* “Selamat pagi, Pak Nael!” Ah, suara sapaan yang amat bersemangat itu. Sepertinya, aku tidak akan mendengar kebisingan Tahsya lagi setelah ini.

“Wah, kalian datang lebih cepat daripada biasanya, ya.” Ucapku sambil berjalan menuju mereka yang baru saja tiba di kantor.

“Iya, dong. Ini, kan, hari terakhir kami magang. Jadi, harus lebih semangat daripada hari-hari biasanya.” Balas Michelle yang berada tepat di belakang Tahsya.

“Begitu, ya.” Responku singkat, sambil perlahan mengambil posisi duduk diatas sofa. “Duduklah.” Ucapku mempersilahkan Michelle, Tahsya, dan Meilani untuk duduk di hadapanku.

Tanpa menunggu lama, mereka bertiga langsung duduk di sofa panjang yang ada di depan. Aku kemudian mengeluarkan tiga lembar kertas yang berisi evaluasi serta nilai atas kegiatan magang yang telah mereka jalani selama empat bulan ini. Ketiga kertas itu pun kubagikan secara bergiliran dari Michelle yang duduk paling kiri, hingga Tahsya yang duduk paling kanan.

“Loh, bukannya kami bakal dapat ini setelah magang di hari terakhir selesai dilakukan ya, Pak?” Tanya Michelle yang tampak tertegun ketika menerima kertas evaluasi miliknya.

Sudah kuduga salah satu dari mereka pasti akan menanyakan tentang perkara ini. Seharusnya, aku membagikan kertas evaluasi ini di sore hari nanti, setelah kegiatan magang terakhir mereka selesai dilakukan. Namun, berhubung ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan hari ini, aku putuskan untuk membagikannya pada pagi hari.

“Benar. Seharusnya kalian akan mendapatkan itu sore hari nanti. Tapi, hari ini aku ada kegiatan lain di luar urusan kantor. Makanya, aku memutuskan untuk membagikan lembar evaluasi ini sekarang.” Jelasku dengan nada yang terdengar santai.

“I-Itu berarti kantor a-anda tidak buka sekarang?” Tanya Meilani dengan nada yang terbata-bata seperti biasanya.

“Benar, Meilani. Hari ini kantor nggak dibuka.”

Tiba-tiba, Tahsya mengangkat tangannya dengan cepat, seolah tak sabar untuk menyampaikan uneg-unegnya.

“Ya, ada apa, Tahsya?” Aku bertanya sekaligus memberikan kesempatan pada Tahsya untuk berbicara.

“Kegiatan lain apa yang membuat anda sampai nggak buka kantor hari ini?” Tanya Tahsya penuh semangat pagi hari yang masih membara.

Aku menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Tahsya yang selalu kepo dengan urusan pribadiku. “Hari ini adalah ulang tahun pernikahanku dengan mendiang Felicia.” Mereka bertiga langsung tertegun ketika mendengar jawabanku itu.

“Makanya, hari ini aku memutuskan untuk nggak buka kantor dulu karena mau ziarah ke makam Felicia. Selain itu, siang ini aku juga punya janji untuk konsultasi dengan dr. Sofia.” Lanjutku memberi penjelasan kepada mereka.

“Begitu, ya…” Respon Michelle dengan nada yang lirih. “Itu berarti, setelah ini kami langsung pulang ke rumah masing-masing?” Tanya Michelle meminta konfirmasi dariku.

“Kalau itu, sih, terserah kalian. Mau pulang kek, mau nongkrong kek, bebas aja.” Jawabku dengan nada yang santai, karena setelah ini tanggung jawabku sebagai mentor mereka akan berakhir. “Tapi, aku menyarankan kalian buat ngerjain laporan magang, sih. Seharusnya, deadlinenya sebulan lagi, kan?”

Michelle, Tahsya, dan Meilani langsung tersentak secara bersamaan. Mereka sepertinya baru menyadari kalau harus nyusun laporan magang yang akan diserahkan ke pihak dosen. Wajah mereka seketika berubah menjadi nggak enak, sekaligus terkesan malas.

“Benar juga. Laporan magang, ya…”

...***...

Di sore hari setelah sesi konsultasi dengan dr. Sofia, aku pergi ke pemakaman untuk ziarah ke makam Felicia. Aku membawa jinjingan berupa donat matcha kesukaannya yang dijual dekat alun-alun kota Andawana.

