NovelToon NovelToon
Heaven'S Flawed Judgment

Heaven'S Flawed Judgment

Status: sedang berlangsung
Genre:Ahli Bela Diri Kuno / Kelahiran kembali menjadi kuat / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Reinkarnasi / Fantasi Timur / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terobosan Nascent Soul!

Sepuluh hari telah berlalu.

Di dekat kolam petir neraka, petir merah kehitaman terus menyambar tanpa henti, bagai naga purba yang menari di langit neraka. Setiap kilatnya menyalakan bayangan tubuh Lumo yang duduk bersila di atas tanah, tubuhnya bergetar pelan, kulitnya retak halus seperti porselen yang menahan tekanan ribuan gunung. Di dalam dantian, inti emas berputar dengan kecepatan yang mustahil diikuti mata manusia, berputar, memanas, bergetar… hingga akhirnya...

“Terobos.”

Suara Lumo bergema datar namun penuh kekuatan. Detik berikutnya, ledakan Qi keluar dari tubuhnya, menghantam udara sekitar hingga batu-batu beterbangan. Gelombang aura menekan udara di sekitarnya, membentuk pusaran angin yang mengangkat debu dan percikan petir. Ia telah menembus ke Core Formation akhir. Namun di balik sorot matanya yang dingin, tidak ada kepuasan.

“Ini belum cukup,” bisiknya pelan.

Ia membentuk segel tangan, Qi mengalir liar ke seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, rasa sakit membuncah, urat-urat di leher dan wajahnya menegang, darah merembes keluar dari pori-pori, dari mata, hidung, telinga, dan bibir. Ia menekan intinya dengan paksa, memadatkannya melampaui batas tubuh manusia. Suara tulangnya berderak lirih, tubuhnya bergetar hebat, tapi ia tidak berhenti. Di antara jerit pelan yang tertahan di tenggorokannya, matanya tetap terbuka setengah, menatap kehampaan dengan tekad yang membara.

Darah menetes ke tanah, menguap seketika tersambar listrik merah. Ia menahan setiap rasa sakit hingga enam jam lamanya, tanpa bergerak, tanpa bersuara, tanpa sedikit pun mengganggu Qingwan yang bermeditasi.

Ketika napasnya akhirnya mulai stabil, ia duduk kembali. Kali ini lebih tenang. Ia menutup mata dan kembali menyalurkan Qi, memurnikan esensi petir neraka yang berputar di sekeliling mereka.

Tiga puluh meter dari tempatnya, Qingwan juga tenggelam dalam dunia meditasinya. Aura hijaunya berdenyut lembut, menahan tekanan petir yang mengamuk di atas. Dalam sepuluh hari itu, ia menembus dua tahap penuh, dari Pendirian Fondasi menengah ke puncak, dan kini sedang mengumpulkan energi untuk membentuk inti emasnya sendiri. Formasi pelindung bewarna zamrud berkilau lembut di sekeliling tubuhnya, seolah bunga teratai yang melawan badai.

Dua puluh hari berlalu.

Kembali tubuh Lumo diselimuti cahaya biru pekat. Aura di sekitarnya membentuk pusaran yang menelan batu, api, dan petir. Ia menembus lagi, lalu menekan kembali, memaksa inti emasnya runtuh separuh untuk memadatkan esensi lebih dalam. Tubuhnya kembali mengeluarkan darah dari setiap celah, tapi kali ini ia sudah menelan pil esensi darah yang pernah diberikan Fengyuan. Rasanya getir, tapi menjaga pikirannya tetap sadar di tengah siksaan yang seolah melucuti jiwanya sendiri.

Tiga puluh hari kemudian.

Energinya kini menstabil pada Core Formation akhir sempurna. Tidak ada lagi celah dalam rotasi intinya, tidak ada getaran liar dalam aliran Qi-nya. Ia membuka matanya perlahan, menatap kegelapan yang diterangi petir merah. “Tinggal satu langkah,” gumamnya. Ia berdiri, jubah putihnya bergetar diterpa badai petir.

