Subgenre: Wanita Kuat · Second Chance · Love Healing
Tagline pendek: Kisah tentang aktris yang hidup lagi — dan menemukan cinta manis dengan CEO muda, si sponsor utama dalam karirnya
Sinopsis:
Cassia, adalah artis cantik A-class. Semua project film, drama,iklan bahkan reality show nya selalu sukses dan terkenal. Namun, menjadi terkenal tidak selalu menyenangkan. Cinta yang disembunyikan, jadwal padat tanpa jeda, dan skandal yang merenggut segalanya. Maka dari itu ketika mendapatkan kesempatan terlahir kembali, Cassia mulai menjauhi orang-orang toxic di sekitarnya dan pensiun jadi artis. Ia ingin menikmati hidup yang dulu tak sempat ia lewatkan, dengan caranya sendiri. Bonusnya, menemukan cinta yang menyembuhkan dari CEO tampan, si sponsor utama dalam karirnya.
Ayo klik dan baca sekarang. Ikuti terus kisah Cassia, si aktris kuat ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 🌻Shin Himawari 🌻, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Pria Yang Selalu Setia Menunggu
Saat jarak antara Cassia dan Felix hanya sejengkal, aktris cantik itu menangkap aroma yang familiar.
Parfum wanita. Anehnya, Cassia merasa sangat mengenali aroma ini.
Wangi ini…bukan milikku apalagi nona Cherry. Batin Cassia yakin.
Cassia hapal aroma milik Cherry karena itu aroma yang menempel di tubuh Felix, yang selalu membuatnya cemburu di kehidupan pertamanya.
Deg.
Aku tahu.
Aroma parfum ini… milik Maura.
Aroma floral dengan base coat cedar ini hanya satu orang yang memakainya. Cassia menghabiskan hampir setiap hari bekerja bersama Maura, di sisinya sebagai manager, ia tidak meragukan penciuman dan ingatannya ini.
Bersamaan dengan itu, pandangan mata Cassia turun perlahan ke arah leher Felix. Ia baru sadar ada bekas kemerahan disana. Samar, namun cukup jelas untuk mata yang terlatih menilai detail. Juga, di kerah kemeja yang basah itu, ada noda lipstick tipis yang tertinggal—warna Berry Red.
Warna shade lipstick favorit Maura.
Detik itu, napas Cassia tercekat, waktu seakan berhenti. Semua ini terlalu aneh untuk dibilang kebetulan.
Jadi semua kecurigaanku benar. Dasar penghianat kalian berdua...Menjijikan! Cassia berteriak dalam hatinya.
Felix masih saja bicara... entah apa yang dibicarakannya—suara pria itu mengalun seperti gema yang makin menjauh, tak lagi mampu menembus telinga Cassia. Yang bisa Cassia dengar dan rasakan sekarang adalah sesuatu di dalam dirinya retak.
Retakan yang akhirnya dapat membuat matanya terbuka lebar untuk melihat kebenaran.
Ketika kepingan-kepingan kejanggalan dan kecurigaan yang selama ini Cassia rasakan, akhirnya bertaut menjadi satu.
Tatapan Maura yang terlalu lembut pada Felix, pembelaannya yang selalu terdengar manis namun tajam terselubung, dan memori terakhir sebelum kematian Cassia di kehidupan sebelumnya—Felix dan Maura berpelukan.
Deg.
Jangan-jangan di kehidupan pertamaku... mereka juga sudah bermain di belakangku seperti ini.
Sekarang semuanya masuk akal.
Dan untuk pertama kalinya sejak kembali ke kehidupan kedua ini, Cassia sungguh mengerti alasan ia diberi kesempatan kedua oleh takdir.
Bukan hanya untuk menyelamatkan dirinya dari akhir tragis skandal dan kematian, tapi agar ia dapat menyaksikan kebenaran paling menyakitkan ini dengan mata terbuka. Lalu, dapat menjatuhkan hukuman yang paling pantas bagi keduanya.
