Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di Surabaya (3) Reyhan?
“Iya deh, ayok,” ucap Lubna dengan wajah cemberut karena gagal mendekati “abang-abang kitab” yang dari tadi mencuri perhatiannya.
Syahnaz hanya terkekeh kecil melihat ekspresi sahabatnya itu. “Ini sebenarnya acara dalam rangka apa sih?” tanyanya heran sambil menelusuri deretan tenda bazar yang dipenuhi pengunjung.
“Syahnaz, liattt!” seru Lubna tiba-tiba, menunjuk ke arah panggung besar di ujung area.
Syahnaz mengikuti arah telunjuknya dan membaca spanduk yang membentang lebar di atas panggung.
> “Acara Milad Pondok Pesantren Darul Amin yang ke-100 tahun,” ucapnya membaca keras-keras.
“Eh—bukan itu maksud aku, Naz!” potong Lubna cepat.
“Lah, terus apa dong? Kan jelas ini acara ultah pondoknya,” jawab Syahnaz masih polos, belum menangkap maksud sebenarnya.
Lubna menepuk dahinya pelan. “Itu loh, di atas panggung! Gus Naufal, Syahnaz! GUS NAUFAL!” katanya dengan nada penuh semangat.
Syahnaz spontan menoleh ke arah panggung, baru menyadari sosok pemuda berwibawa di sana. “Ohh… Gus Naufal,” ucapnya lirih, sedikit kikuk.
Lubna nyaris menjerit kegirangan. “Ihh, ganteng banget! Gus Naufal lagi ngecek persiapannya! Liat deh, auranyaaa~” katanya sambil menepuk bahu Syahnaz berulang kali.
Syahnaz hanya tersenyum kecil. “Kapan ya acara puncaknya? Ini kayaknya baru bazar pembuka deh,” ucapnya, jelas lebih fokus pada acara daripada orangnya.
Lubna mendengus kesal. “Ih Syahnaz!! Aku ngomongin Gus Naufal, kamu malah bahas rundown acara!”
Syahnaz tertawa kecil sambil menepuk bahu sahabatnya itu. “Astagfirullaah, Lub… kamu tuh, bener-bener cegilnya Gus Naufal deh.”
Dari kejauhan, Gus Naufal yang tengah berbicara dengan panitia tiba-tiba menoleh. Tatapannya menemukan dua sosok gadis di antara kerumunan. Senyum kecil muncul di wajahnya, lalu ia melambaikan tangan.
“Syahnaz!” panggilnya lembut sambil berjalan menghampiri.
Namun langkahnya terhenti seketika ketika suara berat nan berwibawa memanggil dari arah belakang panggung.
> “Naufal.”
Seketika suasana di sekitar panggung seolah menegang. Syahnaz dan Lubna spontan menoleh — dan di sanalah Kiai Kholid, berdiri dengan sorot mata tajam namun tenang.
Gus Naufal menunduk hormat. “Inggih, Abah,” (panggilan gus Naufal ke kakeknya). Ucapnya pelan, lalu mengikuti sang kiai menuju masjid di belakang panggung.
Lubna memiringkan kepala. “Yahh… itu kan Kiai Kholid?”
“Iya,” jawab Syahnaz pelan, masih terpaku.
Dalam hati, dadanya berdegup cepat.
> “Yaa Robb… apa yang terjadi tadi? Kiai Kholid sempat lihat aku? Nggak ada masalah, kan…?” batinnya gelisah.
Tatapan sang Kiai yang tadi sempat mengarah padanya seolah masih terasa — dalam, menembus, dan membuat lututnya sedikit lemas.
“Ayo, Lubna… sepertinya kita pulang aja deh,” ucap Syahnaz lirih.
“Loh, kenapaa? Orang tadi Gus Naufal cuma dipanggil, mungkin ada keperluan mendadak aja itu. Santai aja, kita nikmatin dulu bazarnya,” balas Lubna santai, jelas belum paham isi hati Syahnaz yang sedang cemas.
Syahnaz menarik napas dalam, mencoba tersenyum. “I-iya deh… ayo.”
Mereka pun melanjutkan langkah, berbaur dengan keramaian bazar. Namun di tengah riuh tawa para santri dan aroma kuliner yang menggoda, dada Syahnaz tetap terasa berat — ada sesuatu yang berubah sejak tatapan Kiai Kholid itu menyentuhnya.
...----------------...
Saat Syahnaz sedang asyik memilih gantungan kunci, tiba-tiba terdengar suara sirene pendek dari arah depan. Semua orang di sekitar mereka otomatis menepi, memberi jalan pada iring-iringan mobil mewah yang melintas pelan.
Salah satunya — sebuah Alphard hitam dengan kaca gelap.
