NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:20.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MASA HABIS

Justin turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lift, menekan tombol menuju lantai atas. Ia menghembuskan napas panjang, bersiap untuk menghadapi seseorang yang sudah berminggu-minggu sulit sekali dihubungi.

Sesampainya di depan pintu apartemen, Justin menekan bel. Butuh beberapa saat sebelum pintu akhirnya terbuka, menampilkan sosok Nathan yang masih berantakan dengan rambut acak-acakan dan wajah khas orang yang baru bangun tidur.

“Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini datang ke apartemenku?” tanya Nathan dengan nada malas dan sedikit kesal.

Justin mengangkat alis. “Pagi? Kau kira ini pagi? Ini sudah jam dua belas siang, bro. Matahari sudah tinggi.”

Ia menoleh ke dalam. “Apa aku tidak diajak masuk?”

Dengan malas, Nathan membuka pintu lebih lebar. Begitu Justin melangkah masuk, aroma alkohol langsung menyeruak dari dalam ruangan. Mata Justin menyapu seisi apartemen botol-botol kosong berserakan di lantai, asap rokok menggantung di udara, dan beberapa bungkus kondom bekas terlihat mencolok di sudut ruangan.

“Kau baru saja menggelar pesta?” tanya Justin, sambil melirik ke arah kamar tidur. Di sana, ia sempat melihat sosok perempuan yang masih terlelap, hanya tertutup selimut tipis.

Nathan hanya mengangkat bahu. “Bisa dibilang begitu.”

Justin menggeleng pelan, setengah frustrasi, setengah prihatin. “Kau benar-benar sedang menghancurkan dirimu sendiri, Nathan.”

Kini Justin duduk di balkon apartemen Nathan satu-satunya sudut yang masih terlihat layak dan bersih dibandingkan isi dalam yang sudah seperti gudang usang penuh sisa pesta.

Angin siang menerpa pelan, membawa aroma kopi yang baru saja diseduh. Nathan muncul dari balik pintu kaca, membawa dua cangkir kopi hitam, lalu menyerahkannya pada Justin sebelum ia sendiri duduk di kursi seberang.

“Ini tempat paling waras di apartemenmu,” gumam Justin sambil meniup permukaan kopinya.

Nathan menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak sebelum berkata, “Aku butuh kopi untuk tetap sadar... atau pura-pura sadar.”

Justin menatap temannya itu, mencoba mencari jejak Nathan yang dulu karena yang sekarang makin samar tertutup sikap apatis dan pelarian.

"Ke mana saja kau, Nath? Sudah beberapa minggu tak ada kabar. Sulit sekali menghubungimu," ucap Justin, membuka percakapan dengan nada setengah kecewa.

Nathan duduk santai, menyesap kopinya sebelum menjawab dengan nada datar, "Ada beberapa pekerjaan yang butuh perhatian penuh. Aku... sibuk."

Justin menatap wajah sahabat lamanya itu dengan lekat. Ada yang berbeda. Nathan memang selalu terkesan dingin, tapi kali ini ada jarak yang lebih dalam tatapan kosong, nada bicara yang nyaris tanpa emosi.

"Kau dengar soal Mateo?" tanya Justin hati-hati.

"Aku dengar. Aku... turut prihatin," sahut Nathan singkat, lalu kembali menghisap rokok di antara jarinya. Matanya lurus menatap langit, seakan ingin melarikan diri dari percakapan.

Setelah itu, tak ada lagi kata. Hanya hening yang menggantung di antara mereka. Justin tak bisa menepis kegelisahannya sahabat yang dulu ia kenal, kini terasa seperti orang asing.

Saat keduanya larut dalam pikiran masing-masing di balkon kecil apartemen itu, tiba-tiba terdengar suara pintu depan terbuka.

Cklek.

Justin secara refleks menoleh ke arah suara tersebut, begitu pula dengan Nathan yang mendadak tampak tegang.

Langkah kaki terdengar pelan namun pasti, menyusuri lantai kayu apartemen yang berantakan. Sosok itu perlahan muncul dari balik pintu ruang tengah seorang wanita muda dengan rambut kusut dan wajah pucat. Ia mengenakan jaket milik Nathan yang kebesaran, matanya sembab, dan tatapannya kosong.

Justin menegang, tidak menyangka ada orang lain di sana.

Wanita itu tampak kaget saat melihat dua pria itu di balkon. Tangannya memegang ujung jaket erat-erat, seolah ingin menyembunyikan dirinya.

Nathan berdiri tiba-tiba. "Masuk lagi ke kamar," ucapnya pelan tapi tegas.

