Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Pukul dua dini hari Ryan baru kembali ke rumahnya,
Langkahnya berat saat ia masuk, ia melepas kemejanya yang masih menempel di tubuhnya.
Rambutnya kusut, napasnya panjang dan lelah, tapi matanya tak kunjung bisa terpejam.
Lampu kamar Ryan hanya menyala redup, memantulkan cahaya hangat di dinding berwarna krem.
Ia berdiri di depan jendela sebentar, memandangi langit Jakarta yang gelap, lampu-lampu kota berpendar jauh di bawah sana.
Namun bayangan wajah Asmara, dengan perban di pelipis dan tatapan pasrah itu, terus menghantui pikirannya.
Dia menutup mata, menarik napas dalam, lalu berbalik dan membuka lemari kayu di sudut kamar.
Dari rak paling atas, Ryan mengambil sebuah kotak kecil berwarna biru tua, sudah agak kusam di tepinya.
Ia membukanya perlahan, seolah takut merusak sesuatu yang sudah rapuh.
Di dalamnya, ada gantungan kunci berbentuk pesawat kecil dari logam, warnanya sudah memudar, tapi masih berkilau samar di bawah cahaya lampu meja.
Dan di bawah gantungan itu, terselip selembar kertas kecil dengan tulisan tangan anak-anak:
“Ryan, aku akan selalu berdoa supaya nanti kami bisa menerbangkan pesawat di atas langit..dari Mara.”
Ryan menatap tulisan itu lama sekali.
Garis hurufnya berantakan, polos, dan penuh semangat, tulisan seorang anak perempuan berusia enam tahun.
Sudut bibir Ryan sedikit terangkat, namun senyumnya hambar, lebih banyak getir daripada bahagia.
Ia menyentuh tulisan itu dengan ujung jarinya, seperti mencoba menyentuh masa lalu.
Wajah kecil seorang gadis kecil tiba-tiba muncul di ingatannya, rambut dikuncir dua, kulit putih susu, mata bening penuh rasa ingin tahu.
Mereka dulu sering bermain di halaman rumah neneknya di Bandung.
Ryan kecil saat itu pemalu, tapi gadis itu selalu cerewet dan berani, bahkan yang pertama kali menemaninya naik sepeda.
Tangannya perlahan mengusap permukaan logam kecil itu… dan seketika pikirannya melayang jauh ke dua puluh tahun yang lalu ke masa di mana segalanya terasa sederhana, tapi juga menyimpan luka yang dalam.
Saat itu, suara tawa anak-anak bercampur dengan kicau burung di halaman belakang rumah nenek.
Udara Bandung sore itu dingin tapi menenangkan.
Ryan kecil, hanya selisih dua tahun dari umur Asmara, berlari kecil di halaman, membawa mobil-mobilan, saat ia melihat seorang anak perempuan duduk di ayunan tua di bawah pohon mangga besar.
Anak itu menunduk, pundaknya kecil, rambutnya dikuncir dua.
Kakinya tak menyentuh tanah, dan setiap kali angin berhembus, ayunan itu bergoyang perlahan.
Namun bukan tawa yang terdengar, melainkan isakan pelan.
Ryan menghentikan langkahnya.
Ia mengenali gadis itu.
Anak perempuan yang sering diajak neneknya bermain bersama: Mara
Ia mendekat perlahan.
“Mara…” panggilnya pelan. “Kamu kenapa?”
Anak perempuan itu buru-buru menyeka matanya, pura-pura tersenyum.
“Aku… nggak apa-apa,” jawabnya dengan suara serak.
Ryan kecil mengerutkan dahi, lalu duduk di ayunan sebelahnya.
“Kamu bohong,” katanya polos. “Tadi aku lihat kamu nangis.”
Asma menunduk lagi.
Tangannya memegang tali ayunan erat-erat, seperti ingin menahan sesuatu di dadanya.
“Papa udah nikah lagi,” katanya akhirnya, dengan suara kecil. “Tapi… mama baruku jahat.”
Ryan menatapnya bingung.
“Jahat gimana?”
