Kakak perempuan Fiona meninggal dalam kecelakaan mobil, tepat pada hari ulang tahunnya ketika hendak mengambil kado ulang tahun yang tertinggal. Akibat kejadian itu, seluruh keluarga dan masyarakat menyalahkan Fiona. Bahkan orang tuanya mengharapkan kematiannya, jika bisa ditukar dengan kakaknya yang dipuja semua orang. Termasuk Justin, tunangan kakaknya yang membencinya lebih dari apapun. Fiona pun menjalani hidupnya beriringan dengan suara sumbang di sekitarnya. Namun, atas dasar kesepakatan bisnis antar keluarga yang telah terjadi sejak kakak Fiona masih hidup, Justin terpaksa menikahi Fiona dan bersumpah akan membuatnya menderita seumur hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Beby_Rexy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Game
"Jangan pedulikan mereka," bisik Justin di telinga Fiona sebelum menggenggam tangannya, lalu menarik Fiona keluar dari kerumunan dan kembali ke tempat mereka semua duduk tadi.
"Wah, kamu tampak gagah mengenakan celana jins itu."
Mereka terus mengejek, dan Justin hanya mengacungkan jari tengah pada mereka.
Bagi Fiona, perjalanan ini adalah... sebuah bencana!
Untuk beberapa saat, Fiona lebih sering menyendiri. Sementara semua orang sibuk mengoceh dan membicarakan ini dan itu. Fiona hanya diam dan menatap ponselnya.
Terkadang Justin akan menyenggol atau meremas tangannya sedikit agar dia tahu dia tidak sendirian, dan Fiona akan membalasnya dengan senyuman kecil sebelum kembali menunduk.
Tidak perlu seorang jenius untuk mengetahui bahwa Fiona tidak merasa ikut bersenang-senang di sana.
"Baiklah..." Kennedy berdiri dan bertepuk tangan.
"Siapa yang mau ikut lomba?" Ia menyeringai sambil meletakkan tangannya di pinggang. Para pria bersorak dan para wanita juga ikut bersorak. Namun Fiona hanya menatap mereka dengan bingung.
"Siapa yang akan menjelaskan pada anak baru ini?" Kim mulai mencari celah untuk mengganggu Fiona, dan mendapat tawa dari semua orang, kecuali Justin, ia hanya melotot sekali dan langsung membuat Kim menelan semua omong kosong yang akan dia katakan selanjutnya.
"Aku akan melakukannya." Olivia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di tengah, lalu menatap lurus ke arah Fiona sambil menyeringai.
"Jadi, para prialah yang berlomba, tentu saja di dalam air. Kita sebagai wanita berdiri di belakang sambil membawa minuman dan bersorak untuk mereka. Kamu adalah pemandu sorak priamu dan kamu harus memastikan dia bersemangat untuk lomba. Tapi biasanya kami tetap di dek." Dia bertepuk tangan dengan penuh semangat dan Fiona menatap Justin sebelum untuk minta jawaban.
Justin mengangguk.
"Bukannya sudah agak terlambat buat berenang?" tanya Fiona.
Olivia menyeringai. "Ini sebenarnya waktu terbaik. Kami menaruh balon di air, dan para pria berlomba mengambilnya kembali ke dek. Siapa pun yang berhasil mengambil balon paling banyak adalah pemenangnya, kami memberinya seribu dolar untuk masing-masingnya."
"Dan yang kalah?"
"Yah, dia bertahan di air untuk waktu yang sangat lama. Sampai kita memutuskan sudah cukup." Olivia mengangkat bahu dengan santai, dan Fiona tampak menggigil, membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Reaksinya sungguh menggemaskan di mata Justin.
"Kedengarannya berbahaya," kata Fiona jujur.
"Memang. Tapi kita punya perenang terbaik di sini, jadi jangan khawatir." Tina menimpali.
Fiona akhirnya mengangguk. "Oke. Ayo kita lakukan." Seharusnya dia tidak mengatakan itu, karena sorak sorai terdengar saat semua orang bubar.
"Mau ke mana mereka?" tanya Fiona sambil bingung.
Justin mengulurkan tangannya dan Fiona menggenggamnya tanpa perlawanan.
"Ganti baju," jawab Justin lalu menarik Fiona dari dek dan langsung menuju kamar tidur mereka.
“Bajingan-bajingan ini, mereka mengganti kamar tidurku dan memberiku kamar yang selama ini dipakai Jord.”
Justin langsung merasa kesal. Seolah seluruh alam semesta berusaha memisahkannya dan Fania. Kamar tidurnya sebelumnya menyimpan kenangan, kenangan berharga yang enggan ia lepaskan. Ia tahu ia sedang dalam proses memperbarui dirinya dan sebagainya, tapi astaga, bagi Justin, Fania adalah bagian besar dalam hidupnya. Ya, Justin tahu Fania sudah lama pergi dan ia juga harus melepaskannya, tapi itu tidak mudah.