Jantung Cassia berdegup keras. Aliran darah Cassia berdesir dingin. Namun Cassia masih bisa mengatur napasnya tanpa kehilangan kontrol emosi—emosinya masih terkendali sempurna.
Rahangnya mengeras sejenak, namun wajahnya tetap tenang.
Cassia mengangkat wajah, dan senyum tipis terbentuk. Lalu, lahirlah sebuah keputusan yang jauh lebih tajam daripada amarah.
Cassia memutuskan membalas dendam kepada dua penghianat di hidupnya—Felix dan Maura.
...🌻🌻🌻...
Beberapa menit sebelumnya, di area parkiran dekat lobby sebuah apartement.
Sebuah mobil berhenti di area drop off.
Max duduk hening di kursi belakang, masih mengenakan setelan gala yang kini kusut, tidak kalah kusut dengan ekspresi yang ada di wajah tampannya.
Suara gemerisik hujan, mengetuk kaca dan body mobil, suaranya yang cukup tenang tapi tidak mampu meredakan kegelisahan yang ada di dalam hati Max.
Seharusnya ia sudah pulang. Tapi Max terus memikirkan ekspresi Cassia di acara malam amal tadi. Senyum cantik Cassia yang mendadak hilang setelah membaca sesuatu pesan di ponselnya—hal itu sangat mengganggu pikirannya sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
Apalagi tiba tiba Cassia juga pamit buru buru pulang, sebelum acara amal selesai. Pria tampan ini merasakan suatu firasat, dan khawatiran. Ada sesuatu yang sudah atau akan terjadi pada Cassia.
Dan entah kenapa, Max tidak bisa membiarkannya ini begitu saja.
"Pak Max... Ini sudah lewat tengah malam. Anda yakin mau menunggu di sini?" tanya Sekertarisnya, Theo, dari kursi depan.
Bossnya pasti akan bertindak tidak biasa jika ini menyangkut wanita pujaan hatinya, Cassia si aktris cantik.
Max tidak langsung menjawab, ia menatap ke luar jendela, ke arah pintu lobby.
"...Ya, aku hanya ingin memastikan sesuatu, Theo. Kita tunggu di sini." jawabnya dengan tegas.
Theo menjeda sebentar, sebelum bertanya lagi.
“Apa... Apa kita perlu masuk dan tunggu di lobby saja, pak?” suara sekertaris Theo sedikit khawatir.
Theo bertanya karena boss nya ini hanya diam selama kurang lebih sepuluh menit sejak tiba di area drop off lobby. Theo dan supir sampai harus terus meminta maaf, dan akhirnya memberikan uang tips agar memperbolehkan mobil mereka berhenti lama di sini.
Padahal semua juga tau, area drop off tidak boleh ada mobil parkir di waktu yang lama. Namun karena uang tips dan waktu juga telah malam, petugas apartement pun mengijinkan mobil mereka berhenti disana.
Max menggeleng tegas menjawab pertanyaan Sekertaris Theo, matanya tak lepas dari pintu kaca lobby apartemen.
“Tidak. Aku tunggu di sini.” Ucap Max dengan nada yang lebih berat dari biasanya.
Baru beberapa menit setelah itu, Max melihat seseorang setengah berlari masuk ke lobby dalam keadaan basah kuyup dari arah parkiran mobil. Orang itu terlihat kacau, baik pakaiannya yang basah maupun raut wajahnya.
Sekertaris Theo juga melihat hal yang sama, sontak menoleh ke arah bossnya. Seolah mencoba mengkonfirmasi pengelihatannya.
“Pak Max, dia… Felix Rahadian, bukan?”
Max tak menjawab. Namun cara jemarinya mengepal di pangkuan—sudah cukup menjadi jawabannya.
Setelah melewati beberapa petugas apartement yang sepertinya mencoba menghentikan Felix, namun pria itu bersikeras, dengan langkah tergesa ia masuk ke lift.
