Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ice Krim pemberian Aroon
“Apa bu Luna bisa memaafkanku setelah semua hancur tak berbentuk lagi,” ucap seorang wanita yang kini benar-benar merasa malu. Memutuskan untuk meninggalkan kota, meninggalkan impiannya untuk melanjutkan belajar di fakultas kedokteran. Memilih hidup di desa dan jauh dari hiruk pikuknya kenangan yang sulit dilupakan di sana.
“Maaf Bu, aku sudah membuatmu kecewa karena tidak bisa menahan sebuah keinginan hingga menjadi egois.” Suara itu hanya bisa didengar oleh angin dan dirinya saja.
Emi pikir, dengan pergi dan tidak menemuinya kembali. Maka keadaan akan sedikit membaik, terlebih Luna adalah wanita yang begitu baik. Tidak pernah menaruh dendam, bahkan memakinya seperti kebanyakan orang. Dia wanita berhati malaikat, begitu bangganya jika seorang lelaki bisa bersanding dengannya. Namun, tidak oleh Arindra.
“Mungkin jalan ini sedikit bisa lebih baik,” lirih Emi dan merentangkan kedua tangannya.
…………………………………
Malam hari.
Suasana hati Luna sedang gelisah, ia butuh sebuah ketenangan dan sekarang dia berada di taman. Tidak peduli jika saat ini sudah malam.
“Kapan aku bisa sembuh dan mulai bekerja kembali? Jika dulu ada Arindra, tetapi sekarang aku hanya mengandalkan diriku sendiri.” Dalam hati, Luna hanya bisa bergumam karena sudah dua minggu tangannya masih saja sakit.
Lepas dari belenggu rumah tangga penuh dengan kepalsuan, memulai kembali kehidupan baru. Namun, tubuhnya sama sekali tidak bisa diajak kerja sama. Luna tidak mungkin terus menerus menjadi beban sahabatnya, tidak mungkin selalu menadahkan tangannya kepada sahabatnya. Walau Aruna dengan ikhlas merawatnya sampai benar-benar sembuh total.
Malam ini sedikit sunyi. Langit yang dipenuhi bintang, dan juga bersanding dengan bulan. Begitu lengkapnya mereka, sehingga membuat Luna menatap penuh iri. Sampai-sampai tidak menyadari jika seseorang ikut berdiri dan memandangi langit dengan mata telanjangnya.
“Apa yang kamu pikirkan setelah menatapnya begitu lama,” ucap Aroon.
“Entahlah, aku hanya ingin menjadi malam yang akan diterangi oleh bulan.” Jawab Luna dan sedetik kemudian menoleh ke arah seseorang yang mengajaknya bicara.
“Untukmu,” ucap Aroon.
Luna bukannya menerima pemberian Aroon, justru menatapnya dengan heran. Ia bukanlah anak kecil, kenapa dia bisa memberikannya Ice Krim.
“Ar, apa kamu sedang mengajakku bercanda?” Dengan senyum mengejek Luna berucap, untuk pertama kalinya menerima perlakuan seperti ini.
“Apa aku sedang mengajakmu bercanda? Kamu tahu, aku bukanlah lelaki romantis dan tak acuh kepada orang. Ketika Aruna kecil, dan aku berada di suasana hati yang buruk. Dia–sahabatmu memberikan ini kepadaku, dari situ suasana hati mulai membaik.”
Ucapan Aroon sungguh membuat Luna ingin tahu, rasa penasaran menggugah hatinya untuk menerima apa yang diberikan oleh lelaki tersebut.
“Ada satu hal yang tak bisa aku selesaikan sendiri, seberapa banyak yang aku makan. Namun, di sisi itu. Dia juga teman ketika aku berada di suasana buruk,” ucap Aroon lagi sembari membukakan bungkus Ice krim untuk Luna.
Sedetik kemudian, Luna mulai menikmati Ice krim itu. Rasa dingin bercampur dengan rasa coklat menyatu di lidahnya. Benar saja, apa yang dikatakan oleh Aroon. Kini suasana hatinya kembali ke masa lalu, sewaktu kecil dulu. Di mana belum mengerti arti kata dewasa bergelut bersama takdir untuk mengatur hidupnya.
“Ar, terima kasih. Sekarang ingatanku kembali ke masa kecilku dulu, belum mengerti apa pun, berjalan menikmati permainan dan memakan ini.” Luna yang tak kuasa menahannya pun, akhirnya menangis. Ia rindu masa-masa itu, ia rindu dan ingin mengulang waktu yang tak akan bisa merasakannya kembali.