Asma menggeleng pelan, air mata kembali menetes di pipinya.
“Kalau Papa nggak di rumah, dia suka marahin aku. Suka bentak aku… kadang suka mukul juga.”
Suaranya mulai bergetar. “Katanya aku anak pembawa sial.”
Ryan terdiam. Ia masih kecil, belum mengerti banyak soal orang dewasa, tapi sesuatu di dalam dirinya terasa sesak.
Ia menatap wajah Asmara yang berusaha menahan tangis, dan tanpa pikir panjang, Ryan kecil bangkit berdiri.
Dia mengambil gantungan kunci pesawat dari saku celananya, gantungan mainan kecil dari ayahnya.
Ia menyerahkannya ke tangan Asma.
“Ini buat kamu,” katanya dengan suara pelan. “Biar kamu nggak sedih. Kalau kamu lihat ini, kamu ingat aku, ya. Aku temen kamu.”
Asmara menatap benda kecil itu, lalu mengangguk pelan.
Matanya masih sembab, tapi kini ada senyum tipis di bibir mungilnya.
“Terima kasih, Ryan,” bisiknya. “Kamu temen pertama aku yang nggak marah kalo aku nangis.”
“Kalau kamu besar nanti, kamu harus jadi pilot, ya! Biar bisa ngajak aku terbang beneran pakai pesawat seperti ini” Kata Mara sambil mengayunkan gantungan pesawat itu.
Suara tawa anak kecil itu menggema di kepalanya, seolah baru saja terjadi kemarin.
Ryan menatap gantungan kunci itu lagi.
“Mara…” ia berbisik lirih, hampir tak terdengar.
Ia memejamkan mata sebentar, mencoba mengingat lebih dalam.
Asmara, yang selama ini dia cari, mereka berpisah karena keluarga Asmara waktu itu pindah ke jakarta.
Ryan membuka matanya perlahan, menatap gantungan kunci itu dengan pandangan tak percaya.
“Asmara..aku sudah kembali menemukanmu..…” gumamnya, suaranya tercekat.
“Dua puluh tahun berlalu… dan ternyata kamu muncul lagi dengan cara yang seperti ini?”
Ryan masih duduk di tepi ranjang, memandangi gantungan kunci kecil di telapak tangannya.
Cahaya lampu meja menyorot lembut wajahnya yang mulai larut dalam kenangan lama.
Ryan tersentak kembali ke masa kini.
Matanya terbuka lebar, napasnya tercekat.
Suara isakan kecil itu terasa begitu nyata seolah baru saja terdengar di telinganya.
Ia menatap gantungan pesawat di tangannya dengan pandangan berbeda, ada sesuatu yang berat di dadanya kini.
Sebuah kepingan masa lalu yang selama ini ia cari… dan ia sudah dapatkan lagi.
Ia berdiri perlahan, berjalan ke jendela dan menatap langit malam yang mulai berwarna gelap kebiruan.
“Asmara..aku tidak akan membiarkan kamu pergi lagi…” gumamnya lirih, matanya berkilat dengan emosi yang sulit dijelaskan.
“Gadis kecil yang dulu aku janjikan untuk terbang bersama.”
Ryan mengembuskan napas panjang, matanya menutup sejenak.
“Dan sekarang… kita sudah terbang bersama-sama, dengan pesawat sungguhan bukan mainan.”
Nada suaranya rendah, lalu tersenyum miris, tapi ada ketegasan di ujungnya, campuran dari penyesalan dan tekad.
“Aku janji, Asmara...aku akan selalu di samping kamu.”
Ia meletakkan kotak itu di meja samping tempat tidur.
Matanya masih terpaku pada gantungan pesawat kecil itu, sebelum akhirnya ia berbisik pelan ke udara,
“Aku nggak akan biarkan kamu terluka lagi.”
Lalu, dengan tatapan dalam yang masih tak tenang, Ryan menatap langit malam di luar jendela.
Senyum tipis muncul di wajahnya, lembut, penuh makna yang bahkan ia sendiri belum berani mengakui.
...🌺...
...🌺...
...🌺...
^^^Bersambung....^^^