Wanita itu menatap Nathan beberapa detik ada luka dalam di balik tatapan itu lalu ia menurut tanpa sepatah kata pun, berjalan kembali ke dalam dan menutup pintu kamar dengan lembut.

Justin menoleh tajam. "Siapa dia?"

Nathan menghela napas panjang. "Bukan urusanmu."

"Tapi jelas dia bukan cuma 'teman semalam' biasa, Nath. Wajahnya... dia tampak seperti tawanan."

Nathan menghindari tatapan Justin. "Kau datang ke sini untuk tanya kabarku atau mengadili hidupku?"

Justin terdiam. Ada yang tidak beres sangat tidak beres.

Melihat suasana yang makin tegang dan jelas ada sesuatu yang tidak ingin dibagikan Nathan, Justin pun memutuskan untuk mundur. Ia menghela napas, lalu bangkit dari duduknya di balkon.

"Baiklah," katanya pelan, menatap sahabatnya. "Aku pergi dulu. Nanti aku mampir kembali… kalau kau masih ingin bicara."

Nathan tidak menjawab, hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Matanya terpaku pada langit yang mulai mendung, seolah pikirannya melayang entah ke mana.

Justin melangkah meninggalkan balkon, menyusuri ruang tengah yang masih dipenuhi aroma alkohol dan sisa kekacauan malam. Saat ia membuka pintu apartemen, ia sempat melirik ke arah kamar tempat wanita tadi menghilang pintu itu tertutup rapat, sunyi.

Begitu pintu apartemen tertutup, panggilan telepon masuk kedalam ponsel Nathan.

Di tempat berbeda, Mateo tengah duduk di ruang kerja rumahnya. Siang hari, pria itu masih mengenakan baju kaus yang sama seperti semalam, kusut dan tak rapi. Ia tak pergi ke kantor, bahkan sejak kemarin ia lebih banyak mengurung diri. Wajahnya murung, tatapan matanya kosong menatap layar komputer di depannya yang menampilkan grafik saham perusahaan yang terus menurun tajam.

Tok. Tok.

Ketukan lembut terdengar dari balik pintu, lalu suara pelan menyusul.

"Ini tuan, kopinya," ucap Livia yang masuk dengan hati-hati, membawa nampan kecil berisi secangkir kopi hangat.

Mateo hanya melirik sekilas. Tatapan matanya dingin, tak ada balasan kata, lalu ia kembali fokus menatap grafik layar monitor.

Livia meletakkan kopi itu di meja kecil di sampingnya. Ia ingin bicara, namun tak tahu harus memulai dari mana. Ruangan itu terasa sangat dingin, bukan karena suhu, tapi karena sikap Mateo yang tak terjamah.

"Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya Livia dengan suara hampir tak terdengar.

Mateo tetap diam. Livia pun akhirnya melangkah mundur perlahan, hendak keluar dari ruangan itu.

Tepat saat ia hendak memegang gagang pintu, suara berat Mateo memecah keheningan saat pria itu menerima sambungan telepon.

"Sahamku anjlok, dan aku bisa kehilangan segalanya."

Livia menoleh pelan, Namun Mateo nampak fokus dengan sambungan telepon dan masih terpaku pada layarnya.

Kejayaan Mateo berakhir…

Ia gagal meyakinkan semua orang.

Para investor menarik diri, kepercayaan publik runtuh, dan perusahaan yang dulu berdiri megah atas namanya kini hanya tinggal nama di tepi jurang kehancuran.

Mateo menunduk dalam-dalam di kursinya. Tangannya terkepal di pangkuan, tubuhnya tak bergerak seperti patung yang kehilangan nyawa. Bayangan masa lalunya kemenangan demi kemenangan, sorotan media, aplaus rekan bisnis semua terasa seperti mimpi buruk yang berakhir tragis.

Kini… bahkan suaranya sendiri tak lagi ia percaya.

Ia mendengar pintu ruang kerja tertutup pelan. Livia telah pergi, menyisakan dirinya sendirian di dalam ruangan yang penuh bayang kegagalan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Mateo Velasco merasa takut. Bukan pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri.

Mateo turun ke ruang bawah tanah dengan langkah berat namun pasti. Sepi. Hanya suara langkah sepatunya yang menggema di lorong gelap itu. Di ujung ruangan, Dion duduk lemah bersandar di dinding dingin, matanya kosong namun tetap memancarkan sisa-sisa harapan.

Tanpa sepatah kata, Mateo mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Senjata itu mengarah lurus ke kepala Dion.

"Dengan berakhirnya kejayaan perusahaanku..." suara Mateo datar, tanpa emosi, "...maka berakhir juga hidupmu, Dion."

Jari Mateo mulai menekan pelatuk.

