Dulu, Lise hanya ingin sekolah dengan tenang. Tapi sejak bertemu Kevin, pria dengan rahasia di balik setiap diamnya, semua berubah. Hatinya yang polos tak bisa membohongi getaran tiap kali Kevin menatapnya. Meski dunia Kevin gelap, Lise merasa hangat saat di dekatnya. Seolah... cinta itu memang tidak selalu datang dari tempat yang terang.
“Kalau dunia ini hancur besok, kamu bakal nyesel udah deket sama aku?” bisik Kevin di telinga Lise, jemarinya menyentuh lembut dagu gadis itu.
Lise tersenyum kecil, lalu menggeleng.
“Enggak. Karena sejak hari pertama kamu panggil nama aku, hidup aku mulai punya arti.” mata sayu nya menatap lembut pada pria yang telah mengambil hatinya itu.
------
Karya ini adalah hasil tulisan asli saya. Dilarang keras mengambil, menyalin, atau memodifikasi tanpa izin. Plagiarisme adalah pelanggaran serius dan tidak akan ditoleransi.
#OriginalWork #NoPlagiarism #RespectWriters #DoNotCopy
penulis_ Evelyne Lisha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evelyne lisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Cemburu yang tak terasa
Kevin terdiam sebelum tersenyum lebar. Pikirannya melayang, membayangkan wajah cantik Lise yang membuat jantungnya sedikit melompat-lompat.
Essert terdiam kaku, jelas tidak menyangka dengan reaksi Kevin yang sangat berbeda. Ah, tidak, bukan berbeda. Tetapi itu adalah ekspresi yang belum pernah terlihat sejak Kevin berusia sepuluh tahun.
"Kelinci putihku yang melakukannya," ujar Kevin sembari terus mengukir senyumnya.
"Segini saja, Ayah. Saya akan kembali."
Essert tersenyum, entah perasaan apa yang menyangkut di hatinya. Namun, Essert merasa lebih lega melihat Kevin yang tampak lebih tenang.
"Baguslah, semoga kau selalu seperti itu, Keke."
Derungan motor terdengar. Kevin segera turun dari motornya, namun ia mengerutkan keningnya ketika mendengar suara tawa dari dalam rumahnya.
Dengan cepat, Kevin membuka pintu dan terkejut melihat Lise dan Jared yang menoleh ke arahnya.
"Kevin! Kau sudah kembali!"
Ujar Lise antusias, lalu berlari ke arahnya. Sementara itu, Kevin hanya menatap tajam ke depan.
Entah apa yang dirasakannya, namun rasa kesal mulai menyeruak di hatinya. Apalagi, melihat Jared yang hanya mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bawahnya saja, dengan itu, amarah Kevin tak tertahankan.
"Kalian sedang apa?" tanya Kevin dingin, tangannya mengepal sambil terus melangkah dan duduk di sofa.
"Kami sedang berbincang," jawab Lise sambil duduk di samping Kevin.
"Berbincang?"
"Benar, tadi Lise terlihat murung. Apa kau ingin tahu alasannya?"
Bisik Jared pada Kevin. Jelas sekali Kevin tambah murka, namun untungnya dia masih bisa mengendalikan ekspresinya.
"Pakai baju saja dulu sana, Jared. Kau tahu sangat tidak sopan bila tidak berpakaian seperti itu di hadapan seorang gadis," ujar Kevin dengan tatapan tajam, tatapan yang seakan akan membunuh bila tidak dituruti.
"Ah, maaf, saya tidak sopan. Kalau begitu, saya akan segera mengenakan pakaian."
"Kenapa begitu banyak bicara?! Pakai saja pakaianmu dengan cepat!"
Kini terlihat mata Kevin yang benar-benar marah. Dengan geli, Jared berdiri dan pergi ke ruang ganti di sebelah kamar mandi.
"Ada apa denganmu, Kevin? Kau terlihat Sangat kesal," ujar Lise sambil menatap Kevin yang kini menatapnya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Kevin serius. Tatapannya membuat Lise sedikit kaku.
"Ha? Apanya?"
"Jangan pura-pura tidak mengerti, Lise. Aku tahu kau mengerti maksudku!"
"Bagaimana bisa aku mengerti jika kau tiba-tiba bertanya begitu? Seenggaknya katakan apa 'hal' yang berkaitan dengan kata 'bagaimana menurutmu' itu."
Ujar Lise sambil menyilangkan kakinya di atas sofa dan menatap Kevin dengan beringas.
"Tubuh."
Ucap Kevin dingin. Lise memiringkan kepalanya mendengar pernyataan itu.
"Tubuh? Tubuh apa?"
Kevin menatap tajam Lise, yang kini menyadari apa yang dimaksud dengan 'bagaimana menurutmu' itu.
"Ah. Oh. Ahahaha, ya ampun, Kevin. Kau ini benar-benar… ahahaha."
Kevin menggeram kesal saat Lise menertawakannya.