Bisik-bisik mulai terdengar di antara para santri.
> “Itu tamunya Kiai Kholid, ya?”
“Iya, kayaknya orang penting banget...”
Syahnaz menoleh tanpa niat, sekadar ikut penasaran. Tapi ketika mobil itu berhenti sejenak di depan aula, kaca depannya menurun — cukup untuk memperlihatkan wajah seseorang di dalamnya.
Detik itu juga, napas Syahnaz tercekat.
Matanya membesar, jantungnya seolah berhenti berdetak.
> “Hah... Itu...Kak Reyhan?”
Suasana bazar yang ramai seakan menghilang dari pendengarannya. Hanya ada detak jantungnya sendiri, dan sosok di balik kaca mobil itu... yang seharusnya tidak mungkin berada di sini.
> “Itu... beneran dia?! , nggak mungkin” batin Syahnaz kaget.
“Ah—nggak mungkin!!!” ucapnya spontan, hingga tanpa sadar terdengar oleh Lubna.
“Apanya yang nggak mungkin, Syahnaz?” tanya Lubna penasaran, tapi langsung berubah arah pembicaraan.
“Eh! Tadi kamu liat nggak?”
“Liat apa?” Syahnaz berusaha mengatur napasnya.
“Itu, di mobil item tadi ada cogan!” ujar Lubna girang, bahkan sampai lompat kecil saking hebohnya.
“Sssttt! Lubna! Kita ini di pondok orang!” bisik Syahnaz seraya menarik sahabatnya ke samping, menunduk malu karena beberapa santri menatap ke arah mereka.
Tapi Lubna tetap saja antusias. “Siapa itu tadi ya, Naz? Cakep parah!”
“Astagfirullaah, Lubna! Kamu tuh ya... ada aja, dikit-dikit ‘cakep’, dikit-dikit naksir.” Syahnaz mendecak pelan, tapi dalam hatinya sendiri berdebar.
“Tapi beneran, Naz! Ka - ka mu liat nggak tadi?”
Syahnaz menghela napas, “Iya, aku liat…” suaranya merendah, matanya celingukan ke arah kerumunan di mana mobil tadi berhenti.
Hatinya berdesir — penasaran, gelisah, nggak tenang. Apakah itu benar Reyhan Maheswara... atau cuma halusinasi?.
“Ayo ah, Lub... kita liat.” ucap Syahnaz tiba-tiba, nekat menerobos kerumunan.
“Eh, Syahnaz! Ternyata kamu penasaran juga ya!” seru Lubna sambil tertawa puas mengikuti langkahnya.
Begitu sampai di barisan depan, napas Syahnaz tertahan.
Di depan sana, seorang pria berdiri bersalaman dengan Kiai Kholid, Gus Naufal, dan para asatidz. Wajahnya... nyaris sama. Senyum nya, sorot matanya — semua.
Tapi bedanya, dia kini tampak sangat berbeda: tenang, berwibawa, dengan pakaian agamis lengkap.
“Nggak mungkin...” bisik Syahnaz pelan, menatap tanpa kedip. “Ini... cuma mirip.”
“Syahnaz, kamu kenal?” tanya Lubna curiga melihat ekspresi teman nya yang aneh.
“Nggak... nggak kenal!” jawab Syahnaz cepat, seolah ingin menepis pikiran nya sendiri. Tapi jantungnya berdetak semakin kencang.
Ya Allah… kalau itu benar Kak Reyhan… kenapa dia di sini?
Namun tiba-tiba, pria yang mirip dengan Reyhan itu menoleh ke arah kerumunan — tepat ke arah Syahnaz.
Deg!
Jantung Syahnaz seolah berhenti berdetak sesaat. Napasnya tercekat. Tatapan itu...
Tatapan yang sama.
Tatapan yang dulu selalu membuatnya ingin bersembunyi, tapi juga tak mampu berpaling.
Ya Allah... itu — itu tatapan Kak Reyhan... batin Syahnaz bergumam, menatap tanpa sadar.
Dalam hening sesaat itu, dunia seolah memudar di sekelilingnya. Suara bazar, riuh santri, semuanya hilang. Hanya tersisa dua pasang mata yang saling menatap dalam diam.
Lalu, seperti tersadar dari lamunan, para tamu mulai bergerak masuk ke aula bersama Kiai Kholid. Pria itu pun ikut melangkah, meninggalkan Syahnaz yang masih terpaku di tempatnya.
Syahnaz menggigit bibirnya pelan. Nggak mungkin... itu cuma mirip... iya, cuma mirip.
Namun dadanya terasa semakin sesak, seolah kenyataan sedang perlahan mengetuk pikirannya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.