Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Mobil yang dikendarai Angga berhenti di depan halaman rumah Amira. Sinar matahari siang memantul di kap mobil yang mulai hangat, menambah gerah udara yang terperangkap di antara pepohonan mangga di pekarangan.
Tanpa berkata apa-apa, Angga turun dari mobil lalu memutari kap depan. Ia membuka pintu di sisi penumpang dengan gerakan cepat dan datar, seolah hanya melunasi hutang. Rasa bersalah dan tanggungjawab.
Amira menunduk, menggigit bibir bawahnya ketika kaki yang terluka menyentuh tanah. Rasa perih langsung merambat hingga ke betisnya. Ia terpaksa bertumpu pada pintu mobil, mencoba menahan tubuh agar tidak limbung.
Angga hanya berdiri menunggu, ekspresinya datar, tatapannya tidak memperlihatkan simpati sedikit pun. Namun saat melihat Amira kesulitan, ia akhirnya meraih lengannya tanpa banyak bicara.
Amira mulai menapaki jalan setapak berbatu menuju teras rumah. Setiap langkahnya tertatih, dan ia bisa merasakan genggaman Angga di lengannya yang kuat namun terasa kaku—tak ada kehangatan di sana, hanya agar ia tidak jatuh.
Sesekali napas Amira tertahan saat ujung kakinya tersenggol kerikil, namun Angga tidak menoleh, tidak bertanya apa-apa. Hanya menarik lengannya sedikit agar ia tetap bergerak. Begitu sampai di depan pintu rumah, Amira mendongak pelan.
“Makasih udah nganterin…” Ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
Angga tidak menanggapi. Ia hanya melepaskan genggamannya, kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana, memalingkan wajahnya ke arah halaman. "Udah sana masuk!" Katanya datar, tanpa menatap.
Amira hanya menunduk, lalu melangkah perlahan masuk ke dalam rumah, sementara Angga tetap berdiri di teras, diam, seolah hanya menunggu sampai pintu itu tertutup.
“Ah!” Seru Amira lirih, matanya terpejam refleks.
Dalam sepersekian detik, Angga spontan menahan tubuh Amira, satu lengannya melingkari pinggang wanita itu agar tidak jatuh. Namun posisi mereka justru membuat jarak di antara wajah keduanya begitu dekat—hidung hampir bersentuhan.
Amira tercekat, napasnya tertahan, sementara Angga hanya menahan tubuhnya dengan ekspresi yang tetap dingin. Di saat bersamaan, beberapa warga yang hendak datang menemui Amira, melihat kejadian itu dan langsung mendekati dengan tergesa.
“Amira!” Seru salah seorang ibu dengan nada panik. Ia menutup mulutnya, terkejut melihat posisi Amira dan Angga yang saling berpelukan di depan teras.
Angga segera tersadar dan buru-buru melepaskan pelukannya, wajahnya menegang menahan malu. “Bukan seperti yang kalian pikirkan,” ucapnya cepat, suaranya terdengar agak berat.
Amira tersentak, wajahnya memerah, sementara tangannya masih menggenggam lengan Angga untuk menahan sakit di kakinya. Ia ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya seolah tertahan di tenggorokan.
Beberapa warga yang berdiri di belakang ibu itu saling pandang. Tak cukup lama, salah satu wanita paruh baya itu bergerak lebih dekat. Di belakangnya, warga lain yang melihat dari kejauhan ikut bergegas mendatangi halaman, membuat suasana terasa semakin riuh.
"Ibu, ini tidak seperti yang Ibu lihat." Ungkap Amira. Akhirnya kalimat itu berhasil meluncur, meski dengan nada yang tergagap. Wajahnya memerah, matanya sedikit bergetar saat menatap wanita paruh baya di depannya, dan beberapa warga lain dibelakangnya.
"Kamu jangan beralasan, Amira!" Bantah wanita itu. "Kebetulan, kami datang kesini bukan tanpa tidak sengaja. Kamu itu sudah buat resah di kampung kami."
"Iya!" Sahut wanita satunya lagi ikut mendekat. Kelopak matanya yang sudah setengah keriput itu membulat tajam. "Kami itu sebenarnya mau mengunjungi kamu kemarin-kemarin, tapi belum sempat. Dan ternyata, secara kebetulan kamu justru terang-terangan bermesraan, main mesum di kampung kami!"
