Kalista : Mengejar Cinta Pak CEO

Karena Julio tidak tahu, tentu saja dia cuek. Sore harinya punya kesempatan kembali ke kantor untuk memberi Kalista jawaban.

"Alright, kita makan malem. Sekalian aku juga mau ngobrol sama Calon Rektor Masa Depan UA."

Kalista bersorak girang. Mereka pergi lebih awal dan Julio tidak pernah menyangka bahwa ia pergi tanpa memberitahu adiknya lebih dulu. Biasanya Julio santai, tapi sekarang ia merasa kalau memberitahu Sergio, itu seperti ia berbohong sangat kejam.

Mereka pergi ke lokasi yang dikatakan Bu Direktur-nya Kalista, dituntun ke area VIP restoran di mana wanita itu duduk menunggu.

"Ibuuuu." Kalista merentangkan tangan, langsung datang memeluknya.

"Halo, Bocah." Bu Direktur mengacak-acak rambut Kalista. "Baju kamu bagus gini kok dibilang jelek?"

"Gak, jelek banget dari baju aku biasanya."

Julio tertawa kecil sebelum ia datang bergabung. "Malam, Bu Winnie."

"Malam, Pak Julio." Bu Winnie menjabat tangannya formal sekalipun usia Julio jauh lebih muda darinya. "Saya minta maaf anak didik saya nyusahin Bapak. Kalau ada keluhan tolong jangan sungkan kasih tau saya, Pak."

Julio terkekeh. "Keluhan saya lebih ke arah bapaknya sih, Bu. Kalau bisa dibantu soal itu, tolong."

"Ohya?"

Kalista mengangguk, menceritakan betapa kejam dan tidak berperasaan Rahadyan padanya.

*

Dari interaksi Kalista dengan Bu Winnie, Julio bisa menangkap seerat apa hubungan mereka. Nampaknya dia benar-benar ibunya Kalista tanpa hubungan darah. Tampak jelas Kalista menyayanginya dan tampak jelas Bu Winnie menyayangi Kalista.

Tapi ... juga nampak jelas dia tidak menyimpan perasaan pada Rahadyan. Tidak terlihat ada asmara di matanya saat membahas Rahadyan yang konyol.

Kasian juga Om, pikir Julio mengamati dua perempuan itu. Satunya enggak tertarik ke Sergio, satu lagi ke Om Rahadyan. Padahal dua-duanya udah sayang banget.

Perempuan memang gitu, yah?

"Kalista, Ibu tau kamu enggak mau bahas ini," kata Bu Winnie setelah semua basa-basi mereka berakhir, "tapi Ibu masih mau kepastian. Kamu yakin enggak mau kuliah?"

"Yakin."

"Oke, Ibu terima. Ibu nanya ini bukan karena Ibu bilang kuliah itu satu-satunya masa depan. Ibu cuma mau tau. Kamu mau apa kedepannya?"

Julio meletakkan garpu dan pisaunya, ikut serius menyimak. Kalista tidak serius di kantor jadi Julio pun berpikir Kalista tidak mau bekerja. Kalau dia tidak mau kuliah lalu tidak mau kerja, lalu dia mau apa?

"Nikah."

Jawaban Kalista membuat Julio mau tak mau tertawa.

"Kak Julio kok ketawa?!"

"Sori." Julio mengambil gelas airnya. "Kamu unik banget soalnya."

"Aku serius." Kalista cemberut. "Kenapa sih enggak boleh gitu? Seakan-akan mimpi itu harus jadi CEO atau jadi orang kantoran?"

Oke, itu agak menohok.

"Kalista." Bu Winnie menarik bahu Kalista menghadap padanya. "Ibu mau kamu jawab serius. Kamu ngomong begini karena lagi suka sama seseorang atau ...."

"What? Nooo." Kalista menggeleng dan itu membuat Julio agak kaget.

Sejujurnya ia pikir itu karena Julio ada di depannya.

"Terus karena?"

