Bagaimana caranya Hanum si preman pasar yang bar- bar seketika menjadi anggun saat dia harus menikah dengan anak majikannya.
"Ada uang Abang kucinta. Gak ada uang Abang kusita."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Alasan
Hanum merebahkan dirinya di ranjang di kamarnya. Hari ini sungguh melelahkan, dia baru saja mandi setelah pulang dari pesta pertunangan Rendi.
"Anak laki-laki di keluarga kami tentunya haus akan kekuasaan."
"Orang kaya sangat merepotkan." Hanum menghela nafasnya saat mengingat ucapan Arya, jika anak laki-laki di keluarganya haus kekuasaan. Yang Hanum tak mengerti kenapa mereka menargetkan Arya.
Apa Arya adalah yang paling berkuasa?
Hanum menguap saat rasa kantuk datang. "Apa peduli gue. Urusan gue cuma perlu nikah, pura-pura jadi istri, dapat duit banyak, terus selesai." Hanum mengusap matanya lalu tertidur.
Di pagi hari Hanum terbangun saat mendengar alarm di ponsel bututnya.
Hanum mematikan alarm lalu berjalan gontai ke arah kamar mandi untuk bersiap.
Keluar dari kamar dia melihat semua pelayan berjejer rapi menunggu intruksi dari Ratna sebagai kepala pelayan. Melihat Ratna muncul Hanum segera ikut berbaris bersama teman-temannya.
Setelah mendengar beberapa patah kata dari Ratna semua pelayan mulai berpencar dan melakukan pekerjaan masing-masing termasuk Hanum yang bersiap pergi ke kamar Arya.
Baru saja menaiki satu anak tangga. Hanum melihat Lukman berjalan ke arahnya.
Hanum menunduk hormat hingga Lukman benar- benar tiba di depannya. "Operasi Bapak kamu sudah di jadwalkan." Hanum mendongak menatap dengan wajah tak percaya.
"Beneran, Pak?" Lukman mengangguk.
"Saya sudah bilang Bapak kamu bisa di operasi dalam minggu ini."
Hanum tersenyum penuh rasa terimakasih. "Terimakasih banyak, Pak."
"Katakan itu pada Nyonya. Beliau bahkan mencari hingga ke rumah sakit di luar Negeri demi mendapat ginjal yang cocok untuk Bapak kamu."
Nanum mengangguk. "Tentu saja, Pak Lukman, saya akan melakukannya. Tapi kalau bukan Pak Lukman yang kerjakan perintah nyonya, saya yakin saya masih kebingungan. Jadi terimakasih banyak." Hanum tahu dan sangat paham, jika bukan karena kekuatan uang Ningsih, Bapaknya tidak mungkin bisa di tindak dengan cepat seperti sekarang.
Lukman mengangguk. "Bagus, ternyata kamu memang gadis yang tahu terimakasih."
Hanum tersenyum, bagaimana tidak, kalau bukan karena bantuan Ningsih dan Lukman entah bagaimana sekarang kondisi Bapaknya.
"Oh ya, Nyonya meminta kamu datang ke kamarnya sebelum bekerja." Hanum mengangguk cepat. Dia juga akan sekalian berterimakasih pada Ningsih.
Sebelum masuk Hanum mengetuk pintu tiga kali. Setelah mendengar seruan masuk dari Ningsih barulah Hanum membuka pintu.
"Nyonya," sapa Hanum.
"Duduk, Num." Ningsih tersenyum anggun lalu menunjuk sofa agar Hanum segera duduk.
"Aku dengar kamu berhasil menghadapi para sepupu Arya semalam?" Ningsih berjalan mendekat dan duduk di depan Hanum.
"Itu bisa di sebut menghadapi, Nyonya?" tanya Hanum dengan mengernyit. Dan harus Hanum akui mereka itu menyebalkan. Jika tidak mengingat dia adalah calon menantu Ningsih yang selalu bersikap tenang dan anggun sudah Hanum balikan meja makan semalam untuk menutup mulut mereka semua.
Semalam setelah Rania mengejeknya yang hanya seorang pembantu, Hanum kembali mendengar ejekan- ejekan dari beberapa orang disana. Bukan ejekan yang langsung mengarah padanya hanya berupa sindiran- sindiran tapi cukup membuat telinganya panas. Seperti soal mewahnya makanan yang mereka kira Hanum belum pernah memakannya atau bahkan soal merk pakaian yang Hanum tak mengerti mereka membicarakan apa.
Ya, Hanum akui makanan- makanan itu terasa nikmat di lidah dan memang Hanum belum pernah merasakannya, tapi karena ucapan- ucapan sindirian itu Hanum serasa menelan duri yang tak sengaja tertelan di ikan yang dia makan, perih di tenggorokan.