Qingwan di sisi lain masih bermeditasi, auranya berdenyut lembut, siap menembus inti emasnya kapan saja. Lumo menatapnya sekilas, senyum samar muncul di bibirnya. “Gadis kecil itu cukup berbakat,” ucapnya pelan, lalu menoleh ke arah kolam petir neraka yang berjarak sepuluh meter di depannya.

Cairan merah menyala di permukaan, bergejolak seperti darah yang hidup. Kilatan petir mengoyak langit, membentuk jaring kehitaman. Lumo melangkah maju, setiap langkah disertai suara ledakan kecil, setiap inci tanah yang ia injak meleleh oleh aura petir yang keluar dari tubuhnya.

“Sekarang waktunya. Mengembalikan kekuatanku… dan menempah tubuh ini menjadi tubuh petir sejati.”

Matanya menatap dalam ke kolam itu. “Setelah mencapai Nascent Soul, aku akan pergi ke Yozhi. Di sana, segalanya akan dimulai kembali. Luan, Mu Lang… bersiaplah menerima akibat dari dosa kalian.”

Ia melangkah masuk.

Tubuhnya segera disambar petir merah. Dagingnya retak, tulangnya berderit, tapi ia tidak berhenti. Petir itu seperti ular yang menggigit, mengoyak, lalu menyatu kembali dalam satu aliran. Ketika ia tiba di tengah kolam, air merah itu telah menutupi tubuhnya hingga dada. Ia duduk bersila, hanya kepala dan pundaknya yang masih tampak di permukaan.

Segel tangan terbentuk di depan dada. Sekali, dua kali, sepuluh kali, dua puluh kali, rune-rune biru melingkari tubuhnya, mengalir di atas kulit seperti simbol kuno. Lapisan pelindung terbentuk, tapi bukan untuk menahan, melainkan untuk menyalurkan petir itu langsung ke dalam tubuhnya. Ia hendak menempah dirinya seperti senjata abadi.

“Petir neraka, jadilah darahku. Esensimu, jadilah tulangku.”

Ia memejamkan mata. Petir menghantam tubuhnya berkali-kali, memecah permukaan kulitnya, menciptakan luka-luka merah yang kemudian tertutup oleh kilatan cahaya biru. Setiap luka sembuh, tubuhnya menjadi lebih kuat, lebih berat, lebih padat.

Rasa sakit itu seperti ribuan jarum menembus jantungnya. Ia tahu, satu kesalahan kecil saja akan membuat tubuhnya meledak menjadi abu. Tapi tekadnya tak bergeming. “Tidak ada pilihan lain,” pikirnya. “Aku harus kembali ke puncak. Apa pun harganya.”

Ia terus menyalurkan Qi, memurnikan petir dan cairan merah itu ke dalam inti tubuhnya. Suaranya tercekat, tubuhnya kejang, jeritannya nyaris tak terdengar karena tertelan badai petir yang terus mengamuk.

Sebulan berlalu.

Qingwan akhirnya membuka mata. Aura hijau di sekitarnya meledak, membentuk gelombang angin lembut yang mengguncang udara. “Terobos,” katanya pelan namun penuh semangat. Inti emas terbentuk di dalam dantiannya, dan ia kini telah menjadi kultivator Core Formation sejati.

Matanya bergetar ringan, senyum merekah di bibirnya. “Aku... berhasil.” Ia menatap tangannya dengan bahagia, namun ketika menoleh, tempat di mana Lumo sebelumnya bermeditasi sudah kosong.

“Senior?” bisiknya. Tatapannya menelusuri area sekitar, kemudian pandangannya berhenti di kolam petir neraka. Qingwan pun bangkit, kemudian berjalan menuju kolam. Tubuhnya langsung gemetar ketika mencoba mendekat. Baru dua puluh meter jarak yang ia tempuh, tekanan dari kolam sudah cukup untuk membuat napasnya tersengal.

Ia tidak bisa melihat ke dalam, tidak bisa merasakan apa pun kecuali getaran menakutkan dari dalam kolam itu. “Senior Lu... pasti baik-baik saja.” Ucapannya lembut, meski matanya sedikit bergetar. “Aku ingin menunjukkan padanya terobosanku...”

Ia menarik napas panjang, menenangkan hati. Kemudian kembali duduk, bersila, menutup mata.