"Bu, ini salah paham!" Bantah Angga dengan gelengan di kepala. Ruas jemarinya yang bergetar mengangkat ke udara.
"Kamu, kan?!" Wanita itu menunjuk ke arah Angga. "Laki-laki yang selalu datang ke rumah Amira!"
"Amiraaa!" Sahut seseorang di belakang datang mendekat. Pria berusia tiga puluh tahun itu membelah kerumunan dengan langkah yang mantap. "Waktu saya jaga malam, saya tanpa sengaja melihat kamu di jendela itu ..." Katanya, sambil menunjuk ke salah satu jendela di sisi kiri rumah—jendela kamar Amira. "Tidur bersama laki-laki! Keterlaluan kamu, Amira!"
Amira terdiam, dadanya terasa sesak. Tatapannya jatuh ke tanah, kedua tangannya menggenggam ujung roknya erat-erat. Tidur bersama laki-laki? Kata-kata itu bergema di kepalanya. Mungkin yang dimaksud pria itu adalah Satria. Ya … memang pernah nyaris terjadi malam itu. Namun tidak—Amira sama sekali tidak sampai melakukannya.
"Pak!" Amira menatap pria itu dengan berkaca-kaca. "Saya tidak sampai melaku—"
"Halah!" Seru seseorang sambil mengajak warga lain mendekat. "Mana ada maling ngaku! Kamu itu harus menikah dengan pria ini lalu pergi dari kampung kami sebelum desa ini kena sialnya!"
Angga terkejut oleh pernyataan itu. Ia selangkah lebih maju, mendekati warga. Menatap satu per satu wajah mereka dengan tatapan penuh permohonan. "Bapak, Ibu. Tolong tenang. Saya baru bertemu dengan wanita ini tadi pagi. Saya menabrak wanita ini dan mengantarkan dia pulang ke rumah. Waktu dia masuk ke rumah, dia hampir terjatuh dan saya refleks menolongnya." Jelasnya.
Hening sejenak. Udara terasa berat seolah menahan napas bersama Amira dan Angga.
"Saya tidak kenal wanita ini sebelumnya, bapak ibu. Mungkin laki-laki yang ibu bapak maksud bukan saya. Itu—"
"Udah! Gak usah banyak alasan!" Potong warga dengan nada tinggi. Nada bicaranya memecah kesunyian dan membuat beberapa warga lain terlonjak kaget dan tersulut emosi.
"Iya! Memangnya kami bodoh?!"
"Amira! Kamu harus menikah dengan laki-laki lalu pergi dari kampung kami!"
Amira tersentak. Ia menggeleng pelan, mulutnya setengah terbuka. Kata-kata yang hendak diucapkannya seolah tertahan di tenggorokan, tak mampu keluar. Matanya berkaca-kaca, menatap satu per satu wajah warga yang mengelilinginya—seakan mencari seseorang yang percaya padanya. Namun yang ia dapat hanyalah sorot mata penuh prasangka.
Tiba-tiba seseorang datang membelah kerumunan. Sosok itu adalah Pak Rahmat, ketua RT setempat. Tubuhnya yang agak berisi membuat orang-orang memberi jalan dengan cepat.
“Ada apa ini? Kenapa ramai-ramai di depan rumah Amira?” tanyanya, suara beratnya terdengar tegas namun terkendali.
Kerumunan yang tadi ribut seketika terdiam. Beberapa warga menunduk, sebagian lain masih berbisik pelan.
Pak RT melangkah maju hingga berdiri di antara Amira dan warga yang menuduh. Tatapannya bergantian menyapu mereka semua. “Saya dengar ribut-ribut dari ujung gang. Jelaskan, siapa yang mulai bicara?”
Pria berusia tiga puluh tahun yang tadi menuduh maju selangkah. “Saya, Pak RT. Sesuai laporan saya kemarin, waktu jaga malam itu Pak."
“Pak RT juga sudah mengambil keputusan yang sama dengan kita, kan sesuai keputusan rapat kita kemarin malam?” Ujar salah seorang warga, suaranya terdengar menantang.