Namun di saat itu sekejap sebelum bunyi ledakan terdengar mata Dion menatapnya, bukan dengan ketakutan, melainkan dengan sesuatu yang lebih dalam... sebuah luka, pengkhianatan, dan permintaan maaf yang tak pernah sempat disampaikan.

Suara ledakan menggelegar memecah keheningan malam. Livia yang tengah berada di kamar sontak berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia mengenali suara itu, pistol.

Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, menyusuri lorong panjang menuju ruang bawah tanah. Namun langkahnya terhenti saat melihat Frans dan Sebastian keluar dari pintu besi yang selama ini tertutup rapat. Di antara mereka, terdapat sebuah kantung hitam besar yang mereka bawa dengan susah payah.

Livia terdiam. Pandangannya tertuju pada kantung itu kantung mayat. Tubuhnya gemetar. Nafasnya tercekat.

"Itu... Dion?" bisiknya lirih, seolah berharap jawabannya adalah tidak.

Namun Frans hanya menunduk, dan Sebastian menarik napas panjang tanpa berkata apa-apa.

Livia menutup mulutnya, menahan isak. Air mata langsung mengalir begitu saja, menghantam pipinya yang pucat. Dalam hatinya, ia tahu... Dion telah pergi dan sekarang hanya menyisakan ia dalam kegelapan rumah ini.

Livia terduduk lemas di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Isaknya memenuhi lorong sepi itu. Air matanya tak terbendung, mengalir deras saat menyaksikan kantung hitam itu perlahan dibawa menjauh.

Langkah berat terdengar dari ujung lorong. Mateo muncul, sosok tinggi dan dingin itu menatapnya tanpa perasaan. Ia berhenti beberapa meter dari Livia yang masih terisak di lantai.

“Apa kau sudah mengucapkan selamat tinggal pada pria pecundang itu?” ucap Mateo datar, seperti kematian Dion bukanlah hal besar.

Livia menatapnya dengan mata merah dan sembab. “Anda kejam, Tuan... Anda membunuh orang yang tidak bersalah!” isaknya, lalu berdiri dan memukul dada Mateo dengan kedua tangannya yang lemah.

Mateo menepis tangan Livia dengan kasar. “Diam!” bentaknya, lalu mencengkram lengan Livia erat, membuat wanita itu meringis kesakitan.

Napas Mateo memburu, matanya tajam menusuk. Tapi entah kenapa, ada sekelebat keraguan di sana. Namun, ia memilih menepisnya, menekan perasaannya yang tak ia kenali perasaan yang mulai mengusik sejak kejatuhannya dimulai.

Mateo menyusul Frans dan Sebastian menuju parkiran, mengikuti mereka yang membawa kantung hitam berisi jasad Dion. Saat ia hampir memasuki mobil, langkahnya terhenti saat sosok familiar muncul dari balik mobil lain.

Justin.

Pria berkacamata hitam itu berjalan cepat menghampiri, tatapannya tajam penuh pertanyaan. Matanya bergantian menatap Mateo dan kantung hitam yang baru saja dimasukkan ke bagasi.

“Kau mau ke mana, Mateo?” tanyanya dingin.

Mateo menoleh sebentar, lalu kembali fokus membuka pintu mobil. “Mengubur pecundang itu,” jawabnya datar.

Justin memegang lengan Mateo, menghentikannya. “Kau gila? Kau membunuh Dion tanpa bukti yang jelas? Apa kau benar-benar yakin dia pelakunya?”

Mateo menepis tangan Justin dengan kasar, rahangnya mengeras. “Tanpa bukti menurutmu? Omong kosong, Justin! Semua bukti mengarah pada bajingan itu. Rekaman, laporan, dan kehadirannya yang mencurigakan… Dan kau masih membelanya?!”

“Aku tidak membela siapa pun! Aku hanya tidak percaya kau membunuh orang tanpa memastikan kebenaran, Mateo. Kau bukan pembunuh!”

“Jangan munafik!” bentak Mateo, matanya menyala marah. “Jangan bilang kau lebih percaya pria yang menghancurkan hidupku daripada aku sahabatmu sendiri!”

Keduanya terdiam beberapa detik, saling menatap penuh emosi. Lalu, tanpa berkata lagi, Mateo masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Justin hanya bisa berdiri terpaku, melihat mobil itu melaju pergi membawa mayat dan kehancuran yang lebih dalam lagi.

“Ada apa, Tuhan, dengan kedua sahabatku... Kenapa mereka berubah sejauh ini?” batin Justin, menatap kosong ke arah mobil Mateo yang sudah menghilang di kejauhan.