“Apa kamu sudah melupakan masalahmu ketika dewasa dan dihadapkan sebuah takdir?”
Luna mengangguk, benar apa yang dikatakannya.
“Jangan menangis, jangan membuatnya jatuh karena aku membelinya dengan hasil mengamen.”
Luna pun langsung tersedak, mendongakkan kepalanya dengan tidak percaya.
“Pembohong. Harganya tidak mahal, tidak mungkin kamu tak punya uang!” dengus Luna dan sungguh tidak bisa mempercayainya.
“Jangan melihat dari harganya, lihatlah dari hasil perjuanganku karena aku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar berjuang agar bisa membelinya.” Jawab Aroon dengan sedikit menyombongkan dirinya.
Luna hanya bisa terdiam, ternyata selama ini dia salah. Orang yang pernah diperjuangkan dulu tak pernah memperjuangkannya, tetapi orang lain benar-benar berjuang untuknya.
“Aku tidak peduli kamu mendapatkannya dari mana. Apa pun itu, terima kasih.”
Aroon pun mengubah posisinya, lalu dengan perlahan menyapu bibir Luna yang belepotan itu. “Dasar anak kecil, kenapa harus belepotan!” ejek Aroon dengan seulas senyum.
Luna hanya bisa terdiam, ketika tangan kekar dan lembut itu mengusap bibirnya. Hingga tetes demi tetes Ice itu terjatuh.
“Lun, apa yang bisa kamu tebus karena bajuku kotor olehmu!” ucap Aroon, yang seketika membuat Luna tersadar.
“Ma-maf, aku tidak sengaja.” Jawab Luna dengan ekspresi gugup.
“Sudahlah, aku hanya bercanda. Mari kita pulang,” ucap Aroon.
Luna mengangguk, Aroon yang tidak bisa sabar karena memang Luna juga masih menggunakan Kruk, sebagai alat bantu jalan.
“Ar, apa yang kamu lakukan?” Luna sedikit terkejut ketika mendapati Aroon berada di depannya dengan cara membelakanginya, sedikit membungkuk dan bersiap untuk menggendongnya.
“Jika kamu berjalan sendiri, kita tidak akan sampai di rumah.” Jawab Aroon.
“Aku bisa, jika kamu tidak sabar. Pulanglah sendiri, lagi pula aku tadi berjalan kaki. Bukankah kamu membawa mobil dan itu membuatmu segera sampai di rumah,” ujar Luna.
“Lun, maaf bukan niatku membuatmu sedikit merasa—.”
“Aku tidak marah,” sahut Luna.
“Anggap saja permintaan terakhirku sebelum besok pergi menuju bandara.”
Lagi … untuk kedua kalinya ia merasa ditinggalkan oleh seseorang. Dia yang berhasil menghiburnya, tapi dia juga tega meninggalkannya.
“Kapan kamu berangkat?” tanya Luna dengan wajah seperti sedang menahan sesuatu.
“Jam 10 aku harus naik pesawat. Waktuku di sini sudah habis dan sudah saatnya kembali untuk bekerja,” jawab Aroon dengan tenang.
“Kalau begitu aku memberimu izin untuk menggendongku, tapi dengan syarat.” Kata Luna dengan suara bergetar menahan agar sesuatu di pelupuk matanya tidak jatuh.
“Asal jangan meminta untuk memetik bulan saja. Apa pun itu aku sanggup,” jawab Aroon dengan sedikit candaan.
“Aku ingin kamu menggendongku sampai di rumah,” ujar Luna dengan sebuah permintaannya kepada Aroon.
“Baik, aku akan melakukannya.” Itulah jawaban yang diberikan oleh Aroon.
Dengan langkah perlahan, Luna yang berada di gendongan Aroon hanya bisa terdiam. Namun, matanya tak bisa berbohong jika akan kehilangan sosok sebaik Aroon. Berusaha memenangkan hatinya, walau sedikitpun Luna tidak pernah memberinya kesempatan.
“Ar, setelah sampai sana. Apakah kamu akan melupakanku,” ucap Luna dengan suara lirih.
“Tergantung, jika kamu memintaku untuk melupakannya. Aku pun akan melakukannya, tetapi jika kamu mengizinkanku untuk terus mengingatmu. Sampai kapan pun aku akan mengingatmu,” jawab Aroon dengan jujur.
“Jangan biarkan aku keluar dari pikiranmu. Ingat aku sebagai saudara, biarkan kenangan kita selalu tersusun rapi.”
Dengan berat hati, tanpa Luna sadari jika lelaki sekuat Aroon bisa menangis.