“Jika Senior Lu tidak berhenti, maka aku juga tidak boleh berhenti.”

Cahaya hijau dari tubuhnya kembali bersinar. Di kejauhan, petir merah menyambar tanpa henti, menelan sosok Lumo yang kini sedang menempah dirinya di dasar kolam. Dan dalam setiap ledakan petir yang memecah langit bawah, terdengar samar suara bisikan Qi yang menembus batas hidup dan mati, sebuah tekad yang menolak padam.

Tiga bulan telah berlalu.

Langit di atas dunia bawah tetap merah menyala, seperti lautan darah yang tak pernah tenang. Petir neraka terus menari, membelah udara dengan suara menggelegar yang seolah mengguncang tulang bumi. Di tengah kolam petir itu, di antara percikan listrik hitam merah dan kabut tebal yang beraroma belerang, tubuh Lumo tampak tak bergerak. Ia duduk bersila di dasar kolam, dikelilingi ribuan aliran energi yang berputar bagai pusaran badai.

Namun di dalam tubuhnya, sesuatu mulai berubah.

Di dalam dantian, inti emasnya yang telah mencapai kesempurnaan kini mulai bergetar. Setiap putaran menghasilkan suara gemuruh yang seolah berasal dari kedalaman dunia. Retakan halus mulai muncul di permukaan inti itu, seperti kaca yang perlahan hancur oleh tekanan dari dalam. Energi petir neraka dan cairan merah yang menyerupai darah mulai berkumpul, melingkari inti itu seperti ular petir yang lapar.

Semakin lama, pusaran itu semakin cepat, semakin liar, hingga seluruh tubuh Lumo diselimuti cahaya merah kehitaman.

“Krekk…”

Suara pecahan halus terdengar di dalam dantiannya, lalu seluruh inti emasnya retak, hancur menjadi serpihan cahaya yang berhamburan seperti bintang di langit malam. Dari dalam pecahan itu, muncul bola kecil bewarna merah darah yang berdenyut pelan, seperti jantung yang baru lahir. Jiwa awalnya terbentuk, stabil, kuat, dan berkilau dengan kekuatan kehancuran yang murni.

“Terobos.”

Suara Lumo menggema, dan seluruh petir di sekitar kolam seolah menjawab perintah itu. Ledakan energi spiritual menyebar, menggetarkan udara hingga seluruh gua bergetar keras. Batu di sekeliling kolam pecah satu per satu, udara bergetar dan menjerit, lalu… hening.

Lumo membuka matanya perlahan.

Di balik darah yang mengering di sudut bibirnya, seulas senyum tipis muncul. Ia bisa merasakan, setiap tetes Qi, setiap partikel spiritual, setiap denyut petir dalam darahnya kini sepenuhnya tunduk padanya. Ia telah melangkah ke ranah Nascent Soul.

Namun langit tidak diam.

Awan gelap terbentuk di atas langit merah dunia bawah. Awan itu bukan awan biasa, ia berputar perlahan, membawa tekanan surgawi yang menusuk hingga ke tulang. Angin mati berhenti berhembus.

Lumo berdiri di tengah kolam. Petir neraka di sekelilingnya masih menari liar, tapi matanya kini menatap langit dengan tenang. “Awan kesengsaraan,” ujarnya pelan, senyumnya perlahan melebar. “Bagus. Aku ingin tahu… apakah kesengsaraan surgawi sanggup melukaiku yang telah berendam dalam petir neraka.”

Awan itu bergemuruh, lalu memadat, menciptakan pusaran cahaya biru di tengahnya. Petir surgawi terbentuk, tebal, panjang, mengandung kekuatan murni dari hukum langit. Saat ia turun, suara dunia bawah sendiri seolah berhenti sejenak.

Lumo menatapnya tanpa gentar. “Datanglah.”

Petir biru itu menghantam turun, namun sebelum mencapai tubuh Lumo, petir neraka di sekelilingnya tiba-tiba bangkit. Dari dalam kolam, kilatan merah kehitaman melesat ke langit, menabrak petir surgawi dan menghancurkannya menjadi debu biru. Suara ledakan mengguncang seluruh lembah. Petir neraka tidak berhenti di situ, ia terus melesat, menghantam awan kesengsaraan yang masih berputar, menembusnya hingga awan itu hancur dan langit kembali menjadi merah.