Oh, iya, mengenai perpisahan tadi, anak-anak magang itu sempat bertanya padaku: “apakah boleh kami datang ke sini lagi untuk baca buku atau memetik beberapa buah mangga?” Dan jawabannya, tentu saja aku memperbolehkan mereka untuk mampir kapanpun yang mereka mau. Ketiganya langsung melompat kegirangan karena telah diizinkan untuk berkunjung ke kantor di luar urusan magang.

Sejak awal, aku memang nggak pernah berniat untuk melarang mereka mampir lagi setelah urusan magangnya selesai. Jadi, kalau mereka mau datang untuk berkunjung, ya silahkan saja.

Saat sampai di makam Felicia, aku langsung membersihkan sekitarnya yang sudah mulai ditumbuhi rumput-rumput liar. Tak lupa juga aku membersihkan batu nisan serta seluruh bagian makamnya dengan menggunakan air mineral yang kubeli di minimarket tadi.

Setelah semuanya beres, aku meletakkan tiga tumpuk donat matcha di atas makamnya, ditemani dengan satu gelas plastik es teh manis. Aku kemudian duduk bersila di samping, sambil menyulut sebatang rokok.

“Happy anniversary yang ke-12, sayang.” Ucapku lirih, sambil menatap ke arah batu nisannya.

Jujur, sampai saat ini, aku masih merasa sedih akan kepergian istriku. Biasanya, setiap hari ulang tahun pernikahan, aku dan Felicia akan saling bertukar kado sederhana yang berisi hal-hal yang kami inginkan. Entah itu makanan, pakaian, ataupun buku, intinya hal-hal sederhana yang kami inginkan saja.

Contohnya sekarang, dimana aku membawakan Felicia beberapa donat matcha kesukaannya serta es teh manis favoritnya. Tapi bedanya, kali ini aku nggak dapat kado apapun dari mendiang istri tercinta.

“Ngomong-ngomong, tiga mahasiswi yang suka bikin onar di kebun kamu itu udah selesai magang di kantorku, lho.” Aku bercerita pada batu nisan, sambil menghembuskan asap rokok ke udara. “Jadinya, suasana kantor mungkin bakalan sepi lagi tanpa kehadiran mereka sekarang.”

Setelah menghabiskan beberapa batang rokok serta ngobrol ngalor-ngidul sendirian di dekat makam Felicia, aku akhirnya memutuskan untuk siap-siap pulang ke rumah. Saat sedang membereskan sampah yang telah kutimbulkan, dari ujung mataku tampak sesosok wanita yang sedang mendekat dengan tergesa-gesa. Aku segera menoleh ke arahnya untuk melihat siapa sebenarnya wanita itu.

Tak kusangka, ternyata dia adalah Michelle yang sedang menggendong seekor kucing yang terlihat dalam kondisi sekarat. Wajahnya tampak khawatir, seolah nyawa kucing itu berada di kedua telapak tangannya.

“Pak Nael!” Panggil Michelle dengan nada yang terdengar panik saat sudah berada cukup dekat denganku.

“Michelle? Ngapain kau di sini?” Tanyaku singkat kepadanya.

“Saya di sini buat mampir ke makam nenek. Tapi, pas mau pulang, saya malah papasan sama kucing yang udah mau mati ini.” Jelas Michelle dengan napas yang masih terengah-engah.

Dilihat dari bulu dan juga perawakannya, sepertinya kucing ini berasal dari ras british shorthair. Sependek pengetahuanku, ras kucing ini memiliki harga yang lumayan mahal di pasaran. Kenapa dia bisa berakhir di tempat pemakaman seperti ini, ya? Nggak mungkin, dong, dia ini adalah kucing liar?

Aku kemudian mengamati kondisi kucing itu dengan saksama untuk mengetahui apakah kucing ini jadi sekarat karena terluka, diracuni, sakit, atau kelaparan. Sesekali aku juga meraba badan kucing itu sebagai salah satu bentuk pemeriksaan.

Walaupun aku bukanlah seorang dokter hewan, tapi aku bisa tahu bahwa kucing ini sedang sekarat karena kelaparan. Badannya tidak terasa panas, mulutnya tidak berbusa, dan tidak ada satupun luka yang ditemukan. Kemungkinan, kucing ini telah ditelantarkan oleh pemiliknya atau mungkin memang lagi tersesat aja.

“Gimana, Pak Nael?” Tanya Michelle dengan nada yang masih terdengar risau.

“Sepertinya kucing ini jadi sekarat gara-gara kelaparan. Aku rasa, lebih baik kita membawanya ke dokter hewan untuk memberinya pertolongan pertama.” Jelasku dengan nada datar sambil menatap mata Michelle.

“Kalau gitu, ayo kita ke dokter hewan, Pak Nael!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!