Membuka pintu, Justin memberi isyarat agar Fiona masuk lebih dulu, lalu masuk setelahnya. Fiona menggeleng-gelengkan kepala di lehernya sambil menatap interior putih di sekitarnya.
"Indah sekali di sini," katanya sambil menggerakkan jarinya ke dinding putih yang kokoh, lalu berbalik menatap Justin.
Justin hanya mengangguk.
"Jadi semua orang..." Suara Fiona melemah saat dia menuju ke tempat tidur dan kemudian menjatuhkan dirinya.
"Ya?" tanya Justin yang kurang mendengar jelas.
"Olivia nggak suka sama aku," kata Fiona, dan Justin menatapnya sejenak sebelum menggelengkan kepala.
Justin berjalan ke arah Fiona, duduk di sebelahnya, lalu menyenggol Fiona dengan bahunya.
"Dia sebenarnya yang paling baik di antara kita semua. Cuma lidahnya tajam dan dia bisa berkata apa saja." Justin mengoreksi, karena memang begitulah. Oli yang paling baik. Bahkan Tina pun tak ada apa-apanya dibanding dia.
"Oh ya?" Fiona tidak yakin, Justin mengerti. Tapi dia akan segera tahu apa yang Justin maksud.
"Aku janji. Awasi saja dia selama lomba ini dan kamu akan lihat. Dia seperti induk ayam yang besar bagi kita semua," kata Justin yang membuat Fiona terkekeh.
"Luna nggak banyak bicara."
Justin suka betapa jelinya Fiona.
"Ya. Dia sama seperti Brandon. Aku penasaran bagaimana mereka berdua bisa hidup bersama," kata Justin sambil menggelengkan kepala.
"Siapa itu Brandon?"
"Si tukang barbeku? Kami memanggilnya 'maid' karena dia suka memasak. Dia selalu bersemangat memasak untuk semua orang." Justin turun dan menuju tasnya, lalu mulai membongkar. Anehnya, tas itu penuh. Sampai nyaris tumpah. Ada beberapa celana renang dengan warna berbeda, tapi Justin sangat senang karena ia akan lebih sering menghabiskan waktu di air daripada di kapal pesiar.
"Ohhh... aku juga harus ganti baju," kata Fiona sambil menuju tasnya, lalu diam-diam mengeluarkan baju renangnya.
Justin memperhatikannya saat Fiona diam-diam berjalan ke kamar mandi yang terhubung, lalu menutup pintunya.
Sambil menghela napas panjang, Justin melepas kemeja yang ia kenakan lalu celana jinsnya. Beberapa menit kemudian, Justin sedang menunggu dengan ponsel di tangan ketika pintu kamar mandi terbuka. Tanpa sadar, kepalanya menoleh dan matanya tertuju pada Fiona. Dalam sepersekian detik, mulut Justin terasa lebih kering daripada gurun Sahara.
Fiona berdiri di sana dengan baju renang hitam yang melekat erat padanya bagai kulit kedua. Mata Justin menari-nari di sekitar cincin perut berlian berbentuk hati di pusarnya yang terbuka. Tali baju renangnya begitu pas di tubuhnya hingga Justin sulit mempercayai bahwa gadis itu adalah miliknya.
"Hei... lagi lihat apa?" Fiona menunjuk, menyadarkan Justin dari lamunan.
Justin menggeleng tiba-tiba dan berbalik, lalu berdeham. Tawa kecil Fiona membuat Justin menoleh ke belakang, dan ia merasa konyol karena bersikap seperti itu. Ada suara di kepala Justin yang mengingatkannya bahwa Fiona adalah istrinya, dan tidak ada masalah untuk mengaguminya.
"Kamu kelihatan cantik," kata Justin sambil tersenyum lebar.
"Wah, terima kasih," kata Fiona sambil menyeringai, lalu melangkah maju. Satu-satunya kesalahannya adalah ia berbalik lalu membungkuk untuk mengambil sesuatu dari lantai, mendorong pantatnya keluar dan tepat ke wajah Justin.
Justin berdeham sekali lagi. Kemudian mengambil baju yang ia kenakan dan berjalan ke arah Fiona.
"Ini," kata Justin sambil berdiri di belakang Fiona.
Fiona menegakkan tubuh dan menatap Justin sebelum menatap kemeja itu dengan bingung.
"Letakkan ini di atas," kata Justin sambil menyampirkannya di bahu fiona. Justin sudah menduga dia akan melawan, tapi Fiona hanya terkekeh.
"Kenapa kalau aku boleh bertanya?" Fiona memiringkan kepalanya ke samping.
"Hanya saja... kamu terlalu cantik dan aku..." sialan.
Kenapa Justin tidak bisa langsung bilang padanya kalau Justin tidak mau para serigala di luar sana menatapnya tanpa tergagap? “Dia istriku, kami sudah menikah, jadi tidak salah kalau aku mengaguminya.” Justin jadi kesal sendiri.
"Oke." Fiona hanya mengangguk dan menyelipkan tangannya ke lengan baju, lalu berputar sedikit.