Pak Rahmat terdiam sejenak. Dahi pria paruh baya itu berkerut, sorot matanya seolah menimbang sesuatu yang sulit diungkapkan. Hening sesaat menyelimuti kerumunan sebelum akhirnya ia menarik napas dalam-dalam.
Tak lama kemudian, ia menoleh menghadap Amira. “Nak Amira …” Suara Pak Rahmat terdengar lebih lembut, berbeda dengan ketegasannya tadi. “Begini … Bapak memang sudah berniat berkunjung kemari untuk berbicara dengan Nak Amira mengenai hal ini. Bapak sudah mendapat beberapa laporan dari warga bahwa kamu seringkali menerima seorang laki-laki datang ke rumah, bahkan tadi pagi, ada seorang pria yang mencari kamu. Katanya dia tamu kamu di hotel."
Ia ingin membantah tuduhan itu—dan memang harus membantah—karena tidak sepenuhnya benar. Namun di sisi lain, ada sebagian dari cerita itu yang membuatnya sulit menyangkal.
Memang benar aku pernah berada di tempat itu… tapi tidak pernah sampai melakukan hal yang mereka tuduhkan. Batinnya getir.
Yang lebih mengejutkan, ia baru menyadari bahwa orang-orang yang sempat mengejarnya tadi bukanlah penagih utang, melainkan suruhan seseorang yang ingin menyeretnya kembali ke tempat itu—untuk “melunasi” sesuatu yang tertunda.
Amira menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi dan rasa takut yang perlahan menyergap.
"Tapi bagaimanapun, Pak. Saya ini bukan pria yang Bapak maksud. Kami baru kenal tadi pagi, Pak." Ungkap Angga.
"Mohon maaf, Nak." Sanggah Pak Rahmat. "Dulu kejadian serupa pernah terjadi di kampung kami. Seorang gadis dituduh yang bukan-bukan, lalu datang seorang pria dari luar desa, sama seperti anda. Saat itu, kami semua khawatir aibnya akan makin melebar kalau tidak segera diselesaikan.”
Pak Rahmat menatap Angga sejenak, kemudian berpaling pada Amira yang masih tertunduk. “Kondisinya mirip dengan yang kalian alami sekarang. Karena itu, warga sepakat meminta mereka berdua untuk menikah dan meninggalkan desa ini agar tidak jadi bahan gunjingan lagi.”
Amira tersentak, menegakkan wajahnya dengan mata yang membelalak. “Pak… tidak mungkin… saya tidak…,” Suaranya tercekat, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Angga mengerutkan kening, nadanya menahan ketidaksabaran. “Pak, saya baru mengenalnya hari ini. Dan Bapak ingin saya menikahinya? Itu keputusan yang terlalu jauh.”
Pak Rahmat kembali menarik napas, kali ini terdengar berat. “Saya tahu ini mendadak, Nak. Tapi kami tidak ingin hal ini jadi bahan fitnah yang lebih kejam. Demi nama baik Amira… dan juga ketenangan warga di sini, kami merasa itu satu-satunya jalan.”
Suasana menjadi hening. Hanya desah angin malam yang berhembus pelan, menambah berat ketegangan yang menggantung di antara mereka.
Angga menggeleng pelan, sorot matanya redup namun jelas menolak keputusan itu. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Beberapa warga saling pandang, sebagian berbisik-bisik lirih. Sementara itu, Amira menatap Angga dengan mata berkaca-kaca, bingung dan cemas terhadap apa yang akan terjadi.
Angga melangkah menjauh beberapa langkah dari kerumunan, berdiri di dekat tiang pagar kayu yang sudah agak lapuk. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan nama yang tertera di layar ponselnya. Malam itu terasa semakin dingin, bukan karena angin, tetapi karena ketegangan yang belum juga mereda.
Deru napasnya terdengar berat saat nada sambung di seberang berdering. Dalam benaknya, ia berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan situasi yang terasa nyaris tak masuk akal ini.
"Halo, Angga?" Sahut suara sang Ayah di sebrang sana.
"Pa, bisa temui aku? Aku dalam bahaya."
****