Saat ia hendak pergi, suara isakan lirih terdengar dari dalam rumah. Justin mengikuti sumber suara itu, melangkah masuk melewati pintu yang tak dikunci. Di sana, di lantai marmer dingin ruang tamu, ia melihat Livia terduduk menangis pilu dengan tubuh gemetar.

Justin tak perlu bertanya. Ia tahu, ia mengerti.

“Hai, Livia...” ucap Justin lembut, menunduk dan berlutut di hadapannya. “Tenanglah...”

Livia menatapnya dengan mata merah dan sembab, lalu tanpa ragu memeluk Justin, tubuhnya seolah mencari perlindungan terakhir dari dunia yang tak adil.

“Ia membunuh teman saya, Tuan...” lirih Livia di antara isak tangisnya. “Saya yakin... saya yakin Dion tidak bersalah. Dia dijebak... sama seperti saya...”

Justin membiarkan Livia menangis dalam pelukannya. Dalam diam, pikirannya terus berputar. Ia juga punya firasat yang sama bahwa ada sesuatu yang tidak beres, bahwa semua ini terlalu rapi untuk dianggap sebagai kebetulan. Tapi sampai Dion mati, ia tak pernah berhasil membuat Mateo mendengar, apalagi percaya.

“Aku gagal, Liv,” gumam Justin lirih, menatap kosong ke arah dinding. “Aku sahabatnya... tapi aku bahkan tak bisa membuka mata dan pikirannya...”

Livia hanya membalas dengan tangis yang semakin pilu. Di dalam rumah besar yang sunyi, isakannya terdengar begitu menyayat.

Cukup lama Justin menenangkan Livia, hingga kini gadis itu tampak lebih tenang. Ia sedang duduk bersandar di sofa sambil meminum susu hamil untuk pertama kalinya sejak mengandung. Semua itu berkat Justin, yang dengan perhatian membawa beberapa kotak susu khusus ibu hamil.

"Simpan ini di tempat yang aman," ucap Justin seraya menyerahkan satu kotak terakhir. "Jangan sampai Mateo melihatnya, Livia. Kau mengerti?"

Livia mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Tuan. Anda sangat baik pada saya...”

Justin hanya membalas dengan senyum kecil, getir. Hatinya mengeras setiap kali melihat Livia. Gadis ini sedang mengandung anak Mateo, tapi pria itu memperlakukannya seolah tak lebih dari tawanan rumah sendiri.

"Apa Mateo pernah membawamu periksa kehamilan di rumah sakit?" tanya Justin hati-hati.

"Dokter pribadinya yang datang kemari. Harusnya besok adalah pemeriksaan ketiga," jawab Livia pelan. "Tapi... semuanya harus dilakukan di rumah. Tuan Mateo tidak mengizinkan saya pergi, atau siapa pun membawa saya keluar. Jika ada yang melanggar, baik saya atau orang itu... akan diberi pelajaran.”

Justin menghela napas panjang.

“Kau tak sendiri, Liv. Aku akan cari jalan keluar,” ucap Justin mantap, walau dalam hati ia tahu ini akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.

1
kayla
/Coffee//Coffee/
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
terharu
Uthie
Wadduuhhhh.. susah kalau kejahatan mistis kaya gtu mahh 😥
Uswatun Hasanah
kok ada mistiknya
Ria Nasution
jgn la mati Livia nya. balikkan lg mantra kiriman tersebut
kayla: yang harus kau lenyapkan itu kakekny mateo bukan livia..
kenapa tidak kau lenyapkan kakekny mateo dari sejak awal jika kamu bisa bermain kotor seperti itu.. mungkin alana akan terselamatkan/Sleep/

kayak nonton sinetron bkin emosi kak..
tp penasaran gmna ujungna..
nex kka semangat..
total 1 replies
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
lanjut
Uswatun Hasanah
mantul
Uthie
makin seru 👍👍🤩
dan suka juga niii cerita nya, langsung satset gak pake lama cerita penelurusan Alana nya 👍👍😁🤩🤩
istripak@min
lanjot thor
istripak@min
apa livia kembaran meteo???
Uthie
niceee 👍
istripak@min
menghina livia gakk taunya livia turunan velasco yg dibuang krn ank perempuan pertama ,ku rasa ank liam si livia ini
Uthie
jahatnya 😡
Uswatun Hasanah
mantap
kayla
kasihan livia..
hmm jd gak kuat baca nya..
gak sanggup terlalu banyak kekejaman..
tp mau tahu endingnya..
lanjut kak
jangan kecewakan endingny ya kak/Facepalm/
Susanti
ibunya mateo gendeng 😤
Uthie
lebih menyeramkan adalah musuh dari orang terdekat, Bahkan sangat dekat dan lebih berbahaya.. tak terdeteksi 😡
istripak@min
bos kok begok yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!