Lumo menatap langit dengan ekspresi datar, namun matanya sedikit menyipit. “Apa ini…? Petir neraka menghancurkan kesengsaraan surgawi dengan sendirinya?”

Suara petir perlahan memudar, digantikan oleh sinar lembut yang turun dari celah langit. Sinar itu putih keemasan, murni dan hangat, cahaya ilahi, tanda pengakuan langit bahwa seseorang benar-benar telah menembus ranah baru.

“Kalau begitu,” gumam Lumo sambil menatap ke atas, “ini giliranku.”

Tubuhnya melesat ke udara, meninggalkan kolam neraka yang bergolak di bawahnya. Ia naik menembus lapisan udara panas, melewati petir yang berdesir di sekelilingnya, hingga akhirnya berdiri di bawah cahaya ilahi itu. Ia menengadah, membiarkan cahaya itu membasuh tubuhnya. Energi murni turun, menyatu ke dalam jiwanya, menyempurnakan bentuk Nascent Soul yang baru lahir di dalam dantian.

Namun dari langit, terdengar suara samar, gaung yang bukan berasal dari dunia bawah.

“Kenapa bisa begini? Kenapa kesengsaraan surgawi turun ke dunia bawah?”

Suaranya muda, ragu, tapi jelas. Lalu disusul suara tua yang lebih dalam dan tenang. “Kita hanya pelaksana takdir. Kesengsaraan muncul di mana seseorang menembus langit, tak peduli di dunia mana ia berada. Tidak perlu banyak tanya.”

“Tapi guru,” suara muda itu terdengar lagi, “yang menerobos ini manusia. Mengapa manusia bisa berada di dunia iblis? Apakah dia sesat?”

Suara tua itu menjawab pelan, namun menggema bagai guruh. “Tidak ada yang tahu. Namun satu hal pasti, pandangan kita tak mampu menembus dunia bawah tanpa izin takdir. Biarlah dewa takdir yang memutuskan. Kita hanya saksi.”

Kemudian langit kembali sunyi.

Lumo menatap ke langit lama, merenungkan kata-kata itu, lalu menggeleng perlahan. “Dewa takdir, ya?” Ia menghela napas ringan. “Kalau begitu, lihatlah.”

Ia menutup mata, menyerap sisa cahaya ilahi yang turun. Dalam waktu singkat, energinya menstabil. Jiwa awalnya berputar di dalam dantian, kuat dan tenang. Tubuhnya kini padat, penuh daya petir yang menari di bawah kulitnya.

Ia turun perlahan kembali ke kolam petir neraka. Saat kakinya menyentuh permukaan air merah itu, petir di sekitarnya menghilang seolah tunduk. Ia duduk bersila, separuh tubuhnya tenggelam, hanya kepala yang tampak di permukaan.

“Sekarang… penyempurnaan.”

Ia memejamkan mata lagi, menyalurkan kekuatan petir ke seluruh tubuhnya. Setiap serat otot, setiap tetes darah kini berdenyut dalam irama petir neraka. Lima jam berlalu dalam keheningan. Ketika matanya kembali terbuka, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya biru keunguan yang menusuk pandangan.

Lumo langsung melesat ke udara. kemudian Ia mengangkat tangan kanan, mengayunkan perlahan.

Duarrr!

Ledakan petir neraka menghancurkan batu besar di kejauhan, ledakannya menggetarkan tanah hingga debu berhamburan tinggi. Gelombang Qi yang ditinggalkan mengalir ribuan meter, mengoyak udara seperti pisau tajam.

Senyum muncul di bibirnya. “Kekuatan ini... cukup untuk menghancurkan Nascent Soul akhir.”

Lumo menoleh ke kiri. Di kejauhan, di balik kabut petir, ia melihat sosok Qingwan berdiri terpaku dengan mata membulat. Wajahnya pucat karena terkejut. Lumo melesat seperti kilatan petir, dan dalam sekejap ia sudah berdiri di hadapan Qingwan.

