Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25.
“Saya ingin mengunjungi makam kedua orang tua saya,” ucap Anisa pelan namun penuh keteguhan. Suaranya lembut, tapi ada kesungguhan yang dalam di baliknya.
“Di mana? Aku akan antar kamu,” sahut Bu Hasto cepat, wajahnya serius namun matanya penuh semangat. Ia tampak siap melakukan apa pun demi memenuhi keinginan Anisa.
“Bu... tapi saya lupa tempat makam itu,” jawab Anisa ragu. “Saya terakhir berkunjung sebelum orang yang mengantar saya membawa saya ke panti. Seingat saya, tempatnya jauh... di luar kota.”
“Haduh, berarti sudah belasan tahun silam,” gumam Bu Hasto sambil menghela napas panjang.
“Iya, Bu. Saya tidak tahu bagaimana cara ke sana, jadi selama ini saya tak pernah berkunjung lagi. Dulu orang yang mengantar saya naik bus, bukan satu bus saja... tapi berganti ganti bus.”
Bu Hasto mengernyit, mencoba membayangkan perjalanan panjang itu. “Apa kamu ingat sesuatu di sekitar makam itu?” tanyanya, kini suaranya lembut tapi diselimuti kebingungan, sebab banyak makam di luar kota.
“Ada sungai di dekat makam itu,” jawab Anisa pelan, matanya menerawang jauh, seolah sedang mengais ingatan masa kecil yang samar.
“Oke, oke... kota ini punya tiga aliran sungai. Biar nanti Ndaru bantu cari informasi,” kata Bu Hasto mencoba menenangkan suasana. “Apa ada lagi yang kamu ingat?”
Anisa tampak berpikir sesaat, lalu perlahan mengeluarkan selembar kertas kecil yang sudah usang, warnanya putih kecokelatan. “Bu... orang yang mengantar saya ke panti memberikan ini. Dia bilang jangan tunjukkan pada siapa pun, kecuali pada orang yang akan memperistri saya. Katanya... ini berbahaya.” Suaranya bergetar.
Bu Hasto menerima kertas itu hati hati. Ia membuka lipatan kecil itu, dan membaca tulisan yang nyaris pudar di atasnya.
“Bharata Khrisna Murti dan Alisa Hastuti...” gumamnya, dahi berkerut.
“Siapa ini?” tanyanya kemudian, menatap Anisa lekat lekat. Sebab selama ini di data pribadi Anisa tertulis nama orang tua Anisa adalah Ny. Suwarsih, yang diakui Anisa sebagai pengurus panti, bukan ibu kandungnya. Jika ditanya tentang ayah dan ibunya, Anisa selalu menjawab tidak tahu. Nama orang yang membawanya pun tak pernah disebutkan - entah karena lupa, atau karena disembunyikan.
“Maaf, Bu... itu orang tua kandung saya... hu... hu...” Anisa mulai tersedu, bahunya bergetar. “Kata orang yang membawa saya, saya harus merahasiakan itu...”
“Haduh, Nis... kenapa kamu baru bilang sekarang,” ucap Bu Hasto lirih. Ia segera merendahkan tubuhnya, menggenggam pundak Anisa, lalu membantu gadis itu berdiri.
“Maaf, Bu... saya takut. Ibu juga kan belum lama tinggal di sini,” kata Anisa sambil mengusap air matanya. Ia tahu Bu Hasto baru tinggal di rumah itu sejak rujuk dengan Pak Hasto - belum lama memang.
“Aku akan tanyakan ke Bapak. Dia pasti tahu makam orang tua kamu,” kata Bu Hasto mantap. “Pak Bharata dulu pengusaha sukses, tapi nasib buruk menimpanya. Waktu itu, mereka baru pulang dari resepsi pernikahan, lalu mobilnya kecelakaan. Sehari setelah itu... rumah mereka terbakar. Katanya anak semata wayangnya juga meninggal.” Bu Hasto menarik napas panjang, mengingat kembali kabar tragis belasan tahun silam. “Aku dan Bapak sempat menghadiri pemakaman Pak Bharata dan Ibu Alisa. Tapi tidak untuk anaknya , katanya jasadnya sudah jadi abu, dan pemakaman itu tertutup untuk umum.”
“Kalau begitu,” lanjutnya, “kamu dan Ibu Kepala Pelayan bersiap-siap. Kita ke makam orang tua kamu sekarang. Aku akan beri tahu Bapak.”
Bu Hasto lalu berbalik menuju pintu. Namun sebelum keluar, ia kembali menoleh ke arah Anisa.
“Nis, apa kamu pernah menunjukkan kertas itu pada Hananto?” tanyanya pelan.
