Selina, seorang penjahat wanita yang menjadi buronan polisi, akhirnya mati dibunuh kekasihnya sendiri.
Jiwanya bertransmigrasi ke tubuh Sofie, seorang istri CEO yang bertepatan saat itu juga meninggal karena kecelakaan.
Kehidupan kembali yang didapatkan Selina lewat tubuh Sofie, membuat dirinya bertekad untuk balas dendam pada kekasihnya Marco sekaligus mencari tahu penyebab kecelakaan Sofie yang dianggap janggal.
Ditengah dendam yang membara pada Marco, ia justru jatuh cinta pada Febrian, sang CEO tampan yang merupakan suami Sofie. Bersama lelaki itu, Selina bekerjasama mengungkap semua rahasia yang berkaitan dengan kematian dirinya.
Hingga suatu ketika, Febrian pun menyadari jika jiwa istrinya sofie sudah berganti dengan jiwa wanita lain.
Bagaimanakah kisah selanjutnya?
Apa Selina berhasil membalas dendam pada Marco? Bisakah Selina mendapatkan cinta Febrian yang curiga dengan perubahan Sofie istrinya setelah dirasuki jiwa Selina?
Baca novelnya jangan lupa, like dan komen 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afriyeni Official, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembunuhan oleh Marco
Dalam kediaman Febrian yang besar dan megah, Selina dan Febrian tengah di landa api asmara. Mereka berdua asyik bercumbu rayu di atas ranjang melanjutkan suasana romantis makan malam yang tadi sempat terganggu oleh angin kencang.
Deru nafas yang saling memburu satu sama lain, terdengar halus di antara bunyi ranjang yang bergoyang karena keagresifan gerakan tubuh mereka berdua. Ketika suasana kian panas terbakar gelora, mendadak lampu di kamar itu mati.
Suasana ruangan kamar itupun jadi gelap gulita seketika. Jendela kamar yang tertutup rapat, tiba-tiba terbuka lebar disertai deru angin yang bertiup kencang, menyibak kain gorden yang menutupi jendela kamar.
Kegiatan romantis mereka berdua langsung terhenti. Febrian bergegas turun dari ranjang dan menyambar ponselnya untuk menghidupkan lampu senter lewat ponselnya.
"Aneh, kenapa lampu di rumah ini bisa mati?" Ia berniat memeriksa namun urung karena lampu itu mendadak kembali menyala seperti semula.
Ia menatap wajah istrinya yang tampak pucat, duduk meringkuk di atas ranjang, bersembunyi di balik selimut tebal..
"Sayang, kamu takut?" Febrian menghampiri Selina.
"Sedikit, aku cuma kaget jendela kamar itu terbuka sendiri. Bukannya tadi sudah di kunci?" tanya Selina heran menunjuk ke arah jendela yang terbuka.
Febrian bergegas menghampiri jendela kamar dan mengintip ke arah luar yang tampak sepi dan kelam karena sudah lewat tengah malam. Kemudian ia berusaha untuk menutup kembali jendela itu dengan rapat.
DEG!
Sepintas ia melihat sosok perempuan cantik bergaun putih memandangi dirinya dari kejauhan. Wajahnya tidak terlalu jelas. Namun, ada suatu hal yang membuat hatinya penasaran. Sosok itu begitu mirip dengan Sofie.
Febrian buru-buru menutup jendela dan menguncinya. Tubuhnya berbalik dan menatap kaku pada Selina yang masih meringkuk di atas ranjang.
"Sayang, kamu kenapa?" gantian Selina yang kebingungan melihat perubahan wajah Febrian yang tampak pucat tak berdarah.
"Tidak, aku tidak apa-apa." Sahut Febrian cepat dan bergegas naik ke atas ranjang memeluk istrinya erat.
"Tidurlah, malam romantis tadi kita lanjutkan besok saja. Kebetulan besok aku ada rapat dengan dewan direksi perusahaan. Aku harus berangkat ke kantor pagi-pagi sekali." Ujar Febrian menyuruh istrinya cepat tidur.
Hati Selina seketika di hinggapi rasa aneh dan janggal. Dia menebak, ada sesuatu yang di sembunyikan Febrian padanya. Apa mungkin dia juga merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan saat ini? Selina merasa ada sosok tak kasat mata yang memperhatikan mereka berdua.
"Aish, Febrian benar. Aku harus cepat tidur." Selina meringis dalam hati bergegas memejamkan mata dan merapatkan tubuhnya dalam pelukan Febrian yang hangat.
*****
MARKAS MARCO.
Lelaki gagah ber aura sangar dan dingin itu, tampak kalap setelah anak buahnya melaporkan ada yang membongkar makam Selina. Dia pun memerintahkan Arnold untuk menangkap penjaga makam yang ia curigai sebagai salah satu pelaku pembongkaran.
Tak selang beberapa waktu, Arnold muncul dengan menyeret penjaga makam serta penggali makam yang di duga ikut bersekongkol menggali makam Selina.
Kedua pria yang sudah berumur hampir 40 tahun itu tampak sangat ketakutan. Wajah mereka pucat pasi dan mengeluarkan keringat dingin tanpa berani sedikit pun juga untuk mengangkat kepala melihat pada Marco.
"Katakan, siapa yang menyuruh kalian membongkar makam Selina hah?!" bentak Marco penuh amarah.