Justin mendesah kecil ketika bokong istrinya sudah tak terlihat lagi, walaupun bagian depannya masih terbuka karena dia tidak mengancingkan kemeja itu.
"Sudah selesai?" Fiona mendongak dengan bola matanya yang hitam, dan Justin bersumpah ia langsung meleleh.
"Ya, tentu." Tanpa sadar, Justin menggenggam tangan Fiona, lalu meninggalkan kamar tidur mereka menuju dek atas, mendapati anggota tim lainnya menunggu.
Matahari baru saja terbenam, dan masih ada cahaya di langit yang menunggu untuk menciptakan jalan menuju kegelapan.
"Siap dihajar?" Jord menyeringai pada Justin sebelum menepuk punggungnya keras-keras, Justin mendorongnya menjauh sebelum membawa Fiona ke kursi malas yang menghadap ke laut.
"Ayolah, Justin, dia bukan kaca. Nggak akan retak. Kurasa Fiona cukup mampu mengurus dirinya sendiri." Oli berteriak, membuat Justin memutar matanya ke langit.
"Kalau kamu tidak bisa membuat gadismu diam, aku akan membungkamnya untukmu. Selamanya." Justin melotot tajam ke arah Jord yang mengangkat tangannya tanda menyerah.
"Baiklah, nona-nona," seru Oli sambil bertepuk tangan dengan penuh semangat.
"Ayo pilih warna untuk priamu." Dia menunjuk ke kursi malas kecil tempat mereka meletakkan beberapa durags (kain elastis penutup rambut) berwarna. Fiona berdiri dengan langkah gontai dan berjalan ke sana.
"Sial. Aku mengerti kenapa dia bertingkah seperti manusia gua dan sebagainya." kata Oli sekali lagi sambil memperhatikan Fiona. Tina melangkah maju dan melingkarkan lengannya di lengan Fiona.
"Kalau aku nggak suka sama kamu, aku bakal melemparkanmu ke laut dan membiarkan hiu melahapmu sampai punah." Katanya sambil tersenyum kecil menatap Fiona.
"Kenapa?" tanya Fiona sambil menatap ke arah gadis-gadis itu.
"Kamu bercanda? Kamu berjalan dengan sangat hati-hati dan nutupin tubuhmu kayak nggak peduli kalau kamu itu salah satu wanita tercantik yang pernah kulihat, kalau bukan satu-satunya wanita terseksi yang hadir di sini.”
"Eh, tapi kamu melakukan hal yang benar dengan mengenakan kemeja ini." Oli berkomentar sambil melipat tangannya di dadanya.
"Terima kasih, kurasa...." ujar Fiona.
"Dan aku mau cincin perut itu." Kali ini Luna yang berkata, membuat semua wanita bersorak setuju. Semua kecuali Kim yang sibuk merajuk dan menggigit bagian dalam pipinya.
"Gadis-gadis, ayolah..." teriak Justin dari tempatnya berdiri.
"Baiklah baiklah, Sir Wolf," jawab Oli sambil menunjuk ke arah durag.
"Pilih milikmu." Ia menatap Fiona, agar memilih untuk Justin.
Mereka semua memperhatikan Fiona menghitung-hitung sebelum meraih durag merah muda. Entah bagaimana Justin sudah tahu Fiona akan memilih yang merah muda, dan ia tersenyum ketika Fiona melakukannya.
"Pink untuk keberuntungan? Ayo, Nak..." Mereka semua bersorak sebelum menerjang ke depan, berebut durag yang tersisa. Setelah semua orang memegang durag mereka sendiri, mereka semua berdiri berbaris.
"Mana balon-balonnya?" tanya Fiona sambil melihat sekeliling. Oli melangkah maju sambil membawa teropong dan menunjuk ke dalam air. Fiona pun melangkah ke pagar pembatas dan melihat ke luar dengan teropong itu.
"Gimana cara kalian menaruhnya di sana?"
Satu hal yang Justin sukai dari Fiona, dia tidak takut untuk mengungkapkan kekhawatirannya dan bertanya.
"Kami punya kapal selam di sini. Jadi, sementara semua orang berganti pakaian, Jord menyelam untuk menempatkan itu semua di tempatnya," jawab Oli sambil memeluk pinggangnya.
Justin selalu heran betapa mudahnya perempuan berteman. Seolah-olah itu terjadi begitu saja. Mereka sudah di sini selama beberapa jam dan semua perempuan sudah menandai wilayah mereka di sekitar Fiona.
"Baiklah, mari kita mulai pestanya. Bagaimana?" Fiona melirik mereka semua dan tersenyum lebar.
“Yeah!”
Mereka bersorak.
🥴 teman pacarnya sendiri semua mau di nikmati,fix sakit jiwa.untung Justin terselamatkan kalau tidak semua lelaki disitu sudah jadi bekas kim🥴.
Justin aja kewalahan dengan keras kepalanya,sikap teguhnya,masa bodohnya 😄.