"Jawab aku! Bagaimana menurutmu, hah? Kau suka, ya, pada tubuh yang berotot dan kekar itu?"
Lise menangkup wajah Kevin dengan kedua tangannya, menatap mata suaminya Kevin dalam.
"Aku lebih menyukaimu dari pada tubuh yang berotot itu."
Gumam Lise pelan, Kevin tersentak dengan gumamannya.
"Apa? Kau bilang apa?"
"Kubilang, aku tidak suka tubuh berotot itu."
"Tidak! Bukan, sebelumnya!"
Lise mencubit gemas pipi Kevin sebelum berpindah ke posisi semula.
"Apa memangnya? Aku hanya mengatakan yang tadi, tuh."
"Bohong. Yah ... terserah deh."
Ujar Kevin tersenyum sebelum melonjorkan kakinya ke meja.
"Omong-omong, Jared bilang kau tadi terlihat murung. Kenapa?"
Lise tertunduk diam, tak bersuara. Hatinya kembali kesal, memburuk, tapi sekarang Lise merasa lebih tenang dibanding saat di sekolah.
Kini Kevin yang menangkup wajah Lise dan membuatnya menghadap padanya. Wajah semburat Lise membuat Kevin ingin mencubit pipinya. Ah, tidak. Sangat membuat Kevin ingin menggodanya.
"Ceritakanlah, Lise."
Ujar Kevin sambil terus menangkup wajah Lise dan menatapnya.
"Gak mau, Kevin."
Kevin perlahan mendekatkan wajahnya hingga hanya tersisa beberapa inci, membuat Lise tersentak dengan kelakuan sobatnya itu.
"Jika kau tidak menceritakannya, aku akan menciummu, loh."
Lise merona merah sebelum menepis tangan Kevin dari wajahnya.
"Baiklah, baiklah, aku cerita."
Ujarnya sebelum mengangkat kakinya ke sofa dan bersandar di bahu Kevin.
"Hari ini, ada direktur datang ke sekolah."
"Direktur? Apa direktur Clark?"
"Clark? Kau tahu?"
Tanya Lise sambil menatap Kevin, penasaran.
"Iya, semua orang mengetahuinya. Dia direktur dari perusahaan XEA, kan? Dia itu investor sekolah itu, dan dia biasanya juga mendanai study tour setahun sekali."
Jelas Kevin sambil mengusap kepala Lise yang bersandar di bahunya. Lise hanya terdiam, mendengarkan penjelasan dari Kevin tentang direktur itu.
"Memangnya apa yang membuatmu begitu murung dari direktur itu?"
Lise menahan napasnya, mencoba menstabilkan hati dan pikirannya yang semrawut sebelum ia mengatakan kebenarannya pada Kevin.
"Dia... ayahku."
Kevin tersentak, matanya melebar, tubuhnya seketika kaku. Mendengar Lise yang tiba-tiba mengatakan bahwa direktur itu ayahnya, bibirnya terdiam, tak bisa berkata-kata.
"Tapi dia sudah bukan ayahku lagi, Clar."
"Semenjak tujuh tahun lalu."
"Eh? Kenapa?"
Tanya Kevin penasaran, namun rasa penasaran itu lebih seperti merasa kasihan, bukan rasa sekadar ingin tahu.
"Ayah dan ibuku bercerai saat aku berusia 10 tahun."
"Yah, ceritanya panjang sih."
Kevin menundukkan kepalanya, entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman saat Lise berkata itu. Entah apa yang harus dilakukannya, jelas-jelas Lise terlihat seperti memiliki keluarga yang sempurna. Tapi ternyata, ia tidak memikirkan sosok ayah di sisinya.
"Ceritakanlah, Lise."
Kevin menatap Lise dengan tajam. Lise yang melihat Kevin begitu hanya menghela napasnya, jelas berat membahas hal ini.
"Jika dia ayah yang baik, kau tidak mungkin akan murung dan kesal seperti ini, kan?"
Lise terdiam, matanya menatap Kevin dengan terkejut. Entah bisa atau tidak ia menceritakan hal yang begitu ia benci selama ini.
Akan tetapi, tatapan dari mata Kevin membuatnya ingin mengeluarkan semua hal yang terpendam di dalam hatinya selama ini. Membuatnya ingin menangis dan mengadu dengan apa yang selama ini ia alami. Dan mengalahkan semua itu secara emosional dan meluapkan kekesalannya yang sedang membuncah.
Malam yang terasa panas, memanaskan bara api di hati Lise ini perlahan hanyut menjadi kesejukan yang memadamkan hawa?
Mereka berbincang hangat di balkon kamar Lise, sembari memandang kota malam yang terang.
"Sudah kuduga, mereka saling menyukai, tapi belum menyadari."
Gumam Jared yang berjalan ke bawah setelah mengintip Lise dan Kevin.
______________________
Btw, sorry thor, itu ada bbrp paragraf yg ke ulang²/Frown/