Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Aruna diam cukup lama, seolah sedang menimbang apakah pintu itu akan ditutup kembali di depan wajah Arkan atau ia akan membiarkannya masuk. Pandangannya tajam, tapi samar-samar ada getar halus di bibirnya, tanda bahwa hatinya tidak benar-benar sekeras yang ia tampakkan.
“Aku… boleh masuk?” tanya Arkan hati-hati, suaranya nyaris berbisik.
Aruna menarik napas panjang, bahunya sedikit naik turun. Akhirnya ia bergeser setapak ke samping, membuka jalan. “Masuklah.” Suaranya pelan, datar, tanpa intonasi hangat.
Langkah Arkan terasa berat meski hanya beberapa tapak menuju ruang tamu. Begitu masuk, ia menaruh plastik berisi es krim di meja kecil. Ia menoleh pada Aruna, berharap ada sedikit senyum, tapi yang ia lihat hanya wajah lelah yang memaksanya menunduk.
Aruna sendiri berjalan malas, kakinya seakan menyeret. Ia menatap kursi, lalu sekilas melirik Arkan yang masih berdiri kaku. “Duduklah,” katanya singkat.
Arkan mengangguk, menuruti. Ia duduk di sofa, tapi tubuhnya tegang. Tangannya saling menggenggam erat, jemarinya bergerak gelisah.
Tanpa banyak bicara, Aruna melangkah menuju dapur. Gaun rumahnya yang sederhana ikut bergoyang setiap langkahnya. Ia membuka lemari dapur, mengambil cangkir, lalu menyalakan ketel air. Suara mendidih pelan memenuhi keheningan. Ia mencoba menyibukkan diri, menahan perasaan yang berkecamuk di dada.
Dari ruang tamu, Arkan terus memandang ke arah pintu dapur yang terbuka sebagian. Hatinya penuh cemas. Ia ingin berdiri, menyusul Aruna, tapi menahan diri. Biarlah gadis itu punya ruang untuk bernapas.
Tak lama, Aruna kembali dengan nampan kecil berisi dua cangkir teh panas. Ia meletakkannya di meja, sedikit jauh dari tempat Arkan duduk, lalu ikut duduk di kursi seberang dengan posisi tubuh miring, seolah menjaga jarak.
Suasana sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Arkan memberanikan diri membuka suara. “Na… aku tahu mood kamu lagi nggak bagus. Kamu punya seribu alasan buat nggak percaya sama aku sekarang. Tapi tolong… kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya.”
Aruna tidak langsung menoleh. Ia menatap teh di hadapannya, jemarinya melingkari cangkir itu erat, seolah panasnya bisa mengalihkan rasa sakit di dadanya. “Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Aku sudah tahu bahwa itu hanyalah rekayasa Rani tapi ketika kalian tidur berdua, sepertinya bukan rekayasa.” Suaranya parau, namun dingin.
Arkan menggigit bibir, kepalanya menunduk. “Malam itu… itu bukan aku yang mau. Itu jebakan, Na. Rani sengaja bikin seolah-olah aku tidur sama dia.”
Tatapan Aruna akhirnya menoleh, “Aku tahu, Pak Arkan tidak perlu menjelaskan secara detail”
Arkan segera menggeleng, napasnya memburu. “Waktu itu aku mabuk karena minuman yang dia kasih, dan saat aku sadar, aku udah ada di kamar itu. Rani… dia cuma pura-pura. Kami nggak ngelakuin apa-apa.”
Aruna terdiam. Suara Arkan penuh tekanan, penuh keputusasaan, seolah kata-kata itu lahir dari dasar hatinya yang paling jujur. Tapi luka yang ia rasakan masih terlalu besar.
Arkan menunduk lagi, bahunya jatuh. “Aku tahu aku salah Na, tapi aku berjanji untuk membahagiakanmu nanti.”
Aruna menarik napas panjang, begitu berat seolah dadanya menolak untuk melepaskan udara. Ia menunduk, menatap cangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Hatinya berperang hebat—antara ingin percaya dan menolak untuk percaya.
Pada akhirnya, ia hanya mengembuskan napas pasrah. “Baiklah, Pak… kalau itu memang penjelasannya, aku… aku akan mencoba percaya.” Suaranya lirih, hampir tenggelam, seperti menyerah bukan karena yakin, tapi karena lelah.
Arkan menatapnya dengan sorot mata penuh rasa syukur, meski ia juga sadar ada dinding tinggi yang masih membatasi mereka. “Terima kasih, Na. Aku janji nggak akan nyia-nyiain kesempatan ini.”
Aruna hanya mengangguk kecil. Hatinya menolak, tapi mulutnya tetap berkata sebaliknya. Ada luka yang belum sembuh, tapi ia terlalu lelah untuk terus melawan.
Waktu berjalan lambat di dalam rumah itu. Mereka berbicara sedikit, lebih banyak diam. Arkan sesekali mencoba membuka topik ringan, tapi Aruna hanya menjawab singkat. Meski begitu, bagi Arkan, kehadiran Aruna di hadapannya sudah cukup.
Hingga akhirnya, matahari condong ke barat. Arkan sadar ia tak bisa terlalu lama menekan batas kesabaran Aruna. Dengan berat hati, ia bangkit dari sofa. “Aku pulang dulu, Na. Istirahatlah, jangan terlalu dipikirkan. Aku akan datang lagi.”
Aruna hanya mengangguk, matanya tak benar-benar menatap Arkan.
Arkan menatapnya sekali lagi, menahan dorongan untuk meraih tangan Aruna, lalu berbalik dan melangkah keluar. Suara pintu menutup terdengar lembut, meninggalkan keheningan kembali menyelimuti rumah itu.
Tak lama kemudian, suara mobil orang tuanya terdengar di halaman. Aruna bangkit dengan tubuh letih, menyambut mereka di depan.