Qingwan tersentak, napasnya tertahan. “S-senior… selamat karena… tidak, kau… apakah kau dewa, senior?” katanya dengan suara bergetar. “Wan’er tak tahu lagi ranah apa yang senior capai, tapi dari yang pernah kubaca di buku…”

“Aku telah menjadi Nascent Soul,” potong Lumo datar. “Manusia pertama di negara Gizo yang mencapai tahap ini. Dan mungkin… Nascent Soul pertama yang kau lihat dengan matamu sendiri.”

Qingwan melangkah mundur, menatapnya dari atas ke bawah dengan mata tak percaya. “Senior... Wan’er tidak bermimpi, kan?”

Lumo menatapnya sebentar, lalu mengangkat tangannya. “Tentu tidak.”

Tanpa peringatan, tangannya melingkar ke pinggang Qingwan, menariknya mendekat. Petir merah berdesir halus dari kulitnya, menyelimuti tubuh Qingwan. “Apakah ini mimpi?” ucapnya datar, menatap lurus ke matanya.

Qingwan terdiam, wajahnya memerah, bibirnya sedikit bergetar. “T-tidak, senior,” jawabnya pelan.

“Bagus. Jangan banyak tanya,” katanya dingin. “Dan jangan salah sangka dengan tindakanku.”

Dalam sekejap, tubuh mereka berubah menjadi kilatan cahaya dan lenyap. Petir menyambar, dan mereka muncul kembali di atas kolam petir neraka. Lumo masih memegang pinggang Qingwan dengan satu tangan, berdiri di tengah badai petir yang mengamuk.

“Aku melakukannya untuk melindungimu,” ucapnya. “Agar tubuhmu tidak hancur oleh kekuatan petir. Gunakan kesempatan ini untuk memurnikan tubuhmu.”

Qingwan memejamkan mata, tubuhnya bergetar namun tak lagi gentar. “Terima kasih, senior. Wan’er tidak berani salah sangka. Senior selalu melindungi Wan’er.”

“Bagus.” Lumo melepaskan pelukannya perlahan. “Sekarang duduklah dan bermeditasilah. Dalam lima atau sepuluh hari, kau pasti akan menembus Core Formation menengah.”

Qingwan menunduk hormat. “Baik, senior.”

Ia duduk bersila, aura hijaunya menyebar lembut di sekitar tubuhnya. Petir di udara bergema pelan, menari di permukaan air merah itu, namun tak satu pun menyentuhnya, semuanya tunduk di bawah kekuatan Lumo.

Lumo duduk berhadapan dengannya, menutup mata. Suara petir, darah, dan Qi bergabung menjadi satu irama di dunia bawah itu.

1
Didit Nur
YUKARO 🤗😘😘😘
Didit Nur
YUKARO sangat cerdas 😘
YAKARO: Terimakasih 🙏
total 1 replies
Doddy kun
Lumo sangat cerdik. menggunakan kesempatan untuk memperkuat diri 💪
YAKARO: Yoi. terimakasih🙏
total 1 replies
Doddy kun
proses pengobatan yang sangat sulit
Doddy kun
mantap lumo
Doddy kun
Ceritanya bagus, cukup memuaskan sejauh ini. perkembangan MC juga cepat, jadi GK ngebosenin. bintang lima thor 🤟
WaViPu
Up banyak thor
WaViPu
Mantap Lumo, kau paling best
Doddy kun
semakin menarik
WaViPu
Hahaa tetua nya aneh banget, Tiba-tiba pingin menjadi murid Lumo
Doddy kun
mantap lanjutkan
Don Pablo
Oke, Lumo mencoba bermain dengan api 🔥
Doddy kun
mantap thor. perkembangan nya cepat 💪
Doddy kun
wkwkwk. ngopo kui wedok an aneh 🤣
Doddy kun
mantap thor, gass terus
Adrian Koto
cerita kolosal ada nuansa misterinya 🙂👍
HUOKIO
Disturbing banget Thor 😁
Don Pablo
untuk awal bagus, tapi kalau menurun kualitas nya, ku turun kan bintang nya😛
Don Pablo
melepaskan anak panah🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!