"Ya karena aku mau." Kalista mengangkat bahu seolah-olah itu hal enteng. "Aku udah bilang gitu ke Papa perasaan. Waktu pertama kali aku dateng terus kayaknya ada yang bahas soal aku cucu pertama, ngambil tempat Rahil atau gimana. Terus aku bilang aku enggak mau. Aku enggak butuh. Aku mau nikah aja."

Julio merasa harus banyak minum. Serius ia berpikir Kalista bilang begitu karena dirinya. Itu agak memalukan bahkan jika hanya pikiran saja.

Sementara itu, Kalista menjawabnya tanpa menyadari perasaan Bu Mantan Direktur juga Julio.

"Aku udah kerja dari dulu. Waktu sama Mama, maksudnya. Terus, aku liat Mama juga kerja."

Kalista menusuk garpunya ke potongan daging di piring, makan sambil melihat kedua orang dewasa itu.

"Terus aku mikir, ngapain aku mimpi punya kerjaan? Capek amat. Kan ada alternatif jadi istri. Of course jadi istri juga capek. Di rumah juga harus ngerjain sesuatu dan harus ngurus anak. Tapi kayak ... kenapa orang boleh mimpi jadi dokter, jadi pilot, jadi direktur tapi enggak boleh mimpi jadi istri?"

Kedua orang dewasa itu dibuat terdiam.

"Justru karena itu kerjaan yang super duper susah, berarti itu sama berharganya sama mimpi jadi dokter, kan? Bedanya dokter harus sekolah, ibu rumah tangga harus belajar masak, psikologi rumah tangga sama belajar sabar. So bedanya apa?"

Julio tercengang luar biasa sekaligus tertohok.

Sejujurnya Julio agak berpikir bahwa Kalista adalah perempuan sederhana, terlalu manja jadi dia merasa dunia ini begitu mudah dan agak sedikit bodoh dalam mengambil keputusan.

Tapi dari jawaban Kalista itu, setidaknya tercermin bahwa dia memikirkan itu bukan sekadar ingin menikahi pria tampan yang kaya.

Namun berbeda dari Julio, Bu Winnie malah tertawa kecil. Wanita itu memegang pipi Kalista agar berpaling ke arahnya.

"Oke, Sayang. Pertanyaan terakhir dari saya. Misal aja kamu suka sama Sergio—"

"Aku sukanya Kak Julio, Bu."

"Oke, Pak Julio. Kamu suka sama Pak Julio yang CEO." Tangan wanita itu membelai wajah Kalista. "Terus ternyata kriteria perempuan idaman Pak Julio, yang beliau mau jadi istrinya itu perempuan yang sederajat sama beliau. Yang punya pendidikan formal tinggi, yang punya karier bagus dan sebagainya. Sementara kamu mungkin enggak memenuhi itu. Kamu bakal ngapain?"

"Ngapain?" Kalista membeo sambil menatap ke arah Julio bingung.

"Kamu enggak mau berusaha sederajat?" tanya Bu Winnie, memperjelas.

Itu pertanyaan bagus dan Julio penasaran akan jawabannya.

Kalista masih memandangi Julio heran seolah-olah dia tidak mengerti. "Kenapa aku mesti ngubah prinsip hidup aku buat orang lain?"

Julio nyaris tersedak.

"Aku bisa ngubah gaya baju, gaya rambut, gaya make up, gaya ngomong buat bikin Kak Julio suka sama aku. Tapi kalo Kak Julio enggak mau, maunya sama yang CEO juga, ngapain aku harus ngubah tujuan hidup aku buat Kak Julio?"

"...."

"Bu, aku tuh ngelakuin semuanya selama ini buat diri aku sendiri! Termasuk suka sama Kak Julio, hehe. So, kalo Kak Julio maunya sama yang kayak Ibu terus enggak mau kayak aku, yaudah. Repot amat. Aku cari yang lain aja."

Julio syok berat.

Cari yang lain? Semudah itu?

*