Sudah pasti dia mengarah ke unit apartement Cassia.
Mata tajam Max mengekori pergerakan Felix sejak dari awal masuk lobby sampai menghilang setelah masuk ke lift. Perasaannya sangat berkecamuk sekarang. Rahangnya mengeras.
Jadi ini, firasat buruk yang ia rasakan sejak tadi. Max menggeram dalam hatinya.
Sekertaris Theo seakan memahami apa yang ada di hati bosnya, mencoba bicara dengan hati-hati. “Pak… kalau anda khawatir, kenapa tidak naik saja? Setidaknya memastikan nona Cassia baik-baik saja.”
Max memejamkan mata sejenak, menarik napas menahan dorongan besar untuk langsung naik.
“Tidak, Theo. Aku tidak ingin menjadi orang yang memaksa masuk ke hidupnya,” ucapnya pelan namun tegas. “Jika aku langsung naik tanpa Cassia yang memintanya, aku tak ada bedanya dengan pria bodoh itu.”
Sekertaris Theo terdiam mendengar jawaban Max.
Max menunduk, menatap layar ponselnya. Beberapa menit berlalu.
Tak ada pesan. Tak ada panggilan masuk.
Malam ini, 30 menit terasa lebih panjang dari biasanya
Akhirnya Max mengetik pesan pendek—hanya sejauh yang masih terasa menghargai batas Cassia.
To: Cassia
“Butterfly, maaf kirim malam-malam. Kamu sudah sampai rumah? Tolong hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu...”
Max menatap layar lama, terlihat menimbang sesuatu… masih belum menekan “send”. Jempolnya menggantung di atas tombol kirim.
Ada banyak pertimbangan rumit di dalam kepala Max saat ini.
Jika Max mengirim pesan itu apakah Cassia akan merasa terbebani? Atau justru ia akan berharap Max benar-benar ada di depan pintunya? Max masih menimbang dengan serius tindakannya sekarang.
Ia tidak mau dengan tindakan gegabah, kepercayaan dan kesempatannya untuk mendekati Cassia dengan benar jadi hancur. Namun, jika dia diam saja rasa khawatir ke Cassia juga semakin besar. Takut Felix, pria bodoh itu melukai Cassia lagi.
Sekertaris Theo menatap Max melalui kaca spion. Karena sudah mengabdi lama dengan Max, akhirnya ia pun memberikan saran. Yang sekiranya baik dan pas untuk bossnya saat ini.
“Pak saya minta maaf sebelumnya, saya rasa anda tidak perlu ragu untuk melakukan apa yang hati anda ingin lakukan. Karena jika nona Cassia benar-benar butuh Anda, menurut saya… dia akan senang tahu bahwa Anda ada di sini.”
Max menghela napas, tersenyum tipis dengan nada yang lebih tegas.
“Aku tahu itu. Karena itu aku datang kemari. Tapi aku juga percaya jika Cassia tidak menelpon meminta bantuan, itu artinya ia masih bisa mengatasinya sendiri. Maka yang bisa ku lakukan sekarang, hanyalah menunggunya." Ucapnya dengan nada lembut namun yakin.
Setelah mengatakan itu, akhirnya Max menekan tombol send. Dan, pesan itu seharusnya sudah terkirim ke ponsel Cassia.
Dari suaranya, tampaknya hujan turun lebih deras.
Di dalam mobil yang hangat, Max tetap tidak bergerak.
Masih menunggu.
Jika Cassia memanggilnya, ia akan naik, berlari secepat yang ia bisa.
Bersambung.
...🌻🌻🌻...
Gimana 2 bab nya? Aku bikin 2 bab ini agak lama karena matching energi dan tension yang sama seperti yang ku coba tulis.
Menurut kalian, Cassia bakalan minta tolong ke Max atau engga?🤔
Arigathanks for like comment and vote :)