Terutama Rania dan Rona. Keduanya terus menyerang Hanum. Lain lagi dengan Zayana gadis itu hanya menanggapi dengan senyuman dan sesekali tertawa kecil, sementara para pria lebih banyak diam, dan yang Hanum rasakan mereka justru memperhatikannya seolah dia adalah santapan. Ah, tidak! Ada Rendi yang juga ikut mengejeknya, tapi saat dia berhasil membalikan ucapannya pria itu menatapnya tersenyum. Hanum bahkan bergidik saat mengingat tatapan pria itu padanya.
"Kamu masih tenang dalam bersikap itu artinya kamu bisa menghadapi mereka."
"Hehe, sebenarnya saya ingin sekali menendang mereka satu persatu, Nyonya—" Hanum dengan cepat menunduk saat menyadari apa yang dia katakan. "Maaf, Nyonya."
Ningsih terkekeh. "Tidak, tidak. aku mengerti. Mereka hanya sekumpulan anak- anak manja yang menyebalkan."
Hanum mengangguk. "Anda benar."
Ningsih menghela nafasnya. "Dan Hanum kamu harus menahannya meski mungkin kamu marah. Karena saat kamu benar-benar marah dan terpancing mereka justru akan merasa senang."
Hanum terdiam mengerti. "Baiklah, karena dalam waktu dekat operasi Bapak kamu akan dilakukan, kamu boleh cuti dan menemani Bapak kamu."
Hanum tersenyum. "Beneran Nyonya?"
"Ya, dan kamu juga harus persiapkan diri kamu."
Hanum menatap dengan bertanya-tanya hingga suara Ningsih kembali terdengar, "Operasi Bapak kamu akan di lakukan di luar Negeri." Hanum tak bisa tak terkejut mendengar itu. "Lukman akan siapkan semua dokumen keberangkatan kalian, termasuk paspor dan tiket pesawat."
"Pesawat, Nyonya?" Tentu saja Hanum terkejut. Dia belum pernah naik burung besi itu.
"Ya. Waktunya sudah mendesak, kamu dan Arya harus segera menikah, dan aku tidak mau saat pernikahan kamu Bapak kamu masih sakit." Hanum tersenyum dia tak menyangka jika Ningsih begitu peduli hingga memperhatikan kesehatan Bapaknya.
"Sementara aku juga gak mau menunggu terlalu lama sampai bapak kamu di tindak disini. Kamu dan Arya harus segera menikah."
Hanum mengangguk mengerti. Rupanya ini juga demi kepentingan Ningsih sendiri. Senyum Hanum mengecil. "Apapun itu terimakasih banyak, Nyonya." Lagi pula semakin cepat Bapaknya sehat kembali maka Hanum semakin lega. Apapun alasan Ningsih, dia harus tetap berterimakasih.
"Kalau begitu saya pamit untuk mulai bekerja, Nyonya." Hanum mengangguk hormat sebelum berbalik, namun baru satu langkah Hanum kembali mendengar suara Ningsih.
"Aku lupa memberitahu kamu. Jangan sampai Arya tahu tentang masalah ini." Hanum tertegun sesaat, namun dia segera mengangguk.
"Baik, Nyonya."
....
Setelah berbicara dengan Ningsih, Hanum segera pergi ke kamar Arya untuk melakukan pekerjaannya. Hanum tak mengerti kenapa Ningsih melarangnya membicarakan ini dengan Arya. Meski dia juga tak berniat mengatakannya. Tapi tetap saja dia jadi bingung, alasan apa yang akan dia katakan pada Arya saat dia kembali cuti bekerja padahal ini baru beberapa hari setelah dia cuti.
"Masa baru cuti udah cuti lagi." Hanum menggaruk rambutnya, dia kesal saat terus berpikir tapi tak menemukan alasan yang tepat. Dia bahkan tak menyadari jika saat ini dia sudah berada di depan kamar Arya.
"Kamu cuti lagi?" Hanum menoleh saat mendengar suara Arya. Pria itu berdiri di depan pintu hendak keluar dari kamarnya.
"Pagi Tuan, anda sudah siap?" Hanum menatap Arya yang sudah mengenakan pakaian kerja padahal Hanum belum menyiapkannya, apa dia terlalu lama bicara dengan Ningsih, hingga dia terlambat menyiapkan pakaian tuannya ini. "Maaf, Tuan. Saya terlambat."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Hanum. Aku tanya Kenapa kamu cuti lagi?"
Arya arya CEO sedikit stupid wkwkwkkwk
si diam2 menghanyutkan...😏
dimana coba, dapat cewek cantik, somplak, trus jago berantem kayak hanum?
arya sih dapat jackpot namanya.. 😄😄
Kalah duluan sama Hanum yang bertindak
lanjut thor 👍👍👍👍