Anisa hanya mengangguk.
Bu Hasto terdiam sesaat, lalu bergumam pelan, “Untung Hananto sudah meninggal... dan belum sempat memperistri Anisa. Dia pasti tahu siapa Bharata Khrisna Murti. Aku merasa dia tidak tulus mencintai Anisa - rupanya dia hanya ingin merebut harta milik Waskita.” Ia menggeleng kesal, lalu melangkah cepat keluar dari kamar Ibu Kepala Pelayan untuk menemui suaminya.
Tak lama kemudian, Bu Hasto menceritakan semuanya.. . Wajah Pak Hasto tampak terkejut.
“Kasihan Anisa... mungkin salah satu pelayan berhasil menyelamatkannya waktu kebakaran itu,” ucap Pak Hasto lirih. “Lalu karena takut pada Waskita... dia menghilang.”
“Iya, Pa. Aku juga curiga Waskita yang mengambil alih kekayaan Bharata dengan akal liciknya,” timpal Bu Hasto, suaranya mengeras karena kebencian. Ia tahu betul kelicikan Waskita - perusahaan suaminya pun pernah jadi korbannya.
“Ya sudah, ayo kita antar Anisa. Sekalian kita ziarah ke makam Bharata dan Alisa,” kata Pak Hasto. Ia mengambil telepon seluler dan menghubungi sopir.
“Iya, Pa. Aku siap-siap dulu. Perjalanan agak jauh karena makamnya di luar kota.”
🌴🌴🌴
Sementara itu, di luar rumah mewah Pak Hasto - di seberang gerbang, pada jarak aman dari pandangan satpam - terparkir sebuah mobil hitam.
Dua pria berjaket kulit hitam dan berkacamata gelap duduk di dalamnya. Mereka adalah orang suruhan Hegar, ditugaskan memantau rumah itu dan menunggu kesempatan jika Anisa keluar.
“Sudah dari tadi kita di sini. Yang keluar cuma anak dan menantu Pak Hasto,” kata salah satu, melihat mobil Ndaru dan Fatima yang baru saja pergi.
“Apa kita culik saja anak dan menantunya? Kita bisa jadikan mereka untuk minta tebusan - uang dan gadis yang dimau Mas Hegar,” ucap yang duduk di kursi kemudi, matanya terus mengawasi gerbang.
“Ide bagus. Lagi pula mereka gampang dilacak. Aku tahu kampus menantu Pak Hasto, dan mobil anaknya juga mudah dikenali,” timpal rekannya sambil mengangguk pelan.
Beberapa detik kemudian, pria di kursi kemudi menegakkan tubuhnya. “Eh... itu ada mobil keluar. Cepat, lihat pakai teropongmu!”
“Iya, iya... lihat! Ada gadis duduk di jok belakang, di samping ibu ibu!” serunya setelah menempelkan teropong di matanya.
“Baik, ikuti mereka!” perintah si pengemudi, langsung menyalakan mesin. Mobil hitam itu pun melaju, membuntuti mobil yang baru saja meninggalkan rumah Pak Hasto.
Di dalam mobil yang melaju di atas jalan raya menuju ke luar kota. Suasana hening. Pak Hasto, Bu Hasto, Anisa, dan Ibu Kepala Pelayan duduk dengan pikiran masing masing.
“Nis, jujur, Ibu sedih,” ucap Bu Hasto pelan. “Baru sekarang kamu menceritakan semuanya. Tapi mau bagaimana lagi... semuanya sudah terlanjur. Dulu aku datang ke rumah Bapak juga karena acara pemakaman Dewa. Sejak itu, masalah datang silih berganti...” suaranya bergetar, mengandung nada penyesalan yang dalam.
“Iya, Bu. Tidak apa-apa,” jawab Anisa lirih, menatap keluar jendela, melihat pepohonan berlari mundur.
“Nis, waktu kebakaran rumah kamu... kamu di mana?” tanya Pak Hasto penasaran.
“Seingat saya... saya sedang tidur, lalu seseorang membawa saya lari. Kami naik bus... berganti ganti bus,” jawab Anisa, air matanya menetes lagi.
Ibu Kepala Pelayan yang duduk di sampingnya segera merangkul bahu Anisa, ikut berlinang air mata.
“Aku juga minta maaf, Nis,” ucap Pak Hasto lembut. “Aku terlalu sibuk... kurang memperhatikanmu. Sekarang baru kusadari - wajahmu mirip sekali dengan Alisa.”
Hening pun kembali menyelimuti mobil itu, hanya suara mesin dan desir angin yang menemani perjalanan mereka menuju masa lalu yang selama ini tersembunyi.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