Tubuh kedua pria itu gemetar hebat. Marco sangat terkenal di sekitar area itu sebagai lelaki yang tak punya hati dan sadis.
"Katakan, atau ku tembak kepalamu!" ancam Marco mengeluarkan sebuah pistol dari balik jas hitam yang ia kenakan dan menodongkannya ke kepala si penggali makam yang serta merta makin menggigil ketakutan hingga tubuhnya basah oleh keringat dingin.
"Am-ampun Tuan. Kami tak mengenalnya. Awalnya dia mengaku sebagai saudara Nona Selina yang datang untuk mengambil kalung milik Nona Selina. Dia bilang, kalung itu adalah bukti bahwa mereka bersaudara." Tutur si penggali makam gemetar ketakutan.
"Kalung, untuk apa ia mencari kalung butut itu hah?!" hardik Marco di landa kebingungan karena tujuan orang itu hanyalah demi kalung butut yang menurutnya tidak berharga sama sekali.
"Sa-saya tidak tahu Tuan." Jawab penggali makam gugup di sertai penjaga makam yang ikut mengangguk-angguk menunjukan rasa takut ayng sama dengan si penggali makam.
"Dasar kalian bodoh!"
BUGH!
Tangan Marco melayang cepat menghantam pelipis dahi si penggali makam dengan gagang pistol yang ada dalam genggaman tangannya.
Dahi si penggali makam seketika mengucurkan darah segar dengan tubuh terjungkal jatuh di lantai.
Melihat temannya jatuh tersungkur, nyali si penjaga makam makin menciut takut. Apalagi ketika Marco menatapnya dengan tajam. Ia jatuh dan beringsut mundur menjaga jaraknya dengan Marco yang tampak beringas menakutkan.
"Kalian berdua pasti membohongiku, apa yang pria itu cari hah?!" Marco membesarkan bola matanya mendelik tajam seraya menodongkan pistolnya ke arah si penjaga makam yang gemetar sangat ketakutan hingga ia kencing di celana.
"A-aku tidak tahu Tuan. Sungguh, kami tid-...,"
DOR!
"Aaargh...!"
Satu buah peluru panas yang melesat cepat dari pistol milik Marco, bersarang di kaki kanan si penjaga makam yang langsung menjerit kesakitan memegang kaki kanannya yang terluka karena tembakan pistol.
Darah segar berwarna merah pekat, mengucur deras mengubah warna lantai keramik yang putih menjadi merah.
Si penggali makam yang melihat temannya di tembak nyaris jatuh pingsan saking takutnya. Ia pun bergegas memegang kaki Marco dan memohon.
"Tuan, jangan bunuh kami. Tolonglah, yang kami katakan adalah benar. Kami benar-benar tidak tahu sama sekali Tuan." Pintanya sambil menangis, menjerit ketakutan.
"Oh ya, aku tidak percaya sedikitpun yang kalian katakan. Kalian adalah manusia yang tidak berguna. Lebih baik kalian mati saja!" seringai dingin terukir di bibir Marco.
Ketegangan terlihat dalam ruangan yang sudah seringkali menjadi saksi bisu kekejaman Marco. Arnold dan teman-temannya yang sangat mengenal pribadi Marco, hanya merunduk diam seolah menunggu tindakan brutal yang menjadi kebiasaan bosnya.
Si penjaga makam dan penggali makam, tampak makin gemetar menggigil ketakutan. Mencoba melarikan diri pun percuma, sekeliling markas itu sudah di jaga oleh anak buah Marco yang sudah terlatih dengan ilmu bela diri yang tangguh.
"Tuan... Ka-kami mo...,"
Satu kalimat pendek dari penggali makam justru makin memancing emosi Marco.
DOR... DOR... DOR...!
Hanya beberapa detik, lantai markas itu penuh dengan darah yang menyebar ke segala penjuru. Si penggali makam dan penjaga makam sesaat sempat menggeliat meregang nyawa.
Namun akhirnya, mereka tewas juga di tangan Marco yang kejam. Mayat mereka berdua bergeletakan di atas lantai dengan mata membelalak seolah tak rela nyawanya berpisah dengan jasadnya.
Kekejaman Marco, di saksikan Arnold dan teman-temannya dengan wajah yang tampak pucat pasi. Suasana tampak hening, tanpa ada seorangpun yang sanggup mengeluarkan sepatah kata.
"Buang mayat mereka ke hutan! Lumayan untuk makan binatang-binatang hutan yang kelaparan." Perintahnya dengan nada datar dan dingin pada Arnold, orang kepercayaannya.
Arnold hanya menurut patuh, lalu memberi kode pada beberapa temannya untuk mengangkat kedua mayat itu.
Tatapan Marco yang semula nyalang, berubah sinis dengan senyum miring yang terukir dibibirnya. Dia pun memandang pistolnya yang masih berasap sejenak lalu menyimpannya kembali ke balik jas yang ia pakai.
"Kalung itu adalah tanda pengenal milik Selina. Satu-satunya orang yang mengetahuinya selain diriku hanyalah Jonathan. Apa pria tua itu sudah tahu putri kecilnya mati? Jika benar, aku harus bersiap-siap untuk menghadapi pria tua itu." Marco memijat pelipisnya menerka siapa pelaku yang telah menyuruh penjaga makam dan penggali makam untuk membongkar makam Selina.
.
.
